Wahyu ilahi adalah perundang – undangan untuk mengatur kehidupan kaum muslimin secara utuh. Tidak ada sesuatupun yang luput darinya dan tidaklah Rabb-mu itu lupa. Sesungguhnya turunnya al-Qur’an al-Karim itu adalah secara berangsur – angsur. Sehingga turunlah hukum ilahi itu pada tempat dan zaman yang sesuai dan datanglah jawaban yang pasti bagi permasalahan – permasalahan yang tidak terduga atau permasalahan yang sulit lagi berbeda – beda sesuai dengan hikmah, kebenaran, dan keadilan ilahi, serta kemaslahatan umum. Oleh karena itu sesungguhnya tidak termasuk adab yang baik atau kepantasan untuk terburu – buru dengan jawaban dari sebagian perkara dan meninggalkan setiap perincian yang penting bagi Allah Dzat yang membuat hukum. Hal Itu adalah berdasarkan wahyu semata tidak berdasarkan suasana hati dan keinginan. Sehingga bertanya mengenai sesuatu yang tidak diturunkan wahyu mengenainya adalah sesuatu yang dibenci atau sesuatu yang haram. Allah ta’ala berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَسۡـَٔلُوا۟ عَنۡ أَشۡیَاۤءَ إِن تُبۡدَ لَكُمۡ تَسُؤۡكُمۡ وَإِن تَسۡـَٔلُوا۟ عَنۡهَا حِینَ یُنَزَّلُ ٱلۡقُرۡءَانُ تُبۡدَ لَكُمۡ عَفَا ٱللَّهُ عَنۡهَاۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِیمࣱ * قَدۡ سَأَلَهَا قَوۡمࣱ مِّن قَبۡلِكُمۡ ثُمَّ أَصۡبَحُوا۟ بِهَا كَـٰفِرِینَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.” QS. Al-Ma’idah: 101-102.
Terdapat beberapa sebab turunnya ayat seputar larangan bertanya. Di antaranya ada pertanyaan yang bertujuan untuk menguji, menjatuhkan, membingungkan, dan mengolok – olok. Di antaranya juga ada pertanyaan yang meminta penjelasan dan petunjuk mengenai suatu kewajiban – kewajiban.
Contoh dari jenis yang pertama yaitu pertanyaan yang bersifat menguji misalnya saja: Pertanyaan sebagian manusia kepada Rasulullah shallallahu mengenai siapakah nama ayahnya, mengenai posisi unta yang tersesat yakni yang hilang, dan mengenai akhir kehidupannya di akhirat. Maka turunlah ayat yang melarang pertanyaan – pertanyaan yang bodoh seperti itu.
Contoh dari jenis yang kedua yaitu pertanyaan yang meminta petunjuk: hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah kepada kami seraya bersabda: “Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk menunaikan ibadah haji. Karena itu, tunaikanlah ibadah haji.” Kemudian seorang laki-laki bertanya, “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” beliau terdiam beberapa saat, hingga laki-laki itu mengulanginya hingga tiga kali. Maka beliau pun bersabda: “Sekiranya aku menjawab, ‘Ya’ niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun dan kalian tidak akan sanggup melaksanakannya. Karena itu, biarkanlah apa adanya masalah yang kutinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu mendapat celaka karena mereka banyak tanya dan suka mendebat para Nabi mereka. karena itu, bila kuperintahkan mengerjakan sesuatu, laksanakanlah sebisa-bisanya, dan apabila aku melarang kalian mengerjakan sesuatu, maka hentikanlah segera.”
Maka Allah pun menurunkan ayat ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (justru) menyusahkan kamu…” QS. Al-Ma’idah: 101.
Makna ayat: Wahai orang – orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian bertanya mengenai sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang tidak jelas yang tidak ada faidah di dalamnya, atau suatu urusan yang terlalu detil dalam perkara agama, atau bertanya mengenai beban – beban hukum yang didiamkan oleh wahyu, sehingga hal itu memberatkan bagi kaum mu’minin yang lain. Sehingga pertanyaan itu menjadi sebab yang memberatkan, menyusahkan, dan memperbanyak.
Jika mereka bertanya mengenai jenis dari sesuatu yang didiamkan, sesuatu yang pelik, sesuatu yang sulit, atau beban – beban hukum yang sulit ketika al-Qur’an turun, niscaya Allah akan menjelaskannya melalui lisan Rasul-Nya sehingga pertanyaan – pertanyaan itu menjadi sebab yang memberatkan atau menyulitkan. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya menjelaskan hal ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.”
Akan tetapi, jika pertanyaan itu dalam rangka untuk mencari penjelasan maksud dari keglobalan al-Qur’an atau hal yang belum jelas darinya, maka hal itu tidaklah mengapa karena ada hajat untuk itu. Misalnya saja pertanyaan mengenai penjelasan hukum khamr setelah turunnya ayat yang menyinggung pengharamannya dan menginformasikan bahayanya serta banyaknya dosanya.
Adapun pertanyaan – pertanyaan mengenai sesuatu yang tidak berfaedah atau mengenai sesuatu yang tidak ada hajat untuk bertanya mengenainya, dan dalam jawabannya akan membuat beban hukum semakin berat dan sulit, maka hal itu haram. Allah memaafkan mengenai apa saja yang tidak Ia sebutkan dalam kitab-Nya. Maka setiap yang didiamkan oleh al-Qur’an, hendaklah begitu pula mereka diam terhadapnya sebagaimana Allah mendiamkannya. Allah Maha pengampun bagi siapa yang berbuat kesalahan dalam bertanya dan bertaubat, Maha lembut tidak menyegerakan hukuman atas kesalahan kalian terhadapnya. Inilah makna hadits Nabawi yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan yang lainnya dari Abi Tsa’labah al-Khusyani ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا.
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian mengabaikannya, dan telah menetapkan batasan-batasannya janganlah kalian melampauinya, Dia telah mengharamkan segala sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya, Dia mendiamkan sesuatu sebagai kasih sayang terhadap kalian dan bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-cari tentangnya.”
Kemudian Allah menyebutkan sebagian contoh nyata kaum – kaum yang sebelumnya. Mereka adalah kaum yang shalih yang bertanya mengenai permasalahan – permasalahan kemudian mengabaikan hukumnya. Allah berfirman:
قَدۡ سَأَلَهَا قَوۡمࣱ مِّن قَبۡلِكُمۡ ثُمَّ أَصۡبَحُوا۟ بِهَا كَـٰفِرِینَ
“Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.”
Yakni sungguh kaum sebelum kalian telah menanyakan pertanyaan – pertanyaan yang dilarang untuk bertanya mengenainya sehingga dijawablah pertanyaan itu namun mereka tidak beriman terhadapnya. Mereka menjadi kafir terhadapnya karena mereka tidak bertanya untuk mendapatkan petunjuk namun mereka bertanya untuk mengolok – olok dan durhaka. Demikian pula orang – orang yang meminta turunnya makanan dari langit dari Nabi Isa ‘alaihissalam kemudian mereka tidak beriman terhadapnya dan tidak pula beriman terhadap risalahnya. Demikian juga misalnya Bani Israil yang bertanya mengenai kondisi sapi betina yang diperintahkan untuk menyembelihnya. Maka waspadalah wahai kaum mu’minin dari pertanyaan yang dapat menjadi sebab yang memberatkan sehingga Allah memberatkan atas kalian. Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.”
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Tafsir al-Wasith oleh Syaikh Wahbah Zuhailiy.