Jaiz (boleh): adalah apa saja yang mungkin keberadaannya dan ketiadaannya secara aqli. Yakni bahwasanya aqal dapat menggambarkan keberadaannya dan dapat pula menggambarkan ketiadaannya. Setiap apa saja yang jaiz (boleh) secara aqli, maka boleh pula hal itu diadakan oleh Allah dan ditiadakan-Nya. Meskipun hal itu tidak mungkin pada umumnya atau tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Sebagai contoh, Fulan menjadi seorang yang kaya itu adalah suatu perkara yang jaiz (boleh), maka boleh saja bagi Allah untuk menjadikannya sebagai orang yang kaya. Contoh lain lagi, Fulan menjadi seorang yang alim adalah suatu perkara yang jaiz (boleh), maka boleh saja bagi Allah untuk menjadikannya sebagai orang yang alim dst.
Merupakan perkara yang jaiz secara aqli bahwa ada manusia yang dapat berjalan di atas air tanpa alat – alat bantu meskipun hal itu tidak lazim. Maka merupakan hal yang jaiz bagi Allah untuk memuliakan salah seorang hambanya dengan hal itu, inilah yang dinamakan dengan karomah. Merupakan perkara yang jaiz secara aqli bahwa ada manusia yang dapat terbang di atas udara tanpa alat bantu meskipun hal itu tidak lazim. Maka merupakan hal yang jaiz bagi Allah untuk memuliakan salah seorang hambanya dengan hal yang demikian itu.
Akan tetapi Allah ta’ala menjadikan bagi alam semesta sebuah sunnah yang tetap agar teratur kehidupan mereka sebagai rahmat bagi makhluk-Nya. Maka terbit dan terbenamnya matahari, hukum – hukum kehidupan pada pertanian dan yang lainnya, dan kekhususan kehidupan alam semesta adalah tetap berdasarkan qudrah (kuasa) Allah ta’ala. Ada kalanya Allah ta’ala mengeluarkan sesuatu dari sunnah tersebut dalam bentuk mukjizat bagi nabi – nabi-Nya, karomah bagi wali – wali-Nya, dan istidraj bagi orang – orang yang celaka. Itu semua untuk menyadarkan manusia akan kuasa Allah ta’ala dan untuk memberi tahu manusia bahwa tetapnya sistem alam semesta ini adalah dengan kuasa Allah azza wa jalla. Allah ta’ala berfirman:
فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا
“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” QS. Al-Fathir: 43.
Pantas disebutkan bahwa maksud dari sunnah Allah dalam ayat ini dan permisalannya adalah kebinasaan kaum kafir dan orang – orang yang zhalim, namun demikian pelajaran dari ayat tersebut diperoleh berdasarkan keumuman lafadznya bukan berdasarkan kekhususan sebab sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama’.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.