Hukuman Bagi Orang Yang Menghadang Jalan Dan Merampok Orang Yang Lewat (Begal)

Tags:

اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْۚ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar. Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. Al-Ma’idah: 33-34.

Sebab Turunnya Ayat

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kasus penghadangan jalan, bukan karena kasusnya orang – orang yang musyrik atau murtad sebagaimana dikatakan dengan segala variasinya. Karena sesungguhnya masing -masing keduanya (yaitu orang yang musyrik dan murtad) apabila bertaubat maka diterima taubatnya. Sama saja apakah taubatnya itu sebelum penguasaan atas mereka atau setelahnya. Adapun penghadang jalan, bila mereka bertaubat sebelum ditangkap maka gugurlah hukuman atas mereka (hukuman yang berkaitan dengan hak Allah saja yang gugur, hal ini akan dijelaskan nanti), namun bila mereka bertaubat setelah tertangkap maka tidak gugur hukuman atas mereka.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik:

قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفَرٌ مِنْ عُكْلٍ فَأَسْلَمُوا فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَفَعَلُوا فَصَحُّوا فَارْتَدُّوا وَقَتَلُوا رُعَاتَهَا وَاسْتَاقُوا الْإِبِلَ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَلَ أَعْيُنَهُمْ ثُمَّ لَمْ يَحْسِمْهُمْ حَتَّى مَاتُوا

“Beberapa orang dari kabilah ‘Ukli menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan keIslamannya, tetapi mereka tidak cocok dengan iklim Madinah sehingga Nabi memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta sedekah untuk meminum air kencingnya dan susunya. Mereka melakukan perintah tersebut dan mereka pun sembuh. Namun mereka murtad dan membunuh penggembalanya, merampok unta-untanya. Maka Nabi mengutus (pasukan) untuk meyusuri jejak mereka sehingga mereka bisa ditangkap. Kemudian Nabi memotong tangan dan kaki mereka serta mencongkel mata mereka (ada yang mengatakan bahwa mata mereka dicongkel karena mereka mencongkel mata penggembala unta, -red), dan Nabi tidak menghentikan penghukuman terhadap mereka hingga mereka mati.”

Dalam riwayat lain:

أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَاجْتَوَوْهَا فَبَعَثَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ وَقَالَ اشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَقَتَلُوا رَاعِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا الْإِبِلَ وَارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ فَأُتِيَ بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ مِنْ خِلَافٍ وَسَمَرَ أَعْيُنَهُمْ وَأَلْقَاهُمْ بِالْحَرَّةِ

“Beberapa orang dari Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak cocok dengan iklim Madinah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengirim mereka ke (tempat) unta zakat. Beliau bersabda: “Minumlah kalian susu dan air kencingnya.” Namun mereka membunuh pengembala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menggiring unta-unta tersebut, setelah itu mereka murtad. Lalu mereka pun dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau kemudian memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, mata mereka dicongkel lalu dibuang ke harrah (padang pasir yang panas).” HR. at-Tirmidzi.

Dikatakan juga: ayat ini turun berkenaan dengan kaumnya Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslami. Antara Hilal dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada perjanjian bahwasanya dia dan Rasul tidak saling membatasi. Bila seorang muslim berjalan bersamanya atau ada orang yang berjalan kepadanya dengan maksud bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia tidak diperlakukan dengan buruk. Suatu ketika sekelompok orang dari Bani Kinanah hendak memeluk Islam dengan sekelompok orang dari Bani Hilal sedangkan Hilal saat itu tidak ada bersama mereka. Maka kemudian kaumnya Hilal yang lain menghadang jalan mereka, membunuh mereka, dan mengambil harta mereka.

Dikatakan juga: ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum ahli kitab yang mana antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada perjanjian. Mereka kemudian melanggar perjanjian itu dan menghadang jalan kaum muslimin.

Tidak ada masalah dalam hal berbilangnya asbabun nuzul ayat ini. Kesemuanya membicarakan sifat penyerangan. Sama saja apakah penyerangan itu dilakukan oleh orang – orang kafir ataukah oleh orang – orang muslim. Bila ayat ini turun berkaitan dengan orang – orang kafir, maka pelajaran yang dapat diambil adalah dengan keumuman lafadz tidak dengan kekhususan sebab.

Tafsir dan Penjelasan Ayat

Ini adalah ayat muharabah (penyerangan) yaitu penentangan dan pembangkangan yang sempurna bagi kejahatan kekufuran, penghadangan jalan, menakut – nakuti di jalan, dan membuat kerusakan di muka bumi. Dengan fakta bahwasanya kejahatan ini mengganggu keamanan seluruh masyarakat, mengguncang strukturnya, dan menyebarkan ketakutan, kerisauan, serta kekhawatiran di tengah – tengah manusia yang damai, maka Allah memberatkan hukuman bagi para muharibin. Mereka (para muharibin) adalah orang – orang yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dengan itu mereka menyerang kaum muslimin atau ahli dzimah yang lewat. Mereka berbuat melampaui batas atas jiwa, harta, dan perhiasan.

Hukuman atau balasan bagi mereka berdasarkan urutan dan pembagiannya bergantung kepada kejahatan mereka, redaksi (اَوْ-atau) dalam QS. al-Ma’idah 33 adalah untuk menunjukkan jenis – jenisnya. Maka barangsiapa yang membunuh dan merampas harta maka hukumannya adalah hukuman mati dan disalib, barangsiapa yang merampas harta saja maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, barangsiapa yang menteror di jalan namun tidak membunuh dan merampas harta maka hukumannya adalah diasingkan. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan para imam madzhab.

Para pengikut madzhab Maliki berkata: ayat ini menunjukkan atas adanya pilihan di antara balasan – balasan yang ada dalam rangka mengamalkan apa yang dikehendaki oleh penggunaan redaksi (اَوْ-atau) atau imam akan memilih penerapan salah satunya sesuai dengan kemaslahatan yang dipandangnya bila muharibin tidak merampas harta dan tidak membunuh jiwa. Yakni bahwasanya seorang imam dapat memilih hukuman atas muharibin. Imam menetapkan hukuman atas mereka baik itu dengan dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya bersilang, atau diasingkan dalam rangka mengamalkan zhahirnya ayat.

Imam Abu Hanifah membatasi pilihan hukuman bagi muharib yang khusus saja yaitu orang – orang yang membunuh jiwa dan merampas harta, imam akan memilih antara keempat hukuman ini: apabila imam menghendaki maka dapat dihukum potong tangan dan kaki secara bersilang serta dibunuh, atau dihukum potong tangan dan kaki secara bersilang serta disalib, atau disalib saja, atau dibunuh saja. Muharib dalam hal ini tidak dapat dihukum potong tangan dan kaki saja bahkan sudah seharusnya digabungkan antara hukuman bunuh atau disalib dengan hukuman potong tangan dan kaki karena kejahatannya membunuh dan merampas harta sekaligus. Para sahabatnya berkata, dalam kondisi ini: disalib dan dibunuh tidak dipotong tangan dan kaki. Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya sepakat bila para muharib itu membunuh saja maka mereka akan dibunuh, bila para muharib merampas harta saja maka mereka akan dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, bila mereka menebar teror saja di jalan maka mereka akan diasingkan.

Dalilnya para pengikut madzhab Maliki: bahwasanya kata (اَوْ-atau) adalah subyek pembahasan adanya pilihan, sebagaimana dalam masalah kafarat sumpah dan kafarat berburu (dalam haji), maka ayat ini diamalkan dengan hakikat makna huruf ini selama tidak ada dalil yang menunjukkan sebaliknya, dan memang tidak ada dalilnya, maka tetaplah maknanya sebagai adanya pilihan.

Dalilnya jumhur ulama’ adalah:

1. Bahwasanya akal menetapkan adanya hukuman yang sesuai bagi sebuah kejahatan, bertambah dan berkurang sesuai kadarnya. Dengan dalil ijma’ umat bahwasanya orang yang menghadang di jalan apabila ia merampas harta dan membunuh sekaligus tidaklah mereka diberi balasan dengan diasingkan saja.

2. Bahwasanya adanya pilihan itu baru diamalkan bila sebab wajibnya hal tersebut adalah satu sebagaimana dalam masalah kafarat sumpah dan kafarat berburu. Adapun bila sebab – sebabnya berlainan maka tidak diamalkan dengan zhahirnya ayat yang menunjukkan adanya pilihan, akan tetapi ada maksud penjelasan hukum bagi setiap sebab tersebut.

Yang demikian itu semisal dengan firman-Nya:

قُلْنَا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِمَّآ اَنْ تُعَذِّبَ وَاِمَّآ اَنْ تَتَّخِذَ فِيْهِمْ حُسْنًا

“Kami berfirman, “Wahai Zulkarnain! Engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan (mengajak beriman) kepada mereka.” QS. Al-Kahfi: 86.

Maknanya adalah: engkau boleh menghukum orang – orang yang ingkar dan zhalim, boleh juga engkau berbuat baik kepada orang – orang yang beriman dan beramal sholih. Bukanlah maksud dari ayat tersebut adalah adanya pilihan dalam hal ini karena berbedanya sebab menghantarkan kepada hukum yang berbeda bagi setiap jenisnya.

Dalilnya Abu Hanifah adalah: bahwasanya tidak mungkin untuk memalingkan ayat tersebut bagi muharib secara mutlak kepada zhahirnya ayat yaitu adanya pilihan, maka terkadang dibawa kepada urutan hukum dan menghilangkan kejahatan yang terkait pada setiap hukum dan dalam hal ini menjadikan huruf takhyir (pilihan) tidak berlaku, terkadang juga beramal dengan zhahirnya ayat yaitu ada pilihan antara tiga balasan yang ada, yang demikian itu dalam hal muharib khusus tidak dalam hal muharib secara mutlak. Muharib khusus adalah: orang yang membunuh dan merampas harta, inilah yang lebih dekat dan lebih utama karena di dalamnya diamalkan hakikat adanya huruf takhyir (pilihan) dan masuk akal.

Perbuatan muharib dinamakan dengan perbuatan memerangi Allah dan Rasul-Nya agar memberi kesan mengerikan dan keji serta menjelaskan bahayanya kejahatan ini atas kebenaran dan keadilan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam masalah memakan riba:

فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ

Maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.” QS. Al-Baqarah: 279.

Tidaklah maksud dari memerangi Allah itu adalah maksud hakiki karena Allah maha suci dari arah dan tempat, sedangkan peperangan mengharuskan setiap pihak yang berperang untuk saling berhadap – hadapan. Sesungguhnya ini adalah majaz dari penyelisihan mereka dan kemurkaan Allah, atau maknanya adalah mereka memerangi wali – wali Allah dan Rasul-Nya, maka terdapat peringatan bagi mereka dalam firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا

Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka. QS. Al-Ahzab: 57.

Disyaratkan tiga hal berikut ini untuk dapat dikatakan sebagai muharib:

1. Mereka memiliki kekuatan dan persenjataan untuk dibedakan dari pencuri. Mereka menyerang orang yang lewat dengan pedang atau yang selainnya dari kayu, batu, dan yang semisal dengannya. Sama saja apakah mereka itu berkelompok atau sendirian saja, juga sama saja apakah mereka itu mengambil harta dari seorang muslim atau dari kafir dzimmi.

2. Mereka melakukan penghadangan jalan di negeri Islam. Menurut pendapat Abu Hanifah penghadangan jalan itu haruslah berada di luar kota di antara batas – batas negeri atau di tengah gurun karena di dalam kota memungkinkan bagi sang korban untuk menyerang balik dengan meminta bantuan kepada yang lain. Sementara jumhur ulama’ tidak membedakan antara di dalam kota maupun di luar kota. Maka mungkin saja terjadi kejahatan perampokan di jalan ini di dalam kota maupun di luar kota. Fakta mengenai hal ini menetapkan benarnya pendapat ini karena kelompok penyerang tersebut menyerang manusia di tengah malam di jalan – jalan umum dan di kawasan pemukiman.

3. Mereka mengambil harta secara terang – terangan. Apabila mereka mengambil harta dengan sembunyi – sembunyi maka mereka adalah pencuri dan dihukum dengan hukuman pencurian yakni dipotong tangan saja. Apabila mereka menculik dan melarikan diri maka mereka adalah penculik, tidak dipotong tangannya. Bila mereka mengambil paksa sesuatu dari kafilah atau merampasnya (tanpa senjata) mereka tidak dihukum dengan hukuman pencurian tidak pula dengan hukuman perampokan.

Makna berusaha di muka bumi dengan berbuat kerusakan (QS. Al-Ma’idah: 33) adalah menteror di jalan dengan membawa senjata dan menakut -nakuti manusia, sama saja apakah pelakunya membunuh dan mengambil harta ataukah tidak.

Adapun hukuman bagi para perampok sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 33 adalah hukuman di dunia dan di akhirat.

Hukuman di dunia ada empat:

1. Hukuman mati (التقتيل) tanpa dihukum salib bila pelaku perampokan hanya membunuh saja. Hukuman mati bagi perampok tidak dapat dibatalkan dengan dimaafkan oleh para wali korban, ungkapannya dengan menggunakan sighat (التفعيل); Karena di dalam pembunuhan ini ada tambahan dengan mempertimbangkan bahwasanya hukuman tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dibatalkan meskipun para wali korban memaafkan. Maka wajib bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman ini bagi para perampok/penyamun dan tidak memberikan ampunan atau membatalkannya dan bagi kaum muslimin agar tolong menolong bersamanya untuk memerangi mereka dan menghentikan mereka dari mencelakai kaum muslimin.

2. Dihukum mati dan dihukum salib: bila para perampok membunuh dan mengambil harta.

3. Dihukum potong tangan dan kaki secara bersilang yakni dipotong tangan yang kanan dan kaki kiri bila para perampok mengambil harta saja.

4. Diusir dari negeri tersebut bila menebar ketakutan di jalan saja, tidak membunuh jiwa dan tidak merampas harta.

Dihukum salib adalah: seseorang diikat pada sebatang kayu yang ditancapkan ke bumi setelah kakinya diletakkan pada bagian bawahnya dan tangannya diikat pada bagian atasnya. Dikatakan sebagai pendapat yang paling shahih dari Madzhab Hanafiyah dan pendapat yang rajih di sisi Malikiyah, bahwa mereka dihukum salib dalam keadaan hidup selama tiga hari, kemudian ditusuk dengan tombak dan dibunuh karena hukuman salib adalah hukuman yang disyariatkan dengan keras. Mereka dalam hal ini dihukum dalam keadaan hidup, adapun mayit bukanlah termasuk orang yang berhak mendapat hukuman. Tidaklah hukuman salib itu sebagai bentuk mutslah yang dilarang karena mutslah itu adalah dengan memotong sebagian anggota tubuh (memotong hidung, telinga, memutilasi, dll).

Syafi’iyah dan Hanabilah berkata: hukuman salib itu dilangsungkan setelah hukuman mati karena Allah ta’ala mendahulukan hukuman bunuh atas hukuman salib secara lafadz. Juga karena bila dihukum salib hidup – hidup maka itu akan menyiksa orang tersebut. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang mutslah (hukuman keji/menyiksa seperti memotong hidung, telinga, mutilasi dll) dan juga menyiksa hewan – hewan (yakni apa saja yang memiliki ruh), beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Jama’ah dari Syadad bin Aus:

فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ

“Apabila kalian membunuh maka bunuhlah secara baik, dan apabila kalian menyembelih maka sembelihlah secara baik”.

Maksud dari pendapat orang – orang yang memilih untuk menyalibnya setelah membunuhnya adalah untuk menghukum berat dan mencegah yang lainnya untuk berbuat serupa.

Adapun pengasingan: maknanya menurut Hanafiyah adalah penjara karena terdapat makna pengasingan dari daerah yang menjadi tempat manusia hidup di dalamnya dengan bebas dan tenang. Adapun pengasingan (at-taghrib) ke suatu daerah, di dalamnya terdapat bahaya bagi negeri yang lain dan memperluas area bagi orang kafir. Mungkin saja juga ia meloloskan diri ke negeri yang memerangi kaum muslimin.

Para pengikut madzhab Maliki berpendapat bahwasanya pengasingan adalah mengeluarkannya dari negeri ia berada ke negeri lain yang jarak antara keduanya terpisah sejauh jarak bolehnya mengqashar shalat (89 km) dan dipenjara di sana hingga ia menunjukkan taubatnya. Maka ini menjadi pendapat jumhur bahwasanya pengasingan adalah dipenjara.

Al-Hanabilah berpendapat bahwa pengasingan adalah mengusir mereka, mereka tidak tinggal tetap di suatu negeri, mengamalkan riwayat dari Hasan dan Az-Zuhri.

Adapun hukuman ukhrawiyah bagi para perampok: adalah yang disebutkan di dalam firman-Nya ta’ala:

ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” QS. Al-Ma’idah: 33.

Yakni hukuman yang telah disebutkan itu adalah kehinaan bagi mereka dan aib di dunia karena buruknya perbuatan merampok dan besarnya bahayanya juga agar menjadi pelajaran bagi yang lainnya untuk tidak melakukan yang serupa. Bagi mereka di akhirat adzab yang sangat pedih dengan sebab apa yang mereka perbuat yaitu kejahatan yang mengguncangkan pondasi masyarakat dan menyebabkan lumpuhnya perdagangan.

Kemudian Allah ta’ala mengecualikan hukuman dari orang – orang yang bertaubat. Allah berfirman:

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ

“Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka”. QS. Al-Ma’idah: 34.

Yakni bahwasanya barangsiapa yang tobat sebelum jatuh ke dalam genggaman penguasa atau sebelum ditangkap hakim, maka gugurlah hukuman terhadapnya bila tobatnya adalah tobat yang benar ikhlas karena Allah azza wa jalla bukan karena tipu daya dan untuk menghindari hukuman. Hal ini karena tujuannya telah terpenuhi yakni meninggalkan berbuat kerusakan dan penyerangan/perampokan wali – wali Allah dan Rasul-Nya dengan dalil firman-Nya:

فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

“Maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. Al-Ma’idah: 34.

Yakni bahwasanya Allah Maha Pengampun bagi dosa – dosa mereka, Maha Penyayang dengan menggugurkan hukuman terhadap mereka karena Dia tidak mendakwanya di kemudian hari dan jadilah tobat tersebut kebaikan baginya.

Tobat ini hanya menggugurkan apa yang menjadi hak Allah ta’ala saja yakni hukuman bagi perampok tersebut. Adapun hak – hak hamba seperti qishash dan tanggungan harta maka hal – hal tersebut tidaklah gugur atau tetap sebagaimana adanya. Para wali korban tetap berhak untuk menuntut qishash bagi pembunuhnya dan mendapatkan kembali harta yang telah dirampas. Wali korban pembunuhan boleh memilih antara menuntut qishash, meminta diyat (denda uang), atau memaafkannya. Tidak sah tobat kecuali dengan mengembalikan harta – harta yang dirampas kepada pemiliknya. Apabila hakim menggugurkan pelaku dari kewajiban mengembalikan harta tersebut maka pengembalian harta tersebut wajib ditanggung dari baitul mal. Barangsiapa yang bertobat setelah ditangkap maka menurut zhahirnya ayat hal itu tidak bermanfaat baginya dan ditegakkan hukuman perampok atasnya karena tobatnya dicurigai sebagai dusta dan pura – pura ketika ia mendapati tangan penguasa.

Adapun peminum khamr, pezina, dan pencuri ketika bertobat dan memperbaiki diri serta diketahui hal tersebut ada pada diri mereka, kemudian mereka mengangkat masalah tersebut kepada imam maka tidak selayaknya ia menghukum mereka. Bila mereka menyerahkannya kemudian para pelaku tersebut berkata: “Kami bertobat tidak meninggalkan perbuatan tersebut”, maka mereka dalam kondisi ini seperti para perampok ketika telah tertangkap.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *