Halalnya Sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)

Tags: ,

Sembelihan ahli kitab dibolehkan secara prinsip dengan ijma’ berdasarkan firman Allah ta’ala:

Allah ta’ala berfirman:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” QS. Al-Maidah: 5.

Sembelihan kaum ahli kitab yang dibolehkan adalah: sembelihan hewan apa saja yang mereka yakini dalam syariat mereka sebagai sesuatu yang halal bagi mereka, namun tidak untuk yang diharamkan bagi kaum muslimin seperti daging babi, meskipun tidak diketahui bahwa mereka menyebut nama Allah ta’ala, atau sembelihan tersebut adalah bagi gereja mereka atau hari suci mereka, dan meskipun mereka meyakininya sebagai makanan yang haram seperti daging unta.

Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya dihalalkan sembelihan Yahudi dan Nasrani karena bahwasanya mereka beriman terhadap Taurat dan Injil.” Diriwayatkan oleh Hakim dan beliau menshahihkannya.

Akan tetapi Imam Malik berkata: sembelihan mereka (ahli kitab) yang haram bagi mereka adalah makruh bagi kita seperti unta dan lemak murni. Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya:

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.” QS. Al-An’am: 146.

Jumhur ulama’ membolehkannya karena hal tersebut didiamkan di dalam syariat kita, sehingga tetaplah ia atas asalnya yaitu mubah atau boleh.

Juga makruh sembelihan yang diperuntukkan bagi tempat ibadah mereka dan hari suci mereka menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan dalam satu riwayat dari Ahmad. Hal ini karena di dalamnya terdapat pengagungan sekutu mereka serta bahwasanya sembelihan tersebut dimaksudkan dengan hati mereka untuk selain Allah dan tidak disebut nama Allah padanya. Inilah pendapat yang paling benar.

Adapun bila diketahui bahwasanya orang yang menyembelih tersebut menyebut nama selain nama Allah pada hewan sembelihannya, dengan cara orang Nasrani menyebut nama Isa ketika menyembelih dan orang Yahudi menyebut nama Uzair, maka jumhur berpendapat bahwa tidak halal sembelihan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” QS. Al-Maidah: 3.

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” QS. Al-An’am: 121.

Hal ini adalah yang paling utama dalam hal sahnya sembelihan mereka karena maksud dari halalnya sembelihan mereka adalah apa saja yang mereka sembelih dengan syarat – syarat sembelihan orang muslim.

Malikiyah berpendapat: makruh sembelihan yang disebut oleh ahli kitab dengan nama selain Allah tersebut dan tidak haram berdasarkan keumuman ayat: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (QS. Al-Maidah: 5). Karena sungguh Allah mengetahui bahwasanya mereka ahli kitab itu akan mengucapkan yang semisal dengannya atas sembelihan mereka serta bahwasanya ketika mereka memyebut dengan nama tuhan pada hakikatnya tidaklah dalam rangka ibadah, maka sama saja keadaannya apakah mereka menyebutnya ataukah tidak.

Syafi’iyah membatasi halalnya sembelihan ahli kitab dan menikahi wanita – wanita ahli kitab dengan syarat:
1. Jika ahli kitab tersebut bukan dari golongan Bani Israil: yang adhhar (kuat) adalah halal jika diketahui masuknya kaumnya (yakni nenek moyangnya yang pertama kali memeluk agama) pada agama itu (yakni agamanya Nabi Musa dan Nabi Isa ‘alaihumassalam) sebelum nasakhnya (penghapusannya) dan pengubahannya karena mereka berpegang teguh kepada agama tersebut ketika masih benar.

2. Jika ahli kitab tersebut dari golongan bani Israil maka syaratnya adalah: tidaklah nenek moyang mereka itu diketahui masuk ke dalam agama itu setelah dinasakh, yakni dengan diketahuinya nenek moyang mereka masuk ke dalam agama tersebut sebelum diutusnya seorang Nabi yang menghapuskan ajaran agama sebelumnya atau yang disangka demikian. Bila diketahui nenek moyang mereka masuk setelah pengubahan agamanya, atau setelah diutusnya nabi yang tidak menasakh seperti nabi yang diutus antara Musa dan Isa maka sesungguhnya halal sembelihannya dan boleh dinikahi wanitanya.

Menurut Dr. Wahbah Zuhaili bahwasanya tidak ada dalil bagi Syafi’iyah atas syarat tersebut karena para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum memakan sembelihan dua ahli kitab dan menikahi wanita – wanita mereka, serta tidak membahas mengenai adanya syarat – syarat ini.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Dr. Wahbah Zuhailiy, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *