Hukum Kesaksian Atas Wasiat

Dianjurkan adanya kesaksian dalam seluruh akad – akad duniawi yang dituntut implementasinya pada waktu tertentu. Hal ini sebagai bentuk penjagaan terhadap hak – hak, mencegah hilangnya hak, serta menjauhkan dari kezhaliman dan kerusakan. Tuntutan untuk adanya kesaksian ini ditegaskan dengan harus adanya dua orang saksi yang adil atas sebuah wasiat. Agar mencegah dari pengingkaran atau berlambat – lambat dalam melaksanakannya dan lalai dalam menunaikan haknya kepada yang berhak. Allah ta’ala berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ شَهَـٰدَةُ بَیۡنِكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ حِینَ ٱلۡوَصِیَّةِ ٱثۡنَانِ ذَوَا عَدۡلࣲ مِّنكُمۡ أَوۡ ءَاخَرَانِ مِنۡ غَیۡرِكُمۡ إِنۡ أَنتُمۡ ضَرَبۡتُمۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَأَصَـٰبَتۡكُم مُّصِیبَةُ ٱلۡمَوۡتِۚ تَحۡبِسُونَهُمَا مِنۢ بَعۡدِ ٱلصَّلَوٰةِ فَیُقۡسِمَانِ بِٱللَّهِ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ لَا نَشۡتَرِی بِهِۦ ثَمَنࣰا وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰ وَلَا نَكۡتُمُ شَهَـٰدَةَ ٱللَّهِ إِنَّاۤ إِذࣰا لَّمِنَ ٱلۡـَٔاثِمِینَ *  فَإِنۡ عُثِرَ عَلَىٰۤ أَنَّهُمَا ٱسۡتَحَقَّاۤ إِثۡمࣰا فَـَٔاخَرَانِ یَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ ٱلَّذِینَ ٱسۡتَحَقَّ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَوۡلَیَـٰنِ فَیُقۡسِمَانِ بِٱللَّهِ لَشَهَـٰدَتُنَاۤ أَحَقُّ مِن شَهَـٰدَتِهِمَا وَمَا ٱعۡتَدَیۡنَاۤ إِنَّاۤ إِذࣰا لَّمِنَ ٱلظَّـٰلِمِینَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah shalat, agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa.” Jika terbukti kedua saksi itu berbuat dosa, maka dua orang yang lain menggantikan kedudukannya, yaitu di antara ahli waris yang berhak dan lebih dekat kepada orang yang mati, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, “Sungguh, kesaksian kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas. Sesungguhnya jika kami berbuat demikian tentu kami termasuk orang-orang zhalim.” QS. Al-Ma’idah: 106-107.

Para mufassir sepakat bahwa sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainnya dari Ibnu ‘Abbas mengenai Tamim ad-Dari dan saudaranya ‘Adiy yang keduanya Nashrani, keduanya keluar untuk berdagang ke Syam. Bersama keduanya Badil bin Abi Maryam budaknya ‘Amru bin al-Ash yang telah muslim dan berhijrah. Badil meninggal dalam perjalanan dan sebelum kematiannya ia berwasiat dengan wasiat tanpa saksi. Kemudian kedua temannya itu mengambil bejana perak berukir emas milik Badil. Mereka berdua mengingkari bahwa mereka telah mengambilnya. Namun kemudian barang tersebut kembali kepada keluarga Badil yang telah wafat dan diketahui bahwa memang mereka berdua lah yang mengambilnya. Kemudian masuk Islam lah Tamim. Ia berkata saat itu: “Benarlah Allah dan Rasul-Nya, saya telah mengambil bejana itu”. Maka turunlah ayat yang menuntut adanya kesaksian atas wasiat saat dalam perjalanan meskipun hanya disaksikan oleh dua orang yang non muslim.

Makna ayat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Athiyyah: bahwa Allah ta’ala mengabarkan kepada kaum mu’minin bahwa hukum-Nya dalam hal kesaksian atas orang yang berwasiat ketika akan meninggal adalah hendaknya disaksikan oleh dua orang yang adil. Jika ia sedang dalam keadaan safar sementara tidak ada seorang mu’min pun yang bersamanya, maka hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi dari yang hadir dari kalangan orang -orang non Muslim. Ketika telah tiba di negerinya dan hendak ditunaikan wasiatnya, keduanya disumpah setelah sholat ashar bahwa keduanya tidak berdusta, tidak mengubahnya, bahwasanya apa yang disaksikannya adalah benar, dan tidak menyembunyikan kesaksian Allah di dalamnya. Maka ditetapkanlah berdasarkan kesaksian keduanya.

Jika terbukti atau menjadi jelas bahwa keduanya berdusta atau khianat dalam kesaksiannya yang dalam hal ini adalah dosa dan kemaksiatan, maka disumpah lah dua orang dalam safar dari orang – orang dekat yang mewariskan yang mana mereka itu lebih berhak terhadap warisan itu. Bahwa kesaksian kami yakni sumpah kami lebih jujur dan lebih benar daripada kesaksian atau sumpah keduanya. Tidaklah kami melampaui batas dalam hal menuntut harta ini. Dalam memutuskan atas dua orang saksi yang berkhianat, jika keduanya menyalahi atau mengkhianati kita dan keduanya berani berkhianat, maka keduanya merupakan orang – orang yang zhalim yakni orang – orang yang pendusta.

Maksud dari firman Allah ta’ala:

مِنَ ٱلَّذِینَ ٱسۡتَحَقَّ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَوۡلَیَـٰنِ

“Yaitu di antara ahli waris yang berhak dan lebih dekat kepada orang yang mati”. QS. Al-Ma’idah: 107

Yakni orang – orang yang berhak atas wasiat.  Al-aulayaan yakni dua orang yang paling dekat dengan si mayit.

Hikmah disyariatkannya kesaksian dan sumpah ini adalah adanya kesesuaian antara  kesaksian dan sumpah dengan kenyataannya. Hal ini telah disebutkan dalam firman-Nya:

ذَ ٰ⁠لِكَ أَدۡنَىٰۤ أَن یَأۡتُوا۟ بِٱلشَّهَـٰدَةِ عَلَىٰ وَجۡهِهَاۤ أَوۡ یَخَافُوۤا۟ أَن تُرَدَّ أَیۡمَـٰنُۢ بَعۡدَ أَیۡمَـٰنِهِمۡۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱسۡمَعُوا۟ۗ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِینَ

“Dengan cara itu mereka lebih patut memberikan kesaksiannya menurut yang sebenarnya, dan mereka merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) setelah mereka bersumpah. Bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” QS. Al-Ma’idah: 108.

Yakni lebih dekat kepada menunaikan kesaksian yang sebenarnya tanpa penggantian dan pengubahan karena takut terhadap adzab Allah. Hal ini memiliki hikmah adanya penguatan kesaksian dengan pelaksanaannya yang dilakukan setelah sholat ashar karena waktu itu adalah waktu penetapan keputusan dalam dakwaan. Sholat itu menjadi pengingat agar bersaksi dengan benar dan adil. Atau juga takut sumpahnya dikembalikan kepada ahli warisnya. Pada yang demikian itu terdapat kehinaan dan aib sehingga tampaklah kedustaan mereka di antara manusia. Adanya ketakutan terhadap adzab Allah atau dikembalikannya sumpah menjadi sebab adanya kejujuran dan jauh dari khianat.

Kemudian al-Qur’an al-Karim mendorong untuk merasa diawasi Allah dan bertakwa kepada-Nya, Allah berfirman:

وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱسۡمَعُوا۟ۗ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِینَ

“Bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” QS. Al-Ma’idah: 108.

Yakni Allah mengawasi kalian dan berhati – hatilah dari hukuman-Nya dalam sumpah – sumpah kalian yang merupakan sumpah dusta dan penghianatan kalian terhadap orang yang memberi kepercayaan kepada kalian. Dengarkanlah dengan bertadabur dan menerima hukum – hukum ini dan beramallah kalian dengannya. Kalau tidak, niscaya kalian termasuk orang – orang yang fasik, orang – orang yang membangkang dan keluar dari lingkaran hukum Allah dan syariat-Nya. Tertolak dari hidayah dan rahmat-Nya serta berhak mendapatkan hukuman-Nya. Allah tidak menyetujui setiap orang yang keluar dari perintah Rabbnya sehingga ia menyelisihi-Nya dan mentaati syaithan.

Ini adalah hukum – hukum syariah yang rinci dalam satu keadaan di antara keadaan – keadaan kehidupan yang disiapkan sebagai contoh bagi setiap kondisi. Ayat – ayat ini menghimbau untuk berwasiat dalam safar maupun tidak safar dan menuntut adanya saksi atas wasiat tersebut untuk menetapkannya dan melaksanakannya. Persaksian pada asalnya adalah dengan dua orang muslim yang adil. Boleh ada persaksian orang non muslim atas seorang muslim dalam kondisi darurat atau ketika ada kebutuhan, dan Allah bersama dengan orang – orang yang bertakwa.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir al-Wasith oleh Syaikh Wahbah Zuhailiy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *