Dalil – Dalil Atas Sifat – Sifat Ma’nawiyah Allah Dan Sifat – Sifat Lainnya

Allah ta’ala memiliki sifat – sifat yang disebut dengan sifat ma’ani dan sifat ma’nawiyah seperti keberadaan Allah Yang Maha Hidup (senantiasa hidup-حَيًّا), Maha Mengetahui (عَالِمًا), Maha Kuasa (قَادِرًا), Maha Berkehendak (مُرِيْدًا), Maha Berbicara (مُتَكَلِمًا), Maha Mendengar (سَمِيْعًا), dan Maha Melihat (بَصِيْرًا).

Dalil bahwa Allah ta’ala itu hidup, mengetahui, dan memiliki kuasa adalah perbuatan – perbuatan-Nya yang menunjukkan Dia itu hidup, berkuasa, dan mengetahui. Karena yang demikian itu tidak mungkin terjadi dari mayit atau benda mati, dari sesuatu yang lemah, atau dari sesuatu yang tidak tahu mengenainya. Dia subhanahu wa ta’ala tidak sama dengan yang tidak mampu mendatangkan yang demikian itu. Tidaklah sesuatu itu mampu menyelisihi yang lainnya kecuali dia itu hidup, kuasa, dan mengetahui.

Dalil bahwasanya Dia itu berkehendak adalah bahwasanya Dia itu hidup, mengetahui, tidak dipaksa atas sesuatu dan tidak dikalahkan. Tidak ada pula sesuatu yang membuat-Nya tercegah dari berbuat sesuatu. Kalau demikian, maka Dia itu berkehendak, Dia itu yang memilih dan Dia itu yang bermaksud.

Dalil bahwasanya Dia itu mendengar dan melihat adalah bahwasanya Dia itu Hidup. Mustahil ada sesuatu yang hidup tidak dapat mengetahui yang dapat didengar dan dapat dilihat. Tidak ada pula sesuatu yang membuat-Nya tercegah dari mendengar dan melihat. Maka Dia adalah Zat yang dapat mendengar dan melihat. Barangsiapa yang tercegah dari kedua sifat ini sesungguhnya dia telah dikalahkan oleh sesuatu, yang demikian itu tentunya adalah makhluk. Sementara Allah adalah Sang Pencipta yang Qadim (dahulu), terus menerus dan senantiasa ada. Dia lah Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dalil bahwasanya Allah itu dapat berbicara adalah bahwasanya Dia itu hidup tidak diam saja. Tidak ada pula sesuatu yang membuatnya tercegah dari berbicara. Setiap yang hidup yang tidak tercegah dari berbicara berarti dia itu dapat berbicara. Demikian itu juga karena mustahil adanya seruan dan perintah dari-Nya kalau Ia tidak dapat berbicara. Maka wajiblah kalau Dia itu dapat berbicara.

Dalil bahwasanya Dia itu senantiasa hidup (Maha Hidup), berkuasa (Maha Berkuasa), mengetahui (Maha Mengetahui), memiliki kehendak (Maha Berkehendak), mendengar (Maha Mendengar), melihat (Maha Melihat), dan berbicara (Maha Berbicara) adalah kalaulah tidak demikian (yakni tidak senantiasa), maka berarti Dia disifati dengan kebalikan atau lawan dari sifat – sifat itu seperti mati, lemah, atau celaka. Kalau demikian, maka mustahil timbul darinya suatu perbuatan. Adanya perbuatan yang dilakukan-Nya menunjukkan bahwasanya dia itu terus menerus dan senantiasa seperti itu.

Dalil atas berkumpulnya sifat ma’ani dan sifat ma’nawiyah – yakni bahwasanya Dia itu hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berbicara, baginya kehidupan, kuasa, ilmu, kehendak, pendengaran, penglihatan, dan kalam – adalah bahwasanya mustahil menetapkan adanya sesuatu yang disifati dengan sifat – sifat itu dengan menafikan sifat – sifat itu darinya. Ketika merupakan sebuah kemestian menetapkan-Nya memiliki sifat – sifat ini, maka merupakan sebuah kemestian pula menetapkan sifat -sifat itu pada-Nya. Allah azza wa jalla berfirman:

وَلَا یُحِیطُونَ بِشَیۡءࣲ مِّنۡ عِلۡمِهِۦۤ إِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ

“Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki.” QS. Al-Baqarah: 255.

وَسِعَ كُلَّ شَیۡءٍ عِلۡمࣰا

“Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” QS. Thaha: 98.

وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَحَاطَ بِكُلِّ شَیۡءٍ عِلۡمَۢا

“Dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” QS. At-Thalaq: 12.

Yakni sungguh ilmu-Nya meliputi segala pengetahuan yang ada.

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِینُ

“Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” QS. Adz-Dzariyat: 58.

Dia menetapkan adanya kekuatan bagi diri-Nya, dan itu adalah Qudroh (Kuasa). Dia juga menetapkan adanya ilmu. Maka ini menunjukkan bahwasanya Dia itu Maha Mengetahui dengan IlmuNya dan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya. Mustahil ada seseorang yang mengetahui tanpa ilmu, sebagaimana mustahilnya adanya ilmu tanpa adanya orang yang mengetahui. Ini sebagaimana juga mustahil adanya orang yang melakukan perbuatan tanpa ada perbuatan padanya dan juga adanya perbuatan tanpa ada yang berbuat.

Oleh karena itu, hakikat ilmu adalah apa saja yang diketahui oleh yang mengetahui. Ketika ilmu itu sirna maka sirna pulalah keadaannya sebagai yang mengetahui.

Adapun makna firman Allah ta’ala:

وَفَوۡقَ كُلِّ ذِی عِلۡمٍ عَلِیمࣱ

“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.” QS. Yusuf: 76.

Bahwasanya Dia itu pemilik ilmu dengan sifat yang tertentu (ma’rifat yang ditandai dengan alif lam dalam kata ilmu – العلم), bukan sifat yang belum tertentu (nakiroh yang ditandai dengan tidak adanya alif lam dalam kata ilmu – علم). Sebagaimana kita katakan:

ذُوْ الجَلَالِ وَالإِكْرَام

Dengan bentuk ma’rifat, yakni kebesaran-Nya Allah dan Kemuliaan-Nya. Tidak kita katakan:

إِنَّهُ ذُوْ جَلَال وَإِكْرَام

Dengan bentuk nakiroh, yakni kebesaran dan kemuliaan apa saja tidak spesifik kebesaran Allah dan kemuliaan-Nya.

Maka makna ayat 76 Surat Yusuf tadi adalah: “Dan di atas setiap pemilik ilmu yang muhdats (baru ada) terdapat orang yang lebih memiliki ilmu darinya.” Tidak benar mensifati Allah ta’ala bagaimanapun juga dengan sifat – sifat al-hawadits (makhluk yang baru ada).

Dialah Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak butuh belajar kepada selain-Nya. Tidak layak bagi-Nya berhajat kepada yang lain-Nya karena Dia itu Maha Kaya. Allah ta’ala Maha Tahu terhadap setiap pengetahuan dan mengetahui setiap hal yang nyata adanya untuk diketahui. Adapun selain Allah ta’ala maka ia tidak disifati dengan sifat ini.

Oleh karena inilah setiap sifat Dzatiyah semisal al-Ilmu, khusus bagi Dzat Allah, berdiri dengan-Nya. Terus menerus disifati dengannya. Tidak dikatakan: sesungguhnya sifat itu bersama Allah atau di dalam-Nya.

Allah ta’ala juga memiliki sifat yang bersifat khobariyah (dikabarkan kepada kita), di antaranya adalah sifat wajah dan tangan. Metode penetapannya adalah dengan merujuk kepada apa yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim yang mengabarkan mengenainya.

Allah juga memiliki sifat perbuatan seperti al-Khalq (Maha Pencipta) dan ar-Rozzaq (Maha Pemberi Rezki). Sifat – sifat itu juga tetap bagi Allah azza wa jalla. Sifat – sifat itu senantiasa seperti itu. Akan tetapi tidak benar mensifati-Nya dengan sifat itu pada azali (sejak dahulu). Sesungguhnya para muhaqqiq mengatakan: Dia senantiasa pencipta kita dan Dia senantiasa pemberi rezki kita, Dia Maha Kuasa menciptakan dan memberi rezki kapan saja, dengan apa saja, dan kepada siapa saja Dia kehendaki. Disifatinya Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat – sifat fi’liyah (perbuatan) ini tidak mengakibatkan adanya perubahan pada diri-Nya. Ketika disebut sebagai Pencipta setelah Dia menciptakan sesuatu, yang demikian itu tidak mewajibkan adanya perubahan pada Dzat-Nya.

Makna firman Allah ta’ala:

هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِیࣰّا

“Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?”. QS. Maryam: 65.

Ibnu Abbas menjelaskannya di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh at-Thabari di dalam Tafsirnya beliau berkata: “Apakah engkau mengetahui ada yang semisal atau menyerupai Rabb ‘azza wa jalla?”

Di dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi beliau berkata: “Tidak ada seorang pun yang disebut sebagai Ar-Rahman selain Dia”.

Ringkasan: sesungguhnya Allah ta’ala disifati dengan sifat – sifat yang banyak seperti al-Ilmu, as-Sama’, al-Bashar, al-Kalam, al-Qudrah, al-Hayah, dan al-Iradah, juga dengan keadaan-Nya yang senantiasa berilmu (Maha Mengetahui), mendengar (Maha Mendengar), melihat (Maha Melihat), berbicara (Maha Berbicara), berkuasa (Maha Kuasa), hidup (Maha Hidup), dan berkehendak (Maha Berkehendak). Dia juga memiliki sifat – sifat fi’liyah seperti Maha Pencipta dan Maha Pemberi Rezki. Dia juga memiliki sifat khobariyah seperti wajah dan tangan, kita mengimaninya sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an al-Karim tanpa ta’thil (peniadaan), tasybih (penyerupaan), dan tamtsil (permisalan). Dia tidak menyerupai sedikitpun terhadap makhluk – makhluk-Nya dari golongan manusia dan yang lainnya.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Dr. Wahbah Zuhailiy. Ushul al-Iman wa al-Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *