Hak Membuat Syariat Ada Pada Allah Bukan Pada Manusia

Tidaklah ada bagi seorang manusiapun dalam syariat Al-Qur’an yang memiliki hak dalam menghalalkan atau mengharamkan, membolehkan atau melarang. Sesungguhnya hak membuat syariat pada yang demikian itu ada pada Allah subhanahu yang menurunkan syariat – syariat, menjelaskan halal, haram, sistem – sistem, dan hukum – hukum. Karena syariat Ilahi Qur’ani itu kekal abadi, tidak terpengaruh dengan kemaslahatan pribadi, zaman, atau tempat. Sesungguhnya ia adalah undang – undang kehidupan yang abadi dan sistem yang lebih utama lagi terpilih untuk memperbaiki kehidupan dan mendatangkan manfaat bagi individu dan jama’ah. Oleh karena itu al-Qur’an al-Karim mengingkari orang Arab Jahiliyah yang berani menetapkan syariat – syariat, menetapkan ibadah kepada berhala, dan menghalalkan atau mengharamkan sebagian hewan ternak. Allah subhanahu berfirman:

مَا جَعَلَ ٱللَّهُ مِنۢ بَحِیرَةࣲ وَلَا سَاۤىِٕبَةࣲ وَلَا وَصِیلَةࣲ وَلَا حَامࣲ وَلَـٰكِنَّ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ یَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۖ وَأَكۡثَرُهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ * وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡا۟ إِلَىٰ مَاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسۡبُنَا مَا وَجَدۡنَا عَلَیۡهِ ءَابَاۤءَنَاۤۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَاۤؤُهُمۡ لَا یَعۡلَمُونَ شَیۡـࣰٔا وَلَا یَهۡتَدُونَ

“Allah tidak pernah mensyariatkan adanya Bahirah, Sa’ibah, Washilah dan Ham. Tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” QS. Al-Ma’idah: 103-104.

Terdapat kaum yang bertanya mengenai hukum – hukum jahiliyah, apakah hukum tersebut masih tersisa dan apakah hukum tersebut mengikuti hukum Allah dalam memuliakan Ka’bah dan Al-Haram? Maka Allah ta’ala mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Ia tidak menjadikan sesuatupun darinya dan tidak pula mensyariatkannya bagi hamba – hambanya. Akan tetapi kaum kuffar lah yang telah melakukan yang demikian itu ketika pembesar – pembesar mereka dan pemimpin – pemimpin mereka seperti Amru bin Luhay dan yang lainnya mengada – adakan kedustaan atas Allah. Sehingga mereka mensyariatkan bagi manusia untuk beribadah kepada berhala dan mengharamkan sebagian hewan ternak. Mereka berkata: ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah dan urusan yang diridhainya. Sebagian besar pengikutnya tidak memikirkannya sedikitpun,  akan tetapi mengikuti perkara – perkara ini dengan ikut – ikutan dan berada dalam kesesatan tanpa hujah.

Makna ayat: Allah tidak menetapkan dan mensyariatkan sesuatu pun bagi hamba – hambanya berupa hukum – hukum Arab jahiliyah. Tidak pula memerintahkan dengan menetapkan hewan bahirah atau saibah ataupun yang lainnya, akan tetapi mereka mengada – adakan dan ikut – ikutan kepada pembesar – pembesar mereka dalam hal pengharamannya.

Kebanyakan mereka itu ikut – ikutan saja tidak mengetahui atau tidak memikirkan bahwa yang demikian itu kebohongan atas Allah, menafikan akal pikiran, merupakan paganisme dan kesyirikan. Allah tidak memerintahkan untuk kufur dan tidak meridhainya bagi hamba – hambanya. Orang yang pertama kali mengharamkan hal – hal yang mereka haramkan dan mensyariatkan ibadah kepada berhala bagi orang – orang Arab adalah Amru bin Luhay al-Khaza’i. Dia adalah orang yang mengubah agama Ibrahim, mengadakan hewan bahirah, hewan saibah, dan hewan ham.

Al-bahirah adalah unta yang diiris telinganya yakni dibelah dengan belahan yang lebar jika ia telah melahirkan lima kali. Apabila anak terakhir yang dilahirkannya adalah betina, haram atas kaum wanita daging dan susunya. Apabila yang terakhir dilahirkannya adalah jantan, mereka menyembelihnya dan memakannya. As-saibah adalah unta yang dibiarkan dengan menazarkannya kepada tuhan – tuhan berhala, sehingga unta tersebut  sebagai pelayan tuhan – tuhan itu, ia dibiarkan merumput tidak dibebani bawaan sesuatupun, tidak dipotong bulunya, tidak diperah susunya kecuali untuk tamu. Al-washilah adalah kambing atau unta yang bersambung dengan saudaranya yang dilahirkan jantan atau betina, mereka tidak menyembelih yang jantan bagi tuhan – tuhan mereka sebagaimana mereka perbuat kalau yang dilahirkan satu saja. Al-Ham adalah unta jantan yang telah membuat unta betina melahirkan sepuluh ekor anak. Unta ini tidak dibebani apapun, tidak dilarang dari sumber air, dan tidak dihalau dari padang rumput.

Ini adalah pengharaman sebagian hewan ternak yang dilakukan oleh kaum Arab jahiliyah penyembah berhala. Ini adalah sesuatu yang mengada – ada dan sebuah kedustaan. Allah tidak mengizinkannya. Mereka mengklaim bahwa Allah lah yang memerintahkan yang demikian itu dan engkau melihat mereka berkebalikannya. Ketika dikatakan kepada mereka: Marilah beramal dengan apa yang Allah turunkan berupa hukum – hukum yang dikuatkan dengan hujah – hujah, dan beramal dengan apa yang Rasul sampaikan yang merupakan penjelas bagi keumumannya, mereka menjawab: Cukuplah bagi kami apa yang kami temui pada bapak – bapak kami, mereka itu bagi kami adalah para pemuka dan pemimpin yang mensyariatkan, dan kami adalah pengikut mereka. Yakni sesungguhnya mereka itu mengikuti pendahulu – pendahulu mereka dengan bertaklid buta.

Oleh karena itulah al-Qur’an mengingkari taklid ini. Taklid yang tidak memiliki dalil. Maka apakah diterima dari mereka taklid seperti ini, apakah cukup bagi mereka bersandar semata – mata kepada yang demikian itu untuk beramal, meskipun bapak – bapak mereka tidak mengetahui syariat – syariat sedikitpun, dan mereka tidak dapat memberi petunjuk kepada maslahat atau kebaikan di dunia dan akhirat? Mereka itu membabi buta dalam kegelapan penyembahan terhadap berhala dan khurafat. Mereka membuat syariat bagi diri mereka sendiri berdasarkan hawa nafsu mereka, mulai dari mengubur bayi perempuan hidup – hidup, meminum khamr, menzhalimi anak yatim dan perempuan, melakukan perbuatan – perbuatan yang keji dan munkar, menetapkan peperangan karena sebab – sebab yang remeh, dan memprovokasi permusuhan dan kemarahan.

Ini adalah pengingkaran yang jelas dan celaan terhadap taklid buta serta fanatik terhadap warisan tanpa pemahaman dan kesadaran. Seakan – akan mereka berkata setelah teguran ini: Ya kalau bapak – bapak kami juga demikian. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat yang lain:

وَإِذَا قِیلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلۡ نَتَّبِعُ مَاۤ أَلۡفَیۡنَا عَلَیۡهِ ءَابَاۤءَنَاۤۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَاۤؤُهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ شَیۡـࣰٔا وَلَا یَهۡتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.” QS. Al-Baqarah: 170.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir al-Wasith oleh Syaikh Wahbah Zuhailiy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *