Di antara dalil – dalil atas adanya Allah ta’ala serta kuasa-Nya adalah pembentukan setiap manusia dengan susunan yang menakjubkan serta anggota – anggota badan yang memiliki fungsi yang detail lagi teratur. Juga penempatan jutaan sel di kepala, badan, dan panca indra serta penciptaan manusia dalam sebaik – baik bentuk dan keindahan. Allah ta’ala berfirman:
وَفِیۤ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” QS. Adz-Dzariyat: 21.
At-Thabari meriwayatkan di dalam Tafsirnya dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu dalam penjelasan mengenai sebagian sistem badan manusia, beliau berkata:
سَبِيلُ الْخَلَاءِ وَالْبَوْلِ
“Jalan keluarnya air besar dan air kecil”.
Yakni bagaimana bisa ada sistem pembersihan seperti ini yang membersihkan racun dan kemudaratan dari tubuh.
Adapun adanya panca indra dengan fungsinya masing – masing yang menakjubkan telah diketahui secara umum. Ibnu as-Samak berkata kepada seorang laki – laki:
تَبَارَكَ مَنْ خَلَقَكَ ، فَجَعَلَكَ تُبْصِرُ بِشَحْمٍ ، وَتَسْمَعُ بِعَظْمٍ ، وَتَتَكَلَّمُ بِلَحْمٍ
“Maha Suci Zat yang menciptakanmu, menjadikanmu melihat dengan lemak, mendengar dengan tulang, dan berbicara dengan daging”.
Di antara dalil – dalil atas adanya Allah ta’ala adalah keindahan suara baik dengan bersenandung ataukah tidak. Ibnu Humaid, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Syahab az-Zuhri berkenaan dengan firman-Nya:
یَزِیدُ فِی ٱلۡخَلۡقِ مَا یَشَاۤءُ
“Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki.” QS. Fathir: 1.
Beliau berkata: (yaitu) baiknya suara. Qatadah berkata: indah dipandang kedua mata.
Di antara dalil – dalil lainnya adalah yang dikatakan oleh Dzun Nun bin Ibrahim al-Mishri:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ الْقُلُوبَ أَوْعِيَةً لِلْعِلْمِ ، وَلَوْلا أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ أَنْطَقَ اللِّسَانَ بِالْبَيَانِ ، وَافْتَتَحَهُ بِالْكَلامِ ، مَا كَانَ الإِنْسَانُ إِلا بِمَنْزِلَةِ الْبَهِيمَةِ ، يُومِئُ بِالرَّأْسِ ، وَيُشِيرُ بِالْيَدِ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menciptakan hati sebagai wadah bagi ilmu, kalau tidaklah Allah subhanahu wa bihamdih menjadikan lisan dapat berkata dengan jelas dan membukanya dengan ucapan, maka tidaklah manusia itu menempati kedudukan kecuali kedudukannya binatang yang memberi isyarat dengan kepala dan menunjuk dengan tangan.”
Ahmad dan Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah nya meriwayatkan dari Abu Darda’ beliau berkata:
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامٍ لَيْلَةٍ
“Bertafakur sejenak lebih baik daripada sholat semalam”.
Dan dikatakan juga kepada Ummu Darda’: “Amal paling utama apa yang dilakukan oleh Abu Darda’?”. Beliau menjawab: “Tafakur”.
Terdapat atsar dari Ibnu Umar:
تَفَكَّرُوا فِي آلَاءِ اللَّهِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ
“Renungkanlah oleh kalian nikmat – nikmat Allah (yakni keagungan-Nya), jangan kalian renungkan Dzat Allah”. (Dalam riwayat hadits ini terdapat perawi yang perlu untuk dilihat lebih lanjut menurut Ibnu Adi dan at-Thabrani dalam al-Ausath nya).
Yahya bin Mu’adz ar-Razi (wafat pada 258 H) berkata:
جُمْلَةُ التَّوْحِيدِ فِي كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ ، وَهِيَ أَنْ لا تَتَصَوَّرَ فِي وَهْمِكَ شَيْئًا إِلا وَاعْتَقَدْتَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَالِكُهُ مِنْ جَمِيعِ الْجِهَاتِ
“Kalimat tauhid dalam satu kalimat yakni janganlah engkau membayangkan di dalam angan – anganmu sesuatupun kecuali engkau yakini bahwasanya Allah ‘azza wa jalla adalah pemiliknya dari segala sisi manapun”.
Di antara dalil – dalil adanya Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya yaitu bahwasanya Dia lah yang mewujudkan dan mengadakan alam semesta ini. Suatu perbuatan itu (mewujudkan dan mengadakan) tidak mungkin tidak kecuali berasal dari sesuatu yang ada kuasanya. Yang namanya kuasa itu tidaklah mungkin berdiri sendiri. Maka wajib baginya untuk ada bersama dengan sesuatu yang berwujud dan memilikinya. Hal ini karena, mustahilnya terjadi suatu kejadian dari sesuatu yang tidak ada itu sama seperti mustahilnya terjadi suatu perbuatan tanpa ada pelakunya. Maka ketika mustahil ada perbuatan tanpa ada pelakunya, mustahil juga ada perbuatan dari sesuatu yang tidak ada. Pada yang demikian itu terdapat dalil atas adanya Allah ta’ala.
Dalil bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu qadim (ada sejak dahulu) adalah: sesungguhnya telah mantap bahwasanya Dia itu ada, sekarang kalaulah keberadaan-Nya itu baru (yakni tidak sejak dulu ada) maka tentu Dia pasti tergantung kepada selain-Nya agar bisa terwujud, tempat ia bergantung itu juga butuh kepada yang lainnya lagi, begitu seterusnya tanpa akhir. Ini adalah batil karena tidak bisa menjawab siapakah yang mengadakan setiap yang baru ada? Maka ketika tidak benar bahwasanya Dia itu baru ada, maka berarti dia itu qadim (ada sejak dahulu), karena sesuatu yang berwujud itu kalau tidak muhdats (baru ada) ya berarti qadim (ada sejak dulu). Sesuatu yang berwujud tidak bisa dilepaskan dari kondisinya sebagai qadim atau muhdats. Artinya kalaulah Allah itu muhdats (baru ada) maka tentulah Ia sama dengan makhluk – makhluk lain dalam butuhnya Ia kepada yang lebih dulu ada, butuhnya Ia kepada yang paling akhir, dan butuhnya Ia kepada yang menetapkan. Hal ini menetapkan bahwa bagi setiap yang baru ada, terdapat sesuatu yang mengadakannya. Tidak bisa tidak segala yang baru ada itu berasal dari Yang Berwujud paling awal yang tidak dijadikan ada oleh sesuatupun. Dengan demikian, mantaplah bahwa yang demikian itu lah yang paling awal dan ada sejak dahulu seterusnya.
Dalil bahwa Allah itu bukan jism (benda/tubuh), bukan jauhar (substan/zat), dan bukan ‘aradh (karakter zat/benda), yaitu kalaulah Dia itu jism maka berarti Dia itu tersusun lebih dari satu hal atau tersusun dari bagian – bagian. Yang namanya tersusun itu berarti lebih dari satu, padahal Dia itu adalah satu, tidak tersusun susun. Kalaulah Dia itu jauhar, maka sesungguhnya jauhar itu adalah sesuatu yang memiliki sifat – sifat dan karakteristik – karakteristik (‘aradh) yang saling bertentangan (misal menjadi diam dan bergerak, menjadi panas dan dingin, dst). Kalaulah demikian adanya, maka ini justru menjadi dalil atas baru adanya (haditsnya) Dia. Sedangkan Allah ta’ala itu qadim seterusnya tidak baru ada.
Kalaulah dikatakan bahwa Dia itu ‘aradh, tentu ini tidak benar. Karena yang namanya ‘aradh itu tidak permanen. Bahkan ‘aradh itu berubah – ubah dan dapat lenyap. ‘Aradh juga tidak berdiri sendiri. Ia butuh kepada jauhar agar bisa eksis. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala itu berdiri sendiri, terus menerus ada, dan tidak benar ketiadaannya.
Yang benar adalah bahwasanya Allah itu sesuatu namun tidak seperti segala sesuatu berdasarkan firman-Nya ta’ala:
قُلۡ أَیُّ شَیۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَـٰدَةࣰۖ قُلِ ٱللَّهُ
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?” Katakanlah, “Allah”. QS. Al-An’am: 19.
Dalam ayat tersebut Allah menyebut dirinya dengan sesuatu (شيء), akan tetapi Dia bukanlah jisim tidak seperti jisim – jisim. Karena kalau demikian (yakni Dia itu jisim tidak seperti jisim – jisim) maka hal itu melazimkan-Nya juga mempunyai bentuk tidak seperti bentuk – bentuk, jasad tidak seperti jasad – jasad, dan jauhar tidak seperti jauhar – jauhar. Tentu ini semua batil karena Allah bukanlah bentuk, jasad, dan jauhar. Ketika ini semua batil, maka berarti batil juga pendapat yang mengatakan bahwa Allah itu jisim. Allah ta’ala tidak menyebut dirinya dengan jisim. Tidak pula dijumpai riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menyebutNya dengan jisim. Tidak pula kaum muslimin sepakat atasnya. Maka kami tidak menyebut Allah azza wa jalla dengan nama yang tidak Dia sebut bagi dirinya sendiri, tidak pula Rasul-Nya menyebutNya dengan nama itu. Tidak pula kaum muslimin sepakat atasnya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَاۤءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِینَ یُلۡحِدُونَ فِیۤ أَسۡمَـٰۤىِٕهِۦۚ سَیُجۡزَوۡنَ مَا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ
“Dan Allah memiliki Asma’ul-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” QS. Al-A’raf: 180.
Dalil bahwasanya Allah ta’ala itu tidak menyerupai segenap makhluk dan tidak tergambar dalam angan – angan adalah kalaulah Dia itu menyerupainya maka boleh saja bagiNya semua yang boleh bagi makhlukNya diantaranya adalah kekurangan, baru adanya mereka, dan butuhnya mereka kepada yang mengadakan selainnya. Yang demikian itu menetapkan hal yang negatif padaNya. Maka wajib bahwasanya Dia itu sebagaimana Dia mensifati diriNya sendiri dengan firman-Nya:
لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” QS. As-Syura: 11.
Dalil bahwa Allah ta’ala itu berdiri sendiri tidak butuh kepada selainNya adalah kalaulah Dia itu tidak demikian, yakni ada selainNya yang mewujudkanNya, maka itu menjadikanNya butuh kepada selainNya. Adanya kebutuhan merupakan dalil bahwasanya Dia itu baru ada (huduts). Sedangkan telah tetap bahwa tidak boleh mensifatiNya dengan sifat – sifat makhluk yang baru ada. Disamping itu juga telah tetap pula bahwa Dia itu qadim.
Ini adalah dalil – dalil aqliyah yang menunjukkan secara pasti bahwa Allah ta’ala itu suci dari menyerupai makhluk. Maka Ia disifati dengan qadim (ada sejak dahulu) dan Dia ada seterusnya. Wujud yang ada terus itu hanya satu yaitu Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Dr. Wahbah Zuhailiy. Ushul al-Iman wa al-Islam.