Para ulama’ terutama Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa sah untuk berpendapat dengan ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya beliau pada masa – masa setelahnya atas suatu hukum syar’i. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
(وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” QS. An-Nisa’ 115.
Keshahihan pendapat yang berdasarkan ijma’ tersebut adalah karena Allah ta’ala menyandingkan antara ittiba’ atau mengikuti jalan selain jalannya kaum mukminin hingga penjelasan Rasul terhadap janji Allah. Maka dengan demikian ayat tersebut menunjukkan keshahihan ijma’ umat agar janji Allah ditunaikan bagi siapa saja yang mengikuti jalan selain jalannya kaum mukminin.
Wallahu ‘alam bi ash-showwab.
Rujukan: Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.