Hal – hal yang membatalkan wudhu ada 6:
- Keluarnya sesuatu dari dua jalan. Allah ta’ala berfirman:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“ Atau seseorang dari kamu telah kembali dari tempat buang air” (QS. Al-Ma’idah 5 : 6).
Yakni dari tempat menunaikan hajat, dan ia telah selesai menunaikannya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu.” Seorang laki-laki dari Hadlramaut berkata, “Apa yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Kentut baik dengan suara atau tidak.”
Diqiyaskan atas yang demikian itu segala sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur meskipun suci.
- Tidur pada posisi yang tidak stabil (المتمكن).
- Hilang akal karena mabuk atau sakit.
Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan: dari Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Tali pantat adalah kedua mata, maka barangsiapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.”
(وكاء) yaitu benang yang menghubungkan wadah – wadah dan yang selainnya. (السه) yaitu dubur.
Maknanya adalah bahwa kesadaran itu dapat menjaga seseorang dari segala sesuatu yang akan keluar dari perutnya karena ia bisa merasakannya. Apabila ia tidur, kesadarannya akan hilang, dan sesuatu yang keluar dari perutnya diduga kuat tidak akan terjaga lagi.
(المتمكن) yaitu posisi tidur dengan meletakkan pantatnya pada lantai (tidur dengan duduk) dari sisi tidak akan ada kentut kecuali bila ada tanda – tandanya. Yang demikian itu tidak membatalkan wudhu karena seseorang dapat merasakan sesuatu yang keluar darinya. Hilangnya akal diqiyaskan pada tidur karena hilangnya akal lebih kuat daripada tidur dalam maknanya (yaitu hilangnya akal sehingga tidak dapat merasakan sesuatu yang keluar darinya).
- Bersentuhan kulit antara laki – laki dengan perempuan yang bukan mahram tanpa penghalang.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam ayat wudhu’:
أوْ لامَسْتُمْ النسَاءَ
“atau kamu telah menyentuh perempuan” (QS. An-Nisa’ 4 : 43)
Yakni (لمستم) “menyentuh”, sebagaimana ditunjukkan oleh qiraah yang lain.
- Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan bagian dalam.
Imam yang lima meriwayatkan dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi dari Busrah binti Shofwan bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia berwudhu.”
Di dalam riwayat an-Nasa’I disebutkan:
وَيُتَوَضَّأُ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ
” Hendaklah berwudhu karena menyentuh kemaluan.”
Maka dengan demikian hal itu berlaku untuk menyentuh kemaluan sendiri ataupun kemaluan orang lain (misal ketika memandikan jenazah).
Adapun menurut riwayat Ibnu Majah dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha:
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.”
Maka dengan demikian hal itu berlaku juga untuk menyentuh kemaluan laki – laki maupun perempuan, sebagaimana juga berlaku juga untuk menyentuh qubul dan dubur.
- Menyentuh lubang dubur (manusia) menurut pendapat (imam Syafi’i) yang baru (jadid).
Mazhab Jadid yaitu pendapat Imam Syafi’I rahimahullahu ta’ala ketika beliau berada di Mesir, baik itu tulisan maupun fatwa – fatwanya. Hal tersebutlah yang berlaku seterusnya kecuali dalam beberapa masalah yang menjadi mazhab qadim namun dirajihkan oleh para imam mazhab Syafi’i.