Persoalan:
Di beberapa tempat terdapat acara keIslaman (tabligh akbar dll) yang diawali dengan penampilan sekelompok kaum wanita membawakan senandung nasyid (nyanyian, sholawat, dsb) diiringi rebana di atas panggung yang disaksikan oleh seluruh jama’ah (laki – laki maupun wanita). Apakah hukum bagi acara yang demikian itu?
Penjelasan:
Bismillah wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, ‘amma ba’du.
Terkait salah satu rangkaian acara yang ditanyakan, perlu dibahas hal – hal sebagai berikut:
1. Apa hukumnya membaca sholawat sebagai acara pembuka?
Yang dimaksud dengan sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah doa baginya dengan susunan kata yang tertentu dan pengagungan perintahnya.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha’ (ahli fiqih) mengenai disyariatkannya sholawat. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” QS. Al-Ahzab: 56.
Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu:
قِيلَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ketika dikatakan; Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui salam kepadamu, lalu bagaimanakah caranya bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: “Ucapkanlah; ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA ‘ALAA AALII IBRAAHIM INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAARAKTA ‘ALAA ‘AALI IBRAHIIMA INNAKA HAMIIDUM MAJIID.” HR. Bukhari.
Selain di dalam sholat, sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga disukai untuk dibaca di luar sholat di setiap waktu. Di antara waktu – waktu disunnahkannya membaca sholawat adalah: hari jum’at dan malamnya, di pagi hari, di sore hari, ketika masuk dan keluar masjid, ketika di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika menjawab mu’adzin, ketika berdoa dan selesai berdoa, ketika sa’i antara Shofa dan Marwah, ketika pertemuan suatu kaum dan berpisah dari mereka, ketika menyebut namanya Shollallahu ‘alaihi wasallam, ketika senggang dari talbiyah, ketika memegang hajar aswad, ketika bangun tidur, setelah mengkhatamkan al-Qur’an, ketika sedih, ketika memohon ampunan, ketika menyampaikan ilmu kepada manusia, ketika menasehati, ketika pertemuan belajar, ketika laki -laki meminang perempuan, dan pada tiap kesempatan berkumpulnya manusia untuk dzikir kepada Allah ta’ala.
Dalam acara – acara keIslaman yang bertujuan untuk dzikir kepada Allah ta’ala dan untuk menuntut ilmu semisal tabligh akbar, maka disunnahkan untuk membaca sholawat dalam acara tersebut.
2. Dalam hal wanita menyenandungkan nasyid (nyanyian, sholawat yang disenandungkan, dsb) dengan diiringi rebana, bagaimanakah hukumnya?
Dalam hal suara wanita yang berbicara tanpa dilagukan, para ulama’ menjelaskan bahwa bila pendengar menikmati suara seorang wanita atau khawatir atas dirinya adanya fitnah maka haram baginya untuk mendengarnya. Bila tidak demikian maka tidak haram, sebagaimana para sahabat Rasul mendengarkan suara wanita ketika berbicara dengan mereka. Tidak diperkenankan bagi wanita untuk melagukan dan melembutkan suaranya karena itu dapat menyebabkan fitnah. Allah ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
“Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya.” QS. Al-Ahzab: 32.
Adapun mendengarkan nasyid sholawat yang diiringi rebana maka itu adalah bentuk dari mendengarkan nyanyian. Maka perlu dibahas hukum – hukum seputar nyanyian ini serta rebananya.
Nyanyian dalam bahasa arab disebut dengan al-ghina’ (الْغِنَاءُ), merupakan sebutan atas mengeraskan suara dengan syair dan apa yang mendekatinya dari rijz (jenis syair) dengan cara yang khusus.
Jumhur fuqaha’ menetapkan bahwa mendengarkan nyanyian adalah haram dalam hal – hal berikut ini:
1. Bila disertai kemunkaran.
2. Bila dikhawatirkan nyanyiannya membawa kepada fitnah seperti berkaitan dengan wanita, pengobaran syahwat yang mengarah kepada zina dll.
3. Bila nyanyiannya membawa kepada meninggalkan perkara – perkara yang wajib dalam agama semisal sholat. Bila mengarah kepada meninggalkan hal -hal yang disunnahkan maka hukumnya makruh seperti sholat malam dsb.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan hukum masalah nyanyian yang digunakan untuk menghibur diri.
Para ulama’ madzhab Syafi’i berpendapat bahwa nyanyian itu makruh. Bila nyanyian itu didengar dari wanita asing maka sangat dimakruhkan. Mereka menjustifikasi dengan perkataan mereka: karena di dalamnya ada lahw (permainan/kesia-siaan).
Sebagian Syafi’iyah seperti Imam Ghazali berpendapat bahwa nyanyian itu mubah. Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakar masuk menemui aku, saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga Kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu’ats.” ‘Aisyah menlanjutkan kisahnya, “Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, “Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!” Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya ‘Ied. Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita.”
Umar bin al-Khatthab berkata:
الْغِنَاءُ زَادُ الرَّاكِبِ
“Nyanyian merupakan perbekalan bagi musafir.” (Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra nya).
Al-Baihaqi mengeluarkan sebuah atsar dari Khawwat bin Jubair dengan lafadz:
Kami keluar bersama Umar bin Al Khathab, dan dia berkata: kami melakukan perjalanan dengan menaiki tunggangan, di antara mereka ada Abu Ubaidah bin Al Jarah dan Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu ‘Anhuma. Lalu Khawwat berkata; Berkatalah segolongan kaum; “Bernyanyilah untuk kami wahai Khawwat,” maka kami bernyanyi untuk mereka. Mereka mengatakan: “Bernyanyilah kepada kami dengan syair Dhirar.” Lalu Umar berkata: “Biarkanlah dia bernyanyi sesuai dengan perasaannya.” Khawwat berkata: “Maka saya terus bernyanyi untuk mereka sampai datang waktu sahur . lalu Umar berkata: “Wahai Khawwat, hentikan lisanmu sekarang kita sudah masuk waktu sahur.” (Ibnu Hajar telah menyebutkan penguatan terhadap riwayat ini dari Ibnu As Siraj, dan dia tidak memberikan komentar.)
Sedangkan qiyasnya adalah bahwasanya nyanyian yang tidak dibarengi dengan hal yang diharamkan, di dalamnya terdapat pendengaran terhadap suara indah yang disyairkan. Dan mendengarkan suara yang indah, dari sisi memang itu indah, maka itu tidaklah diharamkan. Sebab, hal itu kembali kepada berlezat-lezat melalui indera pendengaran terhadap apa-apa yang menjadi kekhususan baginya, sama halnya dengan kelezatan yang dirasakan indera lain terhadap apa yang disediakan untuknya.
Adapun suara al mauzun (yang disya’irkan), bukanlah suara yang diharamkan. Tidakkah kita melihat suara indah yang disyairkan yang berasal dari tenggorokan burung bulbul, tentu mendengarkannya tidak haram. Demikian pula suara manusia, karena tidak ada bedanya antara tenggorokan dengan tenggorokan. Jika pemahaman ini dimasukkan kepada pemahaman suara yang indah yang disyairkan, tidak bertambah kebolehan di dalamnya kecuali semakin mempertegas.
Sedangkan nyanyian yang menggerakkan hati dan melahirkan belas kasih, maka sesungguhnya jika belas kasih itu termasuk belas kasih yang mulia, justru dituntut untuk melahirkannya. Telah terjadi pada diri Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu bahwa dalam perjalanan hajinya dia mendengarkan nyanyian –sebagaimana disebutkan sebelumnya- dan para sahabat menyenandungkan nasyid rajaz untuk memberikan kesan kepada pasukan ketika berjumpa, dan tidak satu pun mereka menganggap yang demikian itu sebagai aib. Demikian menurut Imam Ghazali.
Nyanyian Untuk Perkara Mubah
Jika nyanyian disenandungkan untuk perkara yang mubah seperti dalam pesta pernikahan, hari raya, khitan, kedatangan orang jauh, menambah kebahagiaan yang dibolehkan, ketika mengkhatamkan Al-Quran untuk menguatkan rasa bahagia dengan hal itu, ketika perjalanan para mujahidin menuju peperangan jika hal itu mampu menyemangati jiwa mereka, atau bagi jamaah haji agar lahir kesan dalam jiwa mereka rasa rindu terhadap Ka’bah al musyarrafah, atau nyanyian untuk unta sebagai penyemangat baginya dalam perjalanan –yaitu nyanyian Al-Hida- atau untuk menggiatkan bekerja seperti nyanyian para pekerja ketika beraktifitas atau mengangkat beban berat, atau nyanyian untuk mendiamkan anak-anak dan menidurkannya seperti nyanyian seorang ibu untuk anak-anaknya, ini semua mubah sama sekali tidak dibenci menurut pandangan jumhur ulama.
Mereka berdalil dari hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebelumnya, tentang dua orang jariyah yang bernyanyi, ini merupakan nash kebolehan bernyanyi pada hari raya.
Hadits Buraidah beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat menuju salah satu peperangan, ketika telah usai seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata; “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan baginda dalam keadaan baik, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi didekat baginda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu telah bernadzar demikian, silahkan lakukan namun jika tidak, maka jangan kamu lakukan.” HR. At-Tirmidzi. Beliau berkata hadits ini hadits hasan shahih gharib.
Hadits ini menunjukkan kebolehan bernyanyi ketika kedatangan orang yang bepergian jauh demi menambah kebahagiaan. Seandainya nyanyian diharamkan, tidaklah boleh bernazar dengannya, dan tentunya tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan melakukannya.
Mereka juga berdalil dengan hadits Aisyah dari Ibnu Abbas beliau berkata:
أَنْكَحَتْ عَائِشَةُ ذَاتَ قَرَابَةٍ لَهَا مِنْ الْأَنْصَارِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَهْدَيْتُمْ الْفَتَاةَ قَالُوا نَعَمْ قَالَ أَرْسَلْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّي قَالَتْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ فَلَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يَقُولُ أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ
فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ
“Aisyah menikahkan kerabat dekatnya yang berasal dari kaum Anshar, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya bersabda: “Apakah kalian menghadiahkan seorang gadis?” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau bertanya: “Apakah kalian mengutus bersamanya orang yang bernyanyi?” ‘Aisyah menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kaum Anshar itu kaum yang memiliki sya’ir, kalau seandainya kalian mengutus bersamanya orang yang mendendangkan: ‘Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian, maka mudah-mudahan kami diberi umur panjang, dan mudah-mudahan kalian diberi umur panjang’.” HR. Abu Dawud.
Nash ini menunjukkan kebolehan nyanyian ketika pesta pernikahan.
Dari Saib bin Yazid Radhilallahu ‘Anhu, dia berkata; Kami dalam perjalanan haji bersama Abdurrahman bin ‘Auf, dan kami bermaksud menuju Mekkah, Abdurrahman memisahkan diri dari jalan, kemudian dia berkata kepada Ribah bin Al Mughtarif: “Bernyanyilah untuk kami wahai Abu Hassan –dia adalah seorang yang bagus nashabnya (nashab adalah termasuk jenis nyanyian)- maka ketika dia bernyanyi, Umar menemui mereka dan menentang lagu itu dan bertanya: “Apa ini?” Abdurrahman berkata: “Apa ada masalah dengan ini? Kita berhibur dan bernyanyi untuk mempersingkat perjalanan.” Umar berkata; “Kalau kau mau, nyanyikan saja syairnya Dhirar bin Al Khathab bin Mirdas, orang Parsinya Quraisy. “ Atsar yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi.
Umar pernah mengatakan nyanyian adalah perbekalannya musafir.(Atsar riwayat al-Baihaqi). Ini menunjukkan kebolehan nyanyian untuk menghibur jiwa. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Al Khathab memerintahkan untuk melantunkan Al Hida’. (Mushnnaf Ibnu Abi Syibah).
Sebagai kesimpulan, bahwa nyanyian wanita asing (yang bukan mahram) itu sangat dimakruhkan untuk didengar oleh laki – laki, bila pendengar laki – laki menikmatinya atau menimbulkan fitnah baginya maka haram hukumnya. Ini ditinjau dari hukum nyanyian itu sendiri.
Hukum Menabuh Rebana
Rebana (الدُّفُّ) adalah suatu alat yang dimainkan yang ditutup dengan kulit dari satu sisi.
Para ulama’ madzhab Syafi’i mengatakan bolehnya menabuh rebana dan mendengarkannya pada saat walimatul ‘ursy berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ar-Robi’ binti Mu’awwidz beliau berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang menemuiku pada pagi hari dimana aku diserahkan kepada suamiku. Lalu beliau duduk di atas tikarku seperti posisi dudukmu di hadapanku ini, dan gadis-gadis kecil menabuh rebana sembari menyenandungkan syair-syair yang berisi pujian-pujian terhadap bapak-bapak mereka yang meninggal pada waktu perang Badar hingga ada salah seorang anak yang berkata, “Bersama kami ada Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam segera berkata: “Janganlah kamu mengatakan begitu, ucapkan saja syair yang tadi kalian lantunkan”. HR. Bukhari.
Boleh juga menabuh rebana saat khitan berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya bila beliau mendengar suara atau rebana beliau berkata: “Apa itu?” Bila mereka berkata ursy atau khitan, maka beliau diam. (Dikeluarkan oleh Abdur Razak dalam Musnafnya).
Boleh juga menabuh rebana pada momen selain walimatul ursy dan khitan karena hal itu adalah sebab menampakkan kegembiraan seperti kelahiran, hari raya, kedatangan seseorang, dan sembuhnya seorang yang sakit. Hal ini berdasarkan Hadits Buraidah beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat menuju salah satu peperangan, ketika telah usai seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata; “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan baginda dalam keadaan baik, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi didekat baginda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu telah bernadzar demikian, silahkan lakukan namun jika tidak, maka jangan kamu lakukan.” HR. At-Tirmidzi. Beliau berkata hadits ini hadits hasan shahih gharib.
Sebagian ulama madzhab Syafi’i berkata: sesungguhnya rebana itu disukai pada saat walimatul ursy dan khitan. Al-Baghawi menetapkan yang demikian itu di dalam Syarh as-Sunnah.
Dengan demikian, boleh hukumnya menabuh rebana pada saat acara – acara keIslaman tersebut.
3. Dalam kasus kaum wanita yang tampil dipanggung yang tentunya dipandang oleh kaum laki – laki yang melihatnya, perlu kita ketahui juga hukumnya melihat wanita asing (bukan mahram).
Para fuqaha’ sepakat bahwa haram hukumnya seorang laki -laki melihat aurat wanita asing dewasa. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya.” QS. An-Nur: 30.
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah Allah `Azza Wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah sebagai pembenar atau tidaknya.” HR. Muslim.
Para ulama’ madzhab Syafi’i berbeda pendapat dalam hal laki – laki melihat wajah dan telapak tangan wanita.
Sebagian ulama membolehkan memandang kepada wajah dan dua telapak tangan wanita asing bila tidak timbul syahwat dan tidak diduga kuat kemunculannya.
Dalil yang mereka sampaikan adalah firman Allah ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” QS. An-Nur: 31.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ali, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa yang dimaksud dengan yang biasa terlihat dalam ayat tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Dalil dari hadits yang mereka sampaikan adalah hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
“Bahwa Asma’ binti Abu Bakr masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan kain yang tipis, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berpaling darinya. Beliau bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-.” HR. Abu Dawud, beliau berkata, “Ini hadits mursal. Khalid bin Duraik belum pernah bertemu dengan ‘Aisyah radliallahu ‘anha.”
Juga berdasarkan hadits dari Sahl bin Sa’d beliau berkata:
كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسًا فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ تَعْرِضُ نَفْسَهَا عَلَيْهِ فَخَفَّضَ فِيهَا النَّظَرَ وَرَفَعَهُ فَلَمْ يُرِدْهَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ زَوِّجْنِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَعِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ قَالَ مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ قَالَ وَلَا خَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ قَالَ وَلَا خَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ وَلَكِنْ أَشُقُّ بُرْدَتِي هَذِهِ فَأُعْطِيهَا النِّصْفَ وَآخُذُ النِّصْفَ قَالَ لَا هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ اذْهَبْ فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
Suatu ketika, kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau didatangi oleh seorang wanita yang hendak menawarkan diri pada beliau, maka beliau pun memandangi wanita itu dengan cermat, namun beliau belum juga memberi jawaban. Maka seorang laki-laki dari sahabatnya berkakta, “Nikahkanlah aku dengannya wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk dijadikan mahar)?” laki-laki itu menjawab, “Aku tak punya apa-apa.” Beliau bertanya: “Meskipun hanya cincin besi?” laki-laki itu menjawab, “Ya, meskipun hanya cincin besi. Tetapi kainku ini akan aku robek dan memberikan untuknya setengah darinya dan setengah yang lain untukku.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki hafalan Al Qur`an?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Akhirnya beliau bersabda: “Pergilah, sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan mahar hafalan Al-Qur`anmu.” HR. Bukhari.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa boleh memandang wajah wanita.
Sebagian ulama’ madzhab Syafi’i mengatakan bahwa haram hukumnya seorang laki – laki melihat wajah dan tangan wanita asing tanpa udzur syar’i, sama saja baik itu dikhawatirkan adanya fitnah ataukah tidak.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” QS. Al-Ahzab: 53.
Kalaulah memandang wajah dan kedua telapak tangan adalah sesuatu yang mubah tentu Allah tidak memerintahkan mereka meminta kepada istri – istri Nabi dari belakang tabir dan membolehkan mereka meminta dengan bertatap muka secara langsung.
Mereka juga berdalil dengan khobar yang melarang pandangan dengan sengaja dan tambahan atas pandangan yang pertama, yaitu pandangan yang tidak terduga.
Mereka berdalil dengan dua hal berikut ini:
Pertama: bahwasanya para fuqaha’ sepakat atas haramnya memandang kepada seluruh badan wanita dengan syahwat atau ketika khawatir munculnya syahwat maka hal itu menetapkan tiadanya kebolehan memandang kepada wajah, kedua telapak tangan dan seluruh anggota tubuhnya tanpa adanya hajat atau kondisi darurat dalam segala kondisi. Karena khawatir adanya fitnah dalam memandang wanita itu terus menerus ada khususnya wajah karena disitulah adanya pesona dan lebih dikhawatirkan adanya fitnah karena memandangnya daripada memandang yang lainnya.
Kedua: sesungguhnya bolehnya seorang laki – laki yang melamar untuk memandang wanita yang ingin ia pinang menunjukkan atas haramnya hal tersebut ketika tidak ada kehendak untuk meminangnya. Bila hal itu adalah suatu hal yang dibolehkan secara umum maka tidak perlu dikhususkan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tampilnya kaum wanita di atas panggung dengan tujuan memang agar dilihat dan dipandang oleh kaum lelaki yang melihatnya adalah suatu keharaman karena itu adalah tempatnya syahwat dan fitnah.
4. Kaum wanita yang tampil di atas panggung biasanya juga tampil dengan secantik – cantiknya penampilan. Para ulama’ menyebutnya sebagai tabarruj.
Makna tabarruj secara bahasa: masdar/kata benda dari kata kerja (تَبَرَّجَ-berhias/memamerkan kecantikan). Dikatakan:
تَبَرَّجَتِ الْمَرْأَةُ
“Seorang wanita berhias/memamerkan kecantikan” ketika ia menampilkan pesonanya kepada laki – laki.
Tabarruj adalah menampakkan perhiasan wanita kepada laki – laki asing dan itu adalah tercela. Adapun bagi suaminya maka tidak tercela. Makna syar’i dari tabarruj ini tidak keluar dari makna ini.
Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan pesona/kecantikan, sama saja apakah itu adalah aurat badan seperti leher wanita, dadanya, dan rambutnya dan apa saja yang termasuk perhiasan. Atau juga yang tidak termasuk aurat seperti wajah dan dua telapak tangan kecuali adanya ijin secara syar’i untuk menampakkannya seperti celak mata, cincin, dan gelang tangan berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dalam tafsir firman-Nya:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” QS. An-Nur: 31.
Tabarruj nya seorang wanita ada beberapa bentuk yang berbeda – beda, sama saja dengan menampakkan perhiasan (aurat) dan kecantikan bagi orang yang tidak halal melihatnya, atau dengan berjalan sombong, mengenakan pakaian yang tipis sehingga tergambar bentuk badannya dan lekukan – lekukan tubuhnya dsb yang menimbulkan dan menggerakkan syahwat, hal ini adalah haram bagi selain suaminya berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu.” QS. Al-Ahzab: 33.
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” QS. An-Nur: 31.
Yang demikian itu bahwasanya kaum wanita di masa jahiliyah mereka keluar rumah dalam perhiasan terbaik mereka dan berjalan dengan genit dan sombong sehingga menjadi fitnah bagi yang memandang kepadanya. Hingga wanita – wanita tua yang telah berhenti dari haid dan mengandung yang tidak menimbulkan syahwat bagi laki -laki pun turun kepada mereka ayat berikut ini:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ ۖ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” QS. An-Nur: 60.
Maka boleh bagi mereka menanggalkan kerudung dan menampakkan rambutnya namun mereka dilarang untuk bertabarruj dengan yang demikian itu.
Dengan demikian, berhiasnya kaum wanita dan tampil di atas panggung baik dengan hijab syar’i ataupun tidak tentu dapat menggerakkan syahwat yang melihatnya dan ini adalah sebuah keharaman. Apalagi bila hijabnya pas -pas an, ketat dan memperlihatkan lekuk – lekuk tubuh.
Kesimpulan
Secara keseluruhan hukum – hukum terkait hal ini dapat kita ringkas sebagai berikut:
1. Bersholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum dimulainya acara keIslaman adalah sunnah.
2. Mendengarkan senandung nasyid Islami ataupun senandung sholawat wanita asing (yang bukan mahram) itu sangat dimakruhkan untuk didengar oleh laki – laki, bila pendengar laki – laki menikmatinya atau menimbulkan fitnah baginya maka haram hukumnya.
3. Boleh hukumnya menabuh rebana pada saat acara – acara keIslaman tersebut.
4. Tampilnya kaum wanita di atas panggung dengan tujuan memang agar dilihat dan dipandang oleh kaum lelaki yang melihatnya adalah suatu keharaman karena itu adalah tempatnya syahwat dan fitnah.
5. Berhiasnya kaum wanita dan tampil di atas panggung baik dengan hijab syar’i ataupun tidak tentu dapat menggerakkan syahwat yang melihatnya dan ini adalah sebuah keharaman.
Maka tampilnya kaum wanita di atas panggung dengan menyenandungkan nasyid ataupun senandung sholawat dengan dilihat oleh jama’ah laki – laki adalah sebuah keharaman. Hendaknya kaum muslimin tidak melaksanakan yang demikian itu pada acara – acara keIslaman seperti tabligh akbar dalam rangka tahun baru hijriyah, isra’ mi’raj, maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dsb.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan utama:
Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah.