إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ (26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (27)
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Baqarah 2 : 26-27).
As-Suddi berkata: bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan ini bagi orang-orang munafik, yakni firman-Nya:
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (QS. Al-Baqarah 2 : 17).
dan firman-nya:
أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit. (QS. Al-Baqarah 2 : 19).
Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka orang-orang munafik berkata bahwa Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung untuk membuat perumpamaan-perumpamaan ini. Maka Allah menurunkan ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 26-27) sampai dengan firman-Nya:
أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Baqarah 2 : 27).
As-Suddi menyebutkannya di dalam kitab tafsirnya dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Qatadah berkata: ketika Allah menyebutkan laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik berkata, “Apa hubungannya laba-laba dan lalat disebutkan?” Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Yakni sesungguhnya Allah tiada segan —demi perkara yang hak— untuk menyebutkan sesuatu hal, baik yang kecil maupun yang besar. Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam Kitab-Nya mengenai lalat dan laba-laba, lalu orang-orang yang sesat mengatakan, “Apakah yang dimaksud oleh Allah menyebut hal ini?” Maka Allah menurunkan firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak merasa malu —yakni tidak segan atau tidak takut— untuk membuat perumpamaan apa pun, baik perumpamaan yang kecil ataupun yang besar.
Huruf maa pada lafaz (مَثَلًا مَا) menunjukkan makna taqlil (sedikit atau terkecil), dan lafaz (بَعُوضَةً) di-nasab-kan sebagai badal. Perihal makna maa di sini sama dengan ucapan seseorang (لَأَضْرِبَنَّ ضَرْبًا مَا), artinya aku benar-benar akan memukul dengan suatu pukulan. Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling ringan. Atau huruf maa di sini dianggap sebagai maa nakirah mausufah, yakni huruf maa diartikan dengan penjelasan lafaz (بَعُوضَةً-nyamuk). lafaz (بَعُوضَةً) dapat di-nasab-kan karena membuang harakat jar-nya. Bentuk kalimat secara utuh menjadi seperti berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَيْنَ بَعُوضَةٍ إِلَى مَا فوقها
sesungguhnya Allah tiada segan untuk membuat perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk hingga yang lebih dari itu kecilnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan Al-Farra.
Firman Allah ta’ala:
فَمَا فَوْقَهَا
atau yang lebih rendah dari itu. A (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud ialah lebih kecil dan lebih rendah darinya. Perihalnya sama dengan seorang lelaki jika disifati dengan karakter yang tercela, yakni kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya, (نَعَمْ وَهُوَ فَوْقَ ذلك-“Memang benar, dia lebih rendah dari apa yang digambarkannya”) Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid. Di dalam hadis disebutkan:
لَوْ أَنَّ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk, niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun darinya kepada orang kafir.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna (فَمَا فَوْقَهَا) ialah yang lebih besar dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa tiada sesuatu pun yang lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk. Ini adalah pendapat Qatadah ibnu Di’amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis riwayat Imam Muslim melalui Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh sebuah duri dan apa – apa yang lebih darinya melainkan dicatatkan baginya karena musibah tersebut suatu derajat (pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah itu suatu dosa.
Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal (perumpamaan), sekalipun sesuatu itu hina lagi kecil seperti nyamuk; sebagaimana Dia tidak segan-segan menciptakan makhluk yang kecil itu, Dia tidak segan-segan pula membuat perumpamaan dengan makhluk kecil itu, sebagaimana membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj 22:73).
Juga dalam Firman-nya:
الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS. Al-Ankabut 29:41).
Allah juga berfirman:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun. (QS. An-Nahl 16 : 75).
Allah juga berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan? (QS. An-Nahl 16 : 76).
Allah berfirman:
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.(QS. Al-Ankabut 29 : 43).
Dan di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali permisalan – permisalan. Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur’an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.(QS. Al-Ankabut 29 : 43)”
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-nya:
أَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ
Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Yakni mereka mengetahui bahwasanya permisalan itu adalah firman Ar-Rahman dan bahwasanya permisalan itu berasal dari sisi Allah.
Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya:
فَأَمَّاالَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ
Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Yang dimaksud ialah perumpamaan ini. Tetapi mereka yang kafir mengatakan:
مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا
“Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
وَلا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا هُوَ
Dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (QS. Al-Muddatstsir 74 : 31).
Demikian pula dalam ayat ini (yakni QS. Al-Baqarah: 26):
يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Ibnu ‘Abbas berkata: yang dimaksud dengan pengertian (يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا) adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian ( وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا) adalah orang-orang mukmin. Dengan demikian, berarti makin bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada; karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah. Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka, dan bertambah pula iman mereka.
وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Abul ‘Aliyah berkata: mereka adalah orang – orang yang munafik.
Mujahid berkata dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan firman-nya:
وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
Yakni orang – orang kafir mengetahuinya namun mereka kafir terhadapnya.
Qatadah berkata sehubungan dengan firman-Nya:
وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS. Al-Baqarah 2 : 26).
bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya.
Makna fasik menurut bahasa: keluar dari ketaatan. Orang-orang Arab mengatakan, (فَسَقَتِ الرَّطْبَةُ) bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan (فُوَيْسِقَةٌ) karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan. Di dalam hadis Sahihain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
خَمْسُ فَوَاسَقَ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الغرابُ والحدأةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh —baik di tanah halal maupun di tanah haram— yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila. (HR. Bukhari dan Muslim).
Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka/tidak taat, tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah ‘fasik’ dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(orang – orang fasik yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Baqarah 2 : 27).
Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat lainnya:
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ. الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (QS. Ar-Ra’du 13 : 19-20).
Hingga firman-Nya:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (QS. Ar-Ra’du 13 : 25).
Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya. Sebagian dari kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena tidak mengamalkan hal tersebut.
Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal tersebut dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.
Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini ialah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah kepada mereka yang berkaitan dengan masalah mentauhidkan (mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah subhanahu wa ta’ala. Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan hujah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat hal yang semisal dengannya. Mukjizat-mukjizat tersebut menyaksikan akan kebenaran kerasulan mereka.
Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka ialah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para rasul itu adalah perkara yang hak.
Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Muqatil ibnu Hayyan, pendapat ini cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada pendapat tersebut.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan, “Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?” Jawabannya, “Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji.” Pengertian inilah yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan kalian!” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami).” (QS. Al-A’raf 7 : 172).
Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman-Nya:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (QS. Al-Baqarah 2 : 40).
Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS. Al-A’raf 7 : 172).
Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut ialah karena mereka tidak memenuhinya. Demikian itu juga diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan; semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
As-Suddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dengan sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (QS. Al-Baqarah 2 : 27) Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur’an, lalu mereka mengakuinya, kemudian mereka kafir dan merusaknya.
Firman Allah ta’ala:
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya (QS. Al-Baqarah 2 : 27).
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (QS. Muhammad 47 : 22).
Pendapatnya itu dirajihkan oleh Ibnu Jarir. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Baqarah 2 : 27).
bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (QS. Ar-Ra’du 13 : 25).
Ibnu ‘Abbas berkata: segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan, misalnya merugi; maka sesungguhnya yang dimaksud adalah kekufuran. Sedangkan hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud adalah dosa.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, (أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ) bahwa lafaz (الْخَاسِرُونَ) adalah bentuk jamak dari lafaz (خَاسِر ); mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual beli. Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir, keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan adalah rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Maraji’:
Ash-Shaabuunii, Muhammad ‘Aliy. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir.