Bertambah dan Berkurangnya Keimanan

Sesungguhnya, hakikat keimanan, asasnya, dan pokoknya, apabila telah teguh di dalam hati seseorang tidaklah bertambah maupun berkurang. Akan tetapi derajat keimanan seseorang dapat bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan dapat berkurang dengan berkurangnya ketaatan, karena seluruh ketaatan itu sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah keimanan. Inilah yang dimaksud dengan bertambahnya keimanan di dalam ayat – ayat al-Qur’an berikut ini:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)”. QS. Al-Fath: 4.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” QS. Al-Anfal: 2.

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” QS. At-Taubah: 124.

وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا

“Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” QS. Al-Muddatsir: 31.

Berdasarkan ayat – ayat yang mulia ini, maka tetaplah bahwasanya keimanan itu dapat bertambah dengan melaksanakan ketaatan. Bila keimanan tiada bertambah maka keimanan akan berkurang. As-sunnah juga menunjukkan hal ini sebagaimana ayat al-Qur’an menunjukkannya.

Sunnah yang menunjukkan hal ini di antaranya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad dan al-Hakim yang dishahihkan oleh ad-Dzahabiy, dari Abdullah bin Yazid al-Maqra’ secara marfu’ tanpa kalimat yang akhir, dan dikeluarkan juga oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.”

Al-Halimiy rahimahullah berkata: perkataan ini menunjukkan bahwa akhlak yang baik adalah iman dan bahwasanya ketiadaannya adalah berkurangnya keimanan serta bermacam – macamnya tingkat keimanan kaum mu’minin, maka sebagian mereka lebih sempurna imannya daripada sebagian yang lainnya.

Di dalam hadits yang lain, ditunjukkan bahwa lemahnya keimanan disebabkan karena lemahnya ketaatan. Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, dan pemilik kitab Sunan yang empat dari Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”

At-Thabrani mengeluarkan sebuah riwayat dalam kitab al-Ausath nya juga al-Baihaqiy dalam kitabnya Syu’abul Iman dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ، إلا ضَعْفَ الْيَقِينِ

“Tidak ada yang aku paling khawatirkan atas umatku kecuali lemahnya keyakinan”.

Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa kaum mu’minin memiliki tingkatan keyakinan yang bermacam – macam.

Adapun firman Allah azza wa jalla:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” QS. Al-Ma’idah: 3.

serta apa yang ada pada maknanya, sesungguhnya tidak menghalangi pendapat bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Hal ini karena makna ayat tersebut adalah: sesungguhnya telah Aku sempurnakan bagi kalian kondisi agama ini dalam asas dan cabangnya yang disyariatkan. Maka tidaklah Aku wajibkan bagi kalian setelahnya apa saja yang tidak Aku wajibkan atas kalian hingga hari ini dan tidaklah Aku cabut dari kalian setelah hari ini apa saja yang telah Aku wajibkan atas kalian sebelum hari ini. Maka tidak ada lagi pengetatan ataupun peringanan, dan tidak ada penghapusan ataupun penggantian. Tidaklah makna ayat tersebut -sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Baihaqiy- bahwasanya telah sempurna bagi kita agama yang ada pada diri kita terlebih dahulu sebelum perbuatan – perbuatan kita. Karena apabila yang demikian itu seperti itu, maka akan terputus dari orang – orang yang diseru oleh ayat agar terus menerus beriman. Sebab agama ini telah sempurna dan tidaklah ada setelah kesempurnaan itu sesuatu lagi, maka makna kesempurnaan itu kembali kepada kesempurnaan syariat dan halal haramnya tidak kepada makna sempurnanya pelaksanaan orang – orang yang melaksanakan agama dengan ketaatan dan penegakkan orang – orang yang menegakkannya. Setelah turunnya ayat ini yaitu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wuquf di Arafah, tidak diturunkan lagi hukum halal haram. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetap selama delapan puluh satu hari setelah turunnya ayat ini, kemudian Allah memanggilnya dan beliau kembali kepada-Nya dan ke rahmat-Nya.

Tempat turunnya ayat tersebut ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Thariq bin Syihab bahwasanya seorang laki – laki dari kalangan Yahudi berkata kepada Umar:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا قَالَ أَيُّ آيَةٍ قَالَ
{ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا }
قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ

“Wahai Amirul Mu’minin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian baca, seandainya ayat itu diturunkan kepada kami Kaum Yahudi, tentulah kami jadikan (hari diturunkannya ayat itu) sebagai hari raya (‘ied). Maka Umar bin Al Khaththab berkata: “Ayat apakah itu?” (Orang Yahudi itu) berkata: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian”. (QS. Al Maidah ayat 3). Maka Umar bin Al Khaththab menjawab: “Kami tahu hari tersebut dan dimana tempat diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu pada hari Jum’at ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berada di ‘Arafah.”

Salah satu sebab berkurangnya keimanan adalah meninggikan suara di atas suara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” QS. Al-Hujurat: 2.

Maknanya adalah kalian wahai kaum muhajirin tidak membawa pahala hijrah kalian bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan tidak pula kalian wahai kaum anshor membawa pahala kalian menyediakan perlindungan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena kalian menghilangkan kesuciannya dan meninggikan suara – suara kalian di atas suaranya. Yang demikian itu menjadikan kalian kembali kepada kondisi kalian sebelum hijrah, dan memalingkan tujuan kalian kepada tujuan lainnya dari sebelumnya kalian memberikan perlindungan dan pertolongan karena mengharapkan pahala Allah. Maka mereka tidak layak untuk mendapatkan pahalanya karena meninggikan suara tersebut.

Demikian juga dengan batalnya pahala shodaqoh dengan menyebut – nyebutnya dan menyakiti orang yang diberi. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” QS. Al-Baqarah: 264.

Makna ayat tersebut bukanlah bahwasanya menyebut – nyebut shodaqah itu menghapuskan pahala shodaqoh, namun maksudnya adalah bahwasanya ketika orang yang memberi shodaqoh menyebut – nyebutnya kepada orang yang meminta dan menyakitinya dengan hinaan, maka hal itu mengubah amalnya yang seharusnya mengharap pahala Allah semata berubah jadi mengharap pujian dari yang meminta, sehingga Allah pun menghapuskan pahalanya.

Bersama itu, terdapat ketetapan dalam Islam:

سَيِّئَاتُ الْمُؤْمِنِ مُتَنَاهِيَةُ الْجَزَاءِ وَحَسَنَاتُهُ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةِ الْجَزَاءِ

“Keburukan seorang mu’min terbatas balasannya (satu keburukan dibalas satu) dan kebaikannya tidak terbatas balasannya (satu kebaikan dapat dibalas berlipat – lipat ganda)”.

Maka sesungguhnya konsekuensi dari keburukan itu terbatas sementara keterbatasan itu tidak pada balasan kebaikan karena balasan kebaikan itu tidak ada akhirnya.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Ibnu Umar:

مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَا يُغْنِي عَنْهُ زَرْعًا وَلَا ضَرْعًا نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Barangsiapa memelihara anjing tidak untuk menjaga tanaman dan tidak pula untuk berburu, maka amalnya akan terkurangi satu qirath setiap harinya.”

Maknanya adalah bahwasanya Dia menghilangkan sebagian pahala amal – amal seseorang karena keburukan ini dan membolehkan dihapusnya sebagian pahala kebaikannya. Allah menyedikitkan pahala yang diterima seseorang karena keburukan atau keburukan – keburukan yang ada padanya.

Demikian pula urusan seseorang yang bangkrut pada hari kiamat nanti yaitu orang – orang yang mencaci maki orang lain, memfitnah orang lain, memakan harta orang lain dengan cara yang batil, atau menumpahkan darah orang lain dengan tidak benar, pahala kebaikannya akan diberikan kepada orang yang bermusuhan dengannya setimpal dengan keburukan yang ia perbuat. Apabila habis pahala kebaikannya, maka kesalahan – kesalahan musuhnya tersebut akan diambil dan diberikan kepadanya kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka sedemikian sehingga ia diadzab karenanya apabila ia tidak diampuni. Apabila ia telah selesai diadzab ia dikembalikan ke surga dengan sebab ketentuan abadi sebagai keutamaan dari Allah dan rahmatnya bagi orang mu’min.

Demikianlah ayat – ayat dan hadits – hadits serta penjelasannya yang menunjukkan bahwa keimanan itu dapat bertambah dan berkurang.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Dr. Wahbah Zuhailiy. Ushul al-Iman wa al-Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *