Orang yang masih memiliki perasaan tentu akan bertanya dan orang-orang yang berakal tentu tak habis pikir, apa sebab dan faktor yang dimiliki orang-orang Muslim sampai batasan ini serta mengapa mereka masih tabah? Bagaimana mungkin mereka bisa bersabar menghadapi berbagai macam tekanan yang bisa membuat kulit merinding dan hati bergetar hanya dengan mendengarkannya saja? Karena pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hati inilah kami merasa perlu mengisyaratkan secara ringkas beberapa faktor dan sebab tersebut.
1. Iman kepada Allah
Sebab yang paling pokok adalah iman kepada Allah semata dan mengetahui-Nya dengan sebenar-benarnya pengetahuan. Iman yang mantap disertai keteguhan hati bisa disejajarkan dengan sebuah gunung yang tidak bisa diusik. Orang yang memiliki iman yang kuat dan keyakinan yang mantap seperti ini, melihat kesulitan dunia, seperti apa pun beratnya dan banyaknya, tak ubahnya riak-riak buih di atas aliran sedikit air yang akan menjebol bendungan yang amat kokoh. Dia tak ambil peduli terhadap kesulitan itu, karena dia telah mendapatkan manisnya iman dan kegembiraan keyakinan. Firman Allah,
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” (Ar-Ra’d: 17)
Dari satu faktor ini saja sudah meragamkan faktor-faktor lain yang sekaligus menguatkan kesabaran dan ketabahan tersebut.
2. Sosok Pemimpin yang Bisa Menyatukan Hati Manusia
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang pemimpin dan komandan tertinggi bagi umat Islam, bahkan bagi semua manusia. Beliau memiliki perawakan badan yang bagus, jiwa yang sempurna, akhlak yang mulia, ciri-ciri yang menawan, sifat-sifat yang terhormat, yang mampu menawan hati dan membuat jiwa manusia tunduk kepada beliau. Perawakan dan penampilan beliau benar-benar sempurna, tak seorang pun yang menyamainya, ditambah lagi dengan kemuliaan, kecerdasan, kebaikan, keutamaan, amanah, kejujuran dan segala hal yang baik ada pada diri beliau. Musuh pun mengakui hal ini, terlebih lagi rekan-rekan dan orang-orang yang mencintai beliau. Tidak ada satu kata pun yang dinyatakan seseorang kecuali pasti mengakui kebenaran semua ini.
Suatu kali ada tiga orang Quraisy (Abu Jahal, Abu Sufyan, dan Al-Akhnas bin Syariq), yang secara sembunyi-sembunyi mencuri dengar ayat-ayat Al Qur`an yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga yang satu tidak tahu apa yang dilakukan dua teman lainnya. Tetapi kemudian perbuatan mereka itu terbongkar. Salah seorang di antara mereka bertanya kepada Abu Jahal, “Apa pendapatmu tentang apa yang engkau dengar dari Muhammad?”
“Apa yang kudengar? Kami dan Bani Abdi Manaf saling bersaing untuk merebut simpati. Mereka memberi makan dan kami pun berbuat hal yang sama. Mereka membawa barang dan kami pun berbuat hal yang sama. Mereka memberi orang lain dan kami pun berbuat hal yang sama. Sehingga tatkala kami saling membagi hasil dalam kafilah dagang, dan kami tak ubahnya kuda-kuda yang digadaikan, mereka berkata, ‘Kami mempunyai seorang Nabi yang mendapat wahyu dari langit. Lalu kapan kita bisa menyadari hal ini?’ Demi Allah, kami sama sekali tidak akan beriman kepadanya dan tidak pula membenarkannya.”
Abu Jahal pernah berkata, “Wahai Muhammad, kami tidak mendustakan dirimu, tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa.”
Lalu Allah menurunkan ayat,
فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَٰكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
“Mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (An-An’am:33)
Suatu hari beliau disakiti orang-orang kafir sebanyak tiga kali. Pada kali ketiga beliau bersabda, “Wahai semua orang Quraisy, aku datang kepada kalian membawa korban.” Kata-kata beliau ini mengiang-ngiang di benak mereka, sehingga orang yang sangat terpengaruh sabda beliau ini benar-benar berupaya mencari cara yang paling baik untuk menghibur dirinya.
Tatkala mereka melontarkan isi perut binatang yang sudah disembelih kepada beliau selagi sujud, maka beliau mendoakan kecelakaan bagi mereka. Tawa mereka langsung berhenti dan dibayangi perasaan takut dan gelisah, dengan disertai keyakinan bahwa mereka pasti akan binasa.
Beliau juga pernah mendoakan kecelakaan bagi Utbah bin Abu Lahab. Dia tetap merasa yakin akan tertimpa kecelakaan seperti doa beliau. Maka tatkala dia melihat singa selagi pergi ke Syam, dia berkata, “Demi Allah, singa itu pasti akan mencaplokku, sementara Muhammad ada di Makkah.” Benar saja. Singa itu tidak memangsa orang lain, dan justru hanya memangsa dirinya.
Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh beliau. Namun beliau bersabda, “Akulah yang akan membunuhmu insya Allah.” Tatkala beliau menggoreskan senjata di leher Ubay pada waktu Perang Uhud, dan hanya berupa goresan yang kecil saja, maka Ubay berkata, “Waktu di Makkah dulu dia pernah berkata padaku, ‘Akulah yang akan membunuhmu.’ Demi Allah, andaikan saja dia meludahiku, tentu ludahnya sudah bisa membunuhku.”
Sa’d bin Mu’adz pernah berkata kepada Umayyah bin Khalaf saat masih di Makkah, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang Muslim akan menyerangmu.” Dia langsung tercengang dan kaget mendengarnya dan bersumpah tidak akan keluar dari Makkah. Tatkala Abu Jahal mengajaknya pergi saat Perang Badr, dia membeli seekor onta paling bagus di Makkah yang memungkinkan dapat digunakan untuk melarikan diri jika diperlukan.
“Wahai Abu Sufyan,” kata istrinya, “Apakah engkau sudah lupa apa yang pernah dikatakan saudaramu dari Yastrib?”
“Tidak. Demi Allah, aku akan menjaga jarak dengan mereka,” katanya.
Begitulah keadaan musuh-musuh beliau, yang tidak mampu menguasai diri karena pengaruh sabda beliau. Sedangkan para sahabat dan rekan-rekan beliau, menempatkan beliau di dalam ruh dan jiwanya. Cinta tulus tercurah kepada beliau, layaknya air yang tercurah ke dataran rendah. Jiwa mereka tertarik kepada beliau, seperti besi yang ditarik magnit. Di antara pengaruh cinta yang tulus ini, mereka tidak ambil peduli sekalipun leher harus putus, kuku dicopot secara paksa atau pun kaki terkena duri.
Suatu hari saat masih di Makkah, Abu Bakar pernah diinjak-injak orang orang Quraisy. Belum cukup sampai di sini. Utbah bin Rabi’ah menghampirinya lalu memukulnya dengan terompah yang tebal di bagian wajahnya. Setelah itu dia melompat tepat ke arah perutnya, hingga dia tidak bisa melihat ujung hidungnya sendiri. Kemudian orang-orang dari Bani Taim menyembunyikannya dengan menyelubungi kain, lalu memasukkannya ke dalam rumah salah seorang di antara mereka. Mereka yakin, tak seberapa lama kemudian Abu Bakar akan meninggal.
“Apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” tanya Abu Bakar setelah sore hari.
Mereka membicarakan keadaan Abu Bakar dan mencelanya. Akhirnya mereka beranjak pergi dan menemui ibunya, Ummul Khair, dan berkata kepadanya, “Periksalah dia, dan ada baiknya jika engkau memberinya makan atau minum.”
Tatkala Ummul Khair tinggal berdua dengan Abu Bakar, dia mendesaknya untuk makan. Namun Abu Bakar menolaknya dan bertanya, “Apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
“Kalau begitu ibu harus pergi menemui Ummu Jamil binti Al-Khaththab. Tanyakan kepadanya!”
Ummul Khair pergi menemui Ummu Jamil, lalu bertanya kepadanya, “Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin Abdullah.”
Ummu Jamil menjawab,”Aku tidak tahu dimana Abu Bakar dan Muhammad bin Abdullah berada. Jika engkau mengizinkan aku pergi bersamamu menemui anakmu, maka aku siap untuk pergi.”
“Baiklah,” jawab Ummul Khair. Maka Ummu Jamil pergi bersamanya untuk menemui Abu Bakar yang tergeletak tak berdaya. Ummu Jamil mendekat dan tak kuasa untuk tidak menjerit karena kaget melihat keadaannya. Dia berkata, “Demi Allah, seperti inikah yang dilakukan orang-orang fasik dan kafir terhadap dirimu? Aku benar benar berharap agar Allah membalaskan terhadap mereka.”
“Apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
“Apa yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
“Ini ada ibumu yang ikut mendengar.”
“Engkau tak perlu menyangsikannya,” kata Abu Bakar.
Lalu dia berkata lagi, “Beliau dalam keadaan selamat dan sehat.”
“Di mana beliau?” tanya Abu Bakar.
“Di rumah Ibnul Arqam,” jawab Ummu Jamil.
Abu Bakar berkata, ”Aku sudah bersumpah kepada Allah untuk tidak makan dan minum kecuali setelah bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Maka kedua wanita itu menunggui Abu Bakar, dan setelah keadaanya agak membaik dan orang-orang sudah sepi, mereka pergi memapah Abu Bakar, hingga tiba di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Benih-benih cinta dan kasih yang tumbuh seperti peristiwa ini akan kami sampaikan di bagian mendatang, terutama pada saat Perang Uhud.
3. Rasa Tanggung Jawab
Para sahabat menyadari betul tanggung jawab yang besar di pundak manusia, yang tidak mungkin dielakkan dan diselewengkan, seperti apa pun keadaannya. Akibatnya yang terjadi di kemudian hari jika mereka menghindari tanggung jawab ini jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada tekanan tekanan tersebut. Kerugian yang mereka alami dan yang dialami manusia jika menghindari tanggung jawab itu sulit dilukiskan daripada kesulitan yang mereka hadapi karena harus memikul tanggung jawab tersebut.
4. Iman kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir. Iman inilah yang menguatkan perasaan untuk memikul tanggung jawab tersebut. Mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka akan bangkit kembali untuk menghadap Allah Rabbul ‘alamin, amal mereka akan dihisab secara mendetil, yang kecil maupun yang besar, dan setelah itu entah menuju surga yang penuh kenikmatan ataukah ke neraka yang penuh siksaan dan abadi di sana. Mereka menghabiskan waktu dalam hidupnya antara takut dan mengharap, takut adzab Allah dan mengharap rahmat-Nya. Mereka sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Al-Mukminun: 60)
Mereka tahu, dunia dengan kenikmatan dan penderitaannya tak mampu menyamai sebelah sayap nyamuk di akhirat. Pengetahuan ini membuat mereka mengabaikan penderitaan hidup dan kepahitannya, sehingga mereka tidak mempedulikannya.
5. Al-Qur`an
Pada saat-saat kritis, rawan, dan menakutkan, turun surat dan ayat-ayat Al-Qur`an yang memberikan hujjah dan bukti penjelasan tentang prinsip prinsip Islam yang menjadi inti dakwah, dengan redaksi yang jelas dan akurat, memberi petunjuk kepada orang-orang Muslim tentang dasar-dasar kekuasaan Allah, agar mereka menjadi masyarakat manusia yang paling ideal di dunia, yaitu masyarakat Islam. Ayat-ayat itu juga membangkitkan perasaan mereka untuk sabar dan tabah. Ayat-ayat itu bisa berupa contoh-contoh perumpamaan dan pasti menjelaskan hukum kepada mereka, Firman Allah,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (An-Ankabut: 1-3)
Ayat-ayat itu juga ada yang memberikan sanggahan terhadap orang-orang kafir dan pembangkang dengan sanggahan yang telak, sehingga sama sekali tidak memberi angin kepada mereka, kemudian memperingatkan mereka tentang akibat yang sangat mengerikan jika mereka tetap bertahan dengan pembangkangan dan pengingkarannya, yang dikuatkan dengan berbagai peristiwa sejarah, agar mereka mau berpaling dari kesesatannya.
Al-Qur`an membawa orang-orang Muslim berjalan di alam lain, membuat mereka tahu berbagai kejadian alam, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyah, pengaruh rahmat dan keridhaan Allah, lalu menyusupkan perasaan kasih ke dalam dirinya.
Di dalam ayat-ayat itu terkandung seruan bagi orang-orang Muslim, yang memberikan kabar gembira kepada mereka tentang rahmat, keridhaan dan surga yang penuh kenikmatan bagi mereka, melukiskan gambaran musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang kafir dan zhalim.
6. Kabar Gembira tentang Datangnya Keberhasilan
Sejak semula orang-orang Muslim sudah menyadari bahwa mereka akan mendapat kesulitan dan tekanan. Sekalipun begitu, dengan masuk Islam bukan berarti mereka hendak menantang bahaya dan maut. Tetapi dakwah Islam sejak semula dimaksudkan untuk mengenyahkan kehidupan Jahiliyah yang bodoh dan aturan-aturan yang semena-mena. Tujuan lain yang fundamental dari dakwah Islam ialah menyebarkan pengaruh di bumi dan menguasai sektor politik dalam kehidupan dunia, untuk menuntun manusia dan masyarakat kepada keridhaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah.
Al-Qur`an turun dengan membawa kabar gembira ini, kadang diungkapkan secara gamblang dan kadang diungkapkan menggunakan kiasan. Pada saat-saat yang genting dan krisis, sehingga bumi ini terasa sempit bagi orang-orang Muslim, membuat leher mereka terasa tercekik dan hidup mereka seperti tak akan berlanjut lagi, turun ayat-ayat yang menjelaskan perjalanan hidup para nabi terdahulu di tengah kaumnya, yang diingkari dan didustakan. Kandungan ayat-ayat itu berisi berbagai keadaan yang tak berbeda jauh dengan keadaan orang orang Muslim di Makkah dan orang-orang kafir. Kemudian ayat-ayat itu juga menyebutkan kesudahannya, berupa kehancuran orang-orang kafir dan zhalim. Sedangkan hamba-hamba Allah berhak mewarisi dunia dan seisinya. Kisah kisah ini merupakan isyarat yang sangat jelas tentang kegagalan penduduk Makkah yang kafir di kemudian hari, keberhasilan orang-orang Muslim dan kesuksesan dakwah Islam.
Pada saat-saat itulah turun ayat-ayat yang menegaskan kabar gembira kemenangan orang-orang Muslim. Firman-Nya,
وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ * إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنْصُورُونَ * وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ * فَتَوَلَّ عَنْهُمْ حَتَّىٰ حِينٍ * وَأَبْصِرْهُمْ فَسَوْفَ يُبْصِرُونَ * أَفَبِعَذَابِنَا يَسْتَعْجِلُونَ * فَإِذَا نَزَلَ بِسَاحَتِهِمْ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu masa. Dan, terangkanlah kepada mereka, maka kelak mereka akan melihat (adzab itu). Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan? Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.” (Ash Shaffat: 171-177)
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (Al-Qamar: 45)
“Suatu tentara yang besar berada di sana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan.” (Shad: 11)
Turun pula ayat-ayat tentang orang-orang Muslim yang hijrah ke Habasyah.
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (An-Nahl: 41)
Mereka bertanya tentang kisah Yusuf. Maka Allah menurunkan intinya,
“Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7)
Dengan kata lain, penduduk Makkah yang bertanya itu akan memperoleh kegagalan seperti kegagalan yang diperoleh saudara-saudara Yusuf dan akan menyerah seperti yang mereka lakukan. Begitu pula yang terjadi saat mengisahkan para rasul,
“Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami sungguh sungguh akan mengusir kamu dari negeri Kami atau kamu kembali kepada agama kami.” Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (Ibrahim:13-14)
Tatkala meletus peperangan yang sengit antara bangsa Persi dan Romawi, maka orang-orang kafir berharap agar bangsa Persilah yang menang, karena mereka adalah orang-orang musyrik. Sedangkan kaum Muslimin berharap agar bangsa Romawilah yang menang, karena mereka orang-orang yang percaya kepada Allah, para rasul, wahyu, kitab-kitab, dan Hari Akhirat. Namun akhirnya kemenangan jatuh ke tangan bangsa Persi. Lalu Allah menurunkan kabar gembira tentang kemenangan bangsa Romawi tak seberapa lama kemudian. Tetapi tidak cukup hanya satu kabar gembira saja, Allah menegaskan kabar gembira lain, yaitu pertolongan yang diberikan Allah kepada orang-orang Mukmin,
“Dan, pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang orang yang beriman, karena pertolongan Allah.” (Ar-Rum: 4-5)
Dari waktu ke waktu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kabar gembira seperti ini. Jika musim haji dan beliau berdiri di hadapan orang-orang di pasar Ukazh, Majannah, dan Dzil-Majaz untuk menyampaikan risalah, maka beliau tidak menyampaikan kabar gembira kepada mereka berupa surga semata, tetapi beliau menyatakan kepada mereka secara gamblang, ”Wahai sekalian manusia, ucapkalah la ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung, dapat menguasai bangsa Arab dan orang-orang non-Arab pun akan tunduk kepada kalian. Jika kalian mati, maka kalian akan menjadi raja di surga.”
Di bagian terdahulu sudah kami sampaikan tentang penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap tawaran Utbah bin Rabi’ah, yang hendak mengadakan tukar menukar agama yang beliau sebarkan dengan segala kesenangan dan kekayaan dunia. Beliau juga tidak mengabulkan permintaan utusan terakhir yang datang kepada Abu Thalib. Beliau menegaskan kepada mereka bahwa dengan satu kata saja yang mereka ucapkan tentu semua bangsa Arab akan tunduk kepada mereka dan orang-orang non-Arab dapat mereka tundukkan.
Khabbab bin Al-Aratt berkata, “Aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang bergayut pada kainnya, berlindung di samping Ka’bah. Saat-saat itu kami mendapat siksaan dari orang-orang musyrik. Aku bertanya, “Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah?”
Lalu beliau duduk dengan wajah yang bersemu merah, lalu bersabda, “Orang-orang sebelum kalian pernah ada yang disisir (disiksa) dengan sisir dari besi, ditusuk hingga ke tulang merusak daging dan urat-uratnya, namun hal itu tidak membuatnya beralih dari agamanya. Tetapi berharaplah benar benar kepada Allah untuk kemenangan agama ini, hingga rombongan kafilah bisa berlalu dari Shan’a hingga Hadhramaut tanpa rasa takut kecuali kepada Allah.” Rawi hadits ini menambahi penjelasan, “Dan serigala tidak memangsa domba-dombanya.” Dalam riwayat lain disebutkan, ”Tetapi kalian terburu buru.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Kabar gembira ini tidak hanya samar-samar dan tersembunyi, tetapi jelas dan nyata, juga diketahui orang-orang kafir sebagaimana orang-orang Muslim yang mengetahuinya secara jelas. Sehingga Al-Aswad bin Al-Muththalib dan teman-temannya mengobrol suka menyindir para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berjalan di dekat mereka, dengan berkata, “Raja-raja dunia sedang menghampiri kalian. Mereka akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar.” Setelah itu mereka bersiul-siul dan bertepuk tangan mengejek.
Dengan adanya kabar gembira tentang hari esok yang gemilang di dunia, disertai harapan untuk mendapatkan keberuntungan di surga pada akhirnya, maka para sahabat memandang berbagai macam tekanan yang menimpa mereka dari segala penjuru dan cobaan yang mengepung mereka dari segala sisi, hanya sekedar sebagai riak-riak awan pada musim kemarau, yang terlalu cepat sirnanya.
Di samping itu semua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menyuapi ruh mereka dengan santapan-santapan iman, membersihkan jiwa mereka dengan pengajaran hikmah dan Al-Qur`an, mendidik mereka dengan pendidikan yang mendetil dan mendalam, membawa jiwa mereka ke tingkatan ruh yang tertinggi, kesucian hati, kebersihan akhlak, pembebasan dari kekuasaan materi, penentangan nafsu dan tunduk kepada Allah semata. Beliau mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, menuntun mereka untuk bersabar menghadapi siksaan, tabah dan lapang dada. Sehingga mereka semakin mantap berpegang teguh kepada agama, menjauhkan diri dari nafsu, mengharapkan surga, haus ilmu, menghisab diri sendiri, menundukkan kesenangan jiwa, mengikat diri dengan kesabaran, ketabahan dan ketenangan jiwa.
Rujukan:
Sirah Nabawiyah/Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri; Penerjemah: Kathur Suhardi; Penyunting: Yasir Maqosid; cet. 1–Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.