Tatkala orang-orang Quraisy tahu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak menghentikan dakwahnya, maka mereka memeras pikirannya sekali lagi. Untuk itu mereka memilih beberapa cara untuk membenamkan dakwah ini, yang bisa disimpulkan dalam beberapa hal berikut ini:
1. Ejekan, penghinaan, olok-olok, dan penertawaan. Hal ini mereka maksudkan untuk melecehkan orang-orang Muslim dan menggembosi kekuatan mental mereka. Untuk itu mereka melemparkan berbagai tuduhan yang lucu dan ejekan yang sekenanya terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menyebut beliau orang yang sinting atau gila. Firman Allah,
وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ
“Mereka berkata, ‘Hai orang yang diturunkan Al-Qur`an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (Al-Hijr: 6)
Mereka menyebut beliau sebagai tukang sihir dan pendusta. Firman Allah,
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” (Shad:4)
Mereka menjelek-jelekkan dan menghadapi beliau dengan pandangan penuh amarah serta perasaan yang meluap-luap penuh emosi. Firman Allah,
وَإِنْ يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ
“Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al-Qur`an dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar benar orang yang gila.” (Al-Qalam: 51)
Jika ada rekan-rekan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang duduk di sekitar beliau, maka mereka mengolok-olok dan berkata, “Inilah rekan-rekannya,” sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Al-An’am: 53)
Padahal Allah berfirman,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Bukankah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?” (Al-An’am: 53)
Keadaan mereka seperti yang difirmankan Allah kepada kita,
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.” (Al Muthaffifin: 29-33)
2. Menjelek-jelekkan ajaran beliau, membangkitkan keragu-raguan, menyebarkan anggapan-anggapan yang menyangsikan ajaran-ajaran beliau dan diri beliau. Mereka tiada henti melakukannya dan tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menelaah dakwah beliau. Mereka berkata tentang Al-Qur`an,
“Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (Al-Furqan: 5)
Mereka juga berkata,
“Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain; Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar.” (Al-Furqan: 4)
Mereka berkata tentang diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (Al-Furqan: 7)
Di dalam Al-Qur`an banyak terdapat contoh penentangan mereka terhadap beliau.
3. Melawan Al-Qur`an dengan dongeng orang-orang dahulu dan menyibukkan manusia dengan dongeng-dongeng itu, agar mereka meninggalkan Al Qur`an. Mereka menyebutkan bahwa suatu kali An-Nadhar bin Al-Harits berkata kepada orang-orang Quraisy, “Wahai semua orang Quraisy! Demi Allah, telah datang satu urusan yang kalian belum juga bisa mencari alasan untuk menghadapinya. Muhammad adalah seorang pemuda belia di tengah kalian, yang paling kalian ridhai, paling jujur perkataannya dan paling besar amanatnya, sehingga tatkala kalian melihat uban di kedua pelipisnya dan dia membawa apa yang telah dia bawa kepada kalian, tiba-tiba kalian mengatakan, ‘Dia adalah laki-laki penyihir.’ Tidak, demi Allah, dia bukanlah laki-laki penyihir. Kita sudah mengetahui para penyihir, hembusan dan buhul talinya. Kalian mengatakan, ‘Dia adalah dukun’. Tidak, demi Allah, dia bukanlah dukun. Kita sudah pernah melihat dukun dukun, yang komat-kamit dan membacakan mantera. Kalian mengatakan, ‘Dia adalah penyair.’ Tidak, demi Allah, dia bukanlah penyair. Kita sudah mengetahui syair dan mendengar semua jenis-jenisnya, baik hazaj maupun rajaz. Kalian berkata, ‘Dia adalah orang sinting.’ Tidak, demi Allah, dia bukan orang sinting. Kita sudah mengetahui orang-orang yang sinting, sementara dia tidak menangis tersedu-sedu, tidak bertindak sekenanya dan tidak berbisik-bisik layaknya orang sinting. Wahai semua orang Quraisy. Lihatlah lagi kedudukan kalian. Demi Allah, kini ada urusan besar yang datang kepada kalian.”
Kemudian An-Nadhr pergi ke Hirah. Di sana dia mempelajari kisah para raja Persi, perkataan Rustum dan Asfandiyar. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan suatu pertemuan untuk mengingatkan kepada Allah dan menyampaikan peringatan tentang siksa-Nya, maka An-Nadhr menguntit di belakang beliau, lalu berkata, “Demi Allah, penuturan Muhammad tidak sebagus apa yang kututurkan.” Lalu dia berkisah tentang raja-raja Persi, Rustum, dan Asfandiyar. Setelah itu dia berkata, “Dengan modal apa penuturan Muhammad bisa lebih baik daripada penuturanku?”
Ada riwayat Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa An-Nadhr membeli beberapa penyanyi perempuan dari kalangan hamba sahaya. Selagi ada seorang laki-laki yang menyatakan tidak ingin mendengar apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia menghadiahkan seorang penyanyi itu kepadanya, yang siap melayaninya, menyiapkan makanan, minum, dan menyanyi untuknya, dengan tujuan agar dia tidak condong kepada Islam. Tentang hal ini, turun ayat Al’Qur’an, “Dan di antara manusia (ada) orang yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (Luqman: 6)
4. Menyodorkan beberapa bentuk penawaran, sehingga dengan penawaran itu mereka berusaha untuk mempertemukan Islam dan Jahiliyah di tengah jalan. Orang-orang musyrik siap meninggalkan sebagian dari apa yang ada pada diri mereka dan begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Al-Qalam: 9)
Ada riwayat Ibnu Jarir dan Ath-Thabrani yang menyebutkan bahwa orang-orang musyrik menawarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, agar beliau menyembah sesembahan mereka selama setahun dan mereka menyembah Rabb beliau selama setahun kemudian. Riwayat lain menutur Abd bin Humaid menyebutkan bahwa mereka berkata,” Andaikan engkau mau menerima sesembahan kami, kami pun mau menyembah sesembahanmu.”
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata, “Selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang thawaf di Ka’bah, beliau berpapasan dengan Al-Aswad bin Al Muththalib bin Asad bin Abdul Uzza dan Al-Walid bin Al-Mughirah bin Khalaf dan Al-Ash bin Wa’il As-Sahmi, yang mereka ini adalah para tetua kaumnya. Mereka berkata, “Wahai Muhammad, kesinilah! Kami mau menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga harus menyembah apa yang kami sembah, sehingga kita bisa saling bersekutu dalam masalah ini. Jika apa yang engkau sembah ternyata lebih baik dari apa yang kami sembah, maka kami boleh melepas apa yang seharusnya menjadi bagian kami, dan jika apa yang kami sembah ternyata lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka engkau harus melepas bagianmu.” Lalu Allah menurunkan surah Al-Kafirun.
Allah telah menetapkan penawaran mereka yang menggelikan itu dengan rincian yang pasti seperti ini.
Boleh jadi ada perbedaan riwayat mengenai masalah ini. Karena memang mereka menyodorkan penawaran tidak hanya sekali saja.
Berbagai Macam Tekanan
Orang-orang musyrik menerapkan cara-cara yang disebutkan di atas sedikit demi sedikit, untuk menghentikan dakwah setelah disebarkan secara terang-terangan sejak permulaan tahun keempat dari nubuwah. Mereka bertahan dengan cara-cara tersebut selama beberapa bulan setelah itu, tidak berani beralih ke cara penekanan dan penyiksaan. Tetapi tatkala mereka tahu bahwa cara ini sama sekali tidak efektif dalam menghentikan dakwah Islam, maka mereka berkumpul lagi, dan bahkan membentuk sebuah panitia khusus yang beranggotakan dua puluh lima orang yang terdiri dari pemuka Quraisy, dipimpin Abu Lahab, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah bermusyawarah dan beradu argumentasi, panitia membuat keputusan bulat untuk mengadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat-sahabat beliau. Mereka tidak akan mengendorkan usaha dalam memerangi Islam, mengganggu beliau, menyiksa orang-orang yang masuk Islam, dan menghadangnya dengan berbagai siasat dan cara.
Mereka mengambil keputusan ini dan sangat antusias melaksanakannya. Tidak terlalu sulit untuk menghadapi orang-orang Muslim yang lemah. Tetapi dalam menghadapi Rasulullah? Beliau adalah orang yang cerdik, pemberani, tegar, dan memiliki kepribadian yang kuat. Jiwa musuh pun bisa tunduk di hadapan beliau, terlebih lagi rekan-rekan beliau. Siapa pun yang berhadapan dengan beliau pasti akan memuliakan dan hormat. Tidak ada seorang pun yang berani mengejek dan mengolok-ngolok beliau kecuali orang yang hina dan bodoh. Terlebih lagi beliau mendapat perlidungan Abu Thalib.
Sementara Abu Thalib adalah orang yang terhormat. Tak seorang pun berani melanggar perlindungan yang diberikannya. Keadaan seperti ini benar-benar menggelisahkan hati orang-orang Quraisy, membuat mereka bingung harus berbuat apa. Mereka tetap menahan kegeraman sekian lama dalam menghadapi dakwah, yang bisa memusnahkan kepemimpinan mereka dalam agama (Jahiliyah) dan keduniaan.
Oleh karena itu mereka mulai melancarkan serangan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dikomandani Abu Lahab. Sikap Abu Lahab ini sudah ditunjukkan terhadap beliau sejak hari pertama, sebelum orang-orang Quraisy yang lain bertindak. Di bagian terdahulu sudah kami singgung tentang sikapnya terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di pertemuan Bani Hasyim dan apa yang dilakukannya di bukit Shafa. Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tatkala di Shafa itu, Abu Lahab memungut sebuah batu dan menimpukkannya kepada beliau.
Sebelum itu, Abu Lahab sudah menikahkan kedua anaknya, Utbah dan Utaibah dengan kedua putri beliau, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, tepatnya sebelum beliau diutus sebagai Rasul. Tetapi setelah itu dia menyuruh kedua anaknya untuk menceraikan istrinya masing-masing, dengan disertai ancaman keras. Tidak ada pilihan bagi kedua anak Abu Lahab kecuali menceraikan istrinya.
Setelah Abdullah, putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kedua meninggal dunia, Abu Lahab merasa senang sekali. Seketika itu dia menemui rekan-rekannya dan mengatakan kepada mereka bahwa Muhammad sudah terputus dari rahmat Allah.
Sebagaimana yang sudah disampaikan terdahulu, bahwa Abu Lahab menguntit di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada musim haji untuk mendustakan beliau. Thariq bin Abdullah Al-Muharibi meriwayatkan, bahwa tidak hanya pendustaan saja yang dilakukan Abu Lahab, tetapi dia melempari beliau dengan batu, hingga sempat membuat kedua tumit beliau berdarah.
Istri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah, saudari Abu Sufyan, tidak kalah sengitnya dalam memerangi beliau daripada suaminya. Dia pernah memasang duri di jalan yang dilalui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan di depan pintu beliau pada suatu malam. Dia adalah wanita yang sok berkuasa, panjang lidah, banyak bualan dan tipu muslihat, suka mengobarkan api fitnah dan menyalakan bara peperangan untuk melawan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, Al-Qur`an mensifatinya sebagai pembawa kayu bakar.
Tatkala dia mendengar adanya ayat-ayat Al-Qur`an yang turun tentang dirinya dan suaminya, maka dia langsung mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang saat itu beliau sedang duduk di masjid di dekat Ka’bah bersama Abu Bakar Ash Shiddiq. Dia membawa segenggam batu. Selagi dia sudah berada di depan keduanya, Allah menutupi pandangannya dari Rasulullah, sehingga tidak bisa melihat kecuali Abu Bakar saja. Maka dia bertanya,”Wahai Abu Bakar! Mana temanmu? Kudengar dia menyindirku. Demi Allah, andaikata aku melihatnya, tentu kutimpukkan batu ini ke mulutnya. Demi Allah, aku adalah seorang penyair wanita.” Kemudian dia berkata melantunkan syair,
“Kami mungkir sekalipun dia mencaci
terhadap urusannya kami tiada sudi
terhadap agamanya kami membenci,”
Setelah itu istri Abu Lahab membalikkan badan pulang. Sedangkan Abu Bakar bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidaklah engkau melihatnya dan dia melihat engkau?”
Beliau menjawab,”Dia tidak melihatku, karena Allah telah menutupi pandangannya sehingga tidak bisa memandangku.”
Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkan kisah ini, yang di dalamnya disebutkan bahwa tatkala istri Abu Lahab berada di hadapan Abu Bakar, dia berkata, “Wahai Abu Bakar, rekanmu menyindirku.”
“Tidak, demi penguasa bangunan (Ka’bah) ini. Beliau tidak berkata dengan syair dan tidak pula berucap dengannya,” kata Abu Bakar.
“Dasar engkau orang yang suka membenarkan,” kata istri Abu Lahab.
Abu Lahab melakukan semua itu, padahal dia adalah paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tetangga beliau. Bahkan rumahnya berdempetan dengan rumah beliau. Begitu pula yang dilakukan tetangga-tetangga beliau yang lain, yang selalu mengganggu selagi beliau sedang berada di rumah.
Menurut Ibnu Ishaq, orang-orang yang biasa menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selagi di dalam rumah adalah Abu Lahab, Al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah, Uqbah bin Abu Mu’ith, Adi bin Hamra’ Ats-Tsaqafi, Ibnul Ashda’ Al-Hudzali, yang semuanya merupakan tetangga beliau. Tak seorang pun di antara mereka yang masuk Islam selain Al-Hakam bin Abul Ash. Di antara mereka ada yang melemparkan isi perut seekor domba selagi beliau sedang shalat. Di antara mereka ada pula yang meletakkannya di dalam periuk beliau. Sehingga beliau perlu memasang bebatuan untuk memberi tanda pembatas agar tidak mereka langgar selagi sedang shalat. Jika beliau dilempari kotoran-kotoran itu, maka beliau keluar rumah sambil memegangi sepotong dahan, lalu beliau berdiri di ambang pintu sambil membersihkannya, seraya bersabda, “Wahai Bani Abdi Manaf, tetangga macam apakah ini?” Kemudian beliau membuang kotoran kotoran itu ke jalan.
Terlebih lagi kebengisan Uqbah bin Abu Mu’ith. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas-ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di dekat Ka’bah, sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya sedang duduk-duduk. Sebagian di antara mereka ada yang berkata kepada sebagian yang lain, “Siapakah di antara kalian yang berani mengambil kotoran onta yang disembelih di Bani Fulan, dan meletakkannya di punggung Muhammad selagi sedang shalat?”
Maka manusia yang paling celaka, Uqbah bin Abu Mu’ith, melaksanakannya. Dia menunggu dan memandang. Tatkala beliau sedang sujud kepada Allah, maka dia meletakkan kotoran itu di antara pundak beliau. Aku hanya bisa mengawasi dan tidak mampu berbuat apa-apa. Andaikan saja aku bisa mencegahnya. Mereka tertawa terbahak-bahak, sehingga badan mereka terguncang-guncang mengenai teman di sampingnya. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang sujud, tetap dalam keadaan sujud dan tidak mengangkat kepala, hingga Fathimah datang menghampiri beliau, lalu membuang kotoran itu dari punggung beliau. Baru setelah itu beliau mengangkat kepala. Kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, hukumlah orang-orang Quraisy ini!” Beliau mengucapkan tiga kali, sehingga membuat hati mereka tersentak, karena beliau mendoakan kecelakaan bagi mereka.
Abdullah bin Mas’ud berkata lagi, “Sementara mereka tahu bahwa doa di tempat beliau itu pasti mustajab. Kemudian beliau menyebut nama-nama mereka, “Ya Allah, hukumlah Abu Jahal, hukumlah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu’ith.”
Demi yang diriku di tangan-Nya, aku telah melihat sendiri orang-orang yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi korban di dalam sumur saat Perang Badr.”
Setiap kali Umayyah bin Khalaf melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia mengumpat dan mencela beliau. Tentang dirinya, turun surah Al-Humazah. Menurut Ibnu Hisyam, humazah artinya orang yang mencela orang lain secara blak-blakan, dengan memelototkan mata dan mencemooh. Sedangkan lumazah artinya mencela orang lain secara sembunyi-sembunyi atau mengganggunya.
Saudara Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, tak jauh berbeda dengan Uqbah bin Abu Mu’ith. Suatu kali Uqbah mengintip di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendengarkan bacaan Al-Qur`an dari beliau. Tatkala tindakannya ini didengar dan diketahui Ubay, maka Ubay langsung menyindir dan mengejeknya, lalu dia meminta agar Uqbah meludahi wajah beliau. Ternyata Uqbah benar-benar melakukan anjuran itu. Ubay bin Khalaf sendiri meremukkan tulang-belulang hingga hancur, lalu menaburkannya menurut arah mata angin yang berhembus ke arah beliau.
Al-Akhnas bin Syariq Ats-Tsaqafi termasuk orang yang menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Qur`an memberinya sembilan sifat yang menunjukkan keadaan dirinya, yaitu dalam firman Allah,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ * هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ * مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ * عُتُلٍّ بَعْدَ ذَٰلِكَ زَنِيمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya,” (Al Qalam: 10-13)
Kadang-kadang Abu Jahal mendekati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur`an, kemudian beranjak pergi.
Namun tiada juga dia beriman dan tunduk, tidak mau mengambil pelajaran dan tidak takut. Dia mengganggu beliau dengan kata-kata, menghalangi orang dari jalan Allah, kemudian beranjak pergi sambil menyombongkan tindakannya sendiri dan bangga karena telah berbuat jahat. Seakan-akan dia telah berbuat sesuatu yang layak untuk diingat. Turun ayat tentang dirinya,
فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّىٰ * وَلَٰكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ * ثُمَّ ذَهَبَ إِلَىٰ أَهْلِهِ يَتَمَطَّىٰ * أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَىٰ * ثُمَّ أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَى
“Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur`an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu.” (Al-Qiyamah: 31-35)
Abu Jahal selalu menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semenjak pertama kali dia melihat beliau shalat di Masjidil Haram. Suatu kali dia melihat beliau shalat di dekat Maqam Ibrahim. Maka dia berkata, “Wahai Muhammad, bukankah aku sudah melarangmu melakukan hal itu?”
Beliau mengancam Abu Jahal, memberikan peringatan dan menghardiknya.
“Wahai Muhammad, dengan apa engkau mengancamku? Demi Allah, aku lebih banyak memiliki golongan di tempat ini.” Lalu Allah menurunkan ayat,
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).” (Al Alaq :17)
Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memegang kerah baju Abu Jahal dan menguncang-guncang seraya bersabda membacakan ayat, “Kemudian kecelakaan bagimu dan kecelakaan bagimu.”
Musuh Allah itu berkata, “Apakah engkau mengancamku wahai Muhammad? Demi Allah, engkau tidak akan sanggup berbuat sesuatu, begitu pula Tuhanmu. Akulah orang yang paling mulia yang berjalan di antara dua bukit.”
Setelah mendapat ancaman itu, ketololan dan keberingasan Abu Jahal sama sekali tidak menyusut, bahkan semakin menjadi-jadi. Muslim mentakhrij dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Abu Jahal bertanya, ‘Apakah Muhammad berani menutup mukanya di depan kalian?’”
“Benar,” ada seseorang menjawab.
“Demi Lata dan Uzza, andaikata aku melihatnya, tentu kuinjak tengkuknya dan kulumuri mukanya dengan debu,” kata Abu Jahal. Lalu dia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang shalat. Dia bermaksud akan menginjak tengkuk beliau. Namun tatkala tiba-tiba beberapa orang muncul, dia justru mundur ke belakang beberapa langkah dan meremas-remas tangannya.
“Ada apa dengan dirimu wahai Abul Hakam?” mereka bertanya.
“Antara dia dan diriku seperti ada parit dari api dan mereka itu merupakan sayapnya,” jawabnya.
Lalu beliau bersabda, “Andaikata dia mendekatiku, tentu para malaikat akan menyambarnya sepotong demi sepotong.”
Gangguan dan siksaan-siksaan seperti ini tidak begitu berarti bagi diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau memiliki kepribadian yang tidak ada duanya, berwibawa dan dihormati setiap orang, umum maupun khusus. Di samping itu, beliau masih mendapat perlindungan dari Abu Thalib, orang yang paling disegani dan dihormati di Makkah. Tetapi bagi orang-orang Muslim, terlebih lagi mereka yang lemah, maka semua itu terasa amat berat dan pahit. Pada saat yang sama setiap kabilah pasti menyiksa siapa pun yang condong kepada Islam dengan berbagai macam siksaan. Sedangkan orang-orang yang tidak memiliki kabilah, maka mereka diserahkan kepada para pemuka kaum, untuk mendapatkan berbagai macam tekanan, yang bila diceritakan secara detil tentu akan memiriskan hati.
Selagi Abu Jahal mendengar seseorang masuk Islam, maka dia memperingatkan, menakut-nakuti, menjanjikan sejumlah uang dan kedudukan, jika orang tersebut dari kalangan orang yang terpandang. Namun dia akan melancarkan pukulan dan siksaan jika orang yang masuk Islam dari kalangan orang awam dan lemah.
Paman Utsman bin Affan pernah diselubungi tikar dari daun korma, lalu diasapi dari bawahnya. Tatkala ibu Mush’ab bin Umair tahu anaknya masuk Islam, maka dia tidak diberi makan dan diusir dari rumah. Padahal dia biasa hidup enak, sehingga kulitnya mengelupas seperti ular yang berganti kulit.
Bilal yang saat itu menjadi budak Umayyah bin Khalaf, pernah dikalungi tali di lehernya, lalu dia diserahkan kepada anak-anak kecil untuk dibawa berlari lari di sebuah bukit di Makkah, sehingga lehernya membilur karena bekas jeratan tali itu, karena memang Umayyah mengikat tali itu kencang-kencang, dan masih ditambahi lagi dengan pukulan tongkat. Setelah itu dia disuruh duduk dan di bawah terik matahari dan dibiarkan kelaparan. Penyiksaan paling keras yang dialaminya, suatu hari dia dibawa keluar selagi matahari tepat di tengah ufuk, lalu dia ditelentangkan di atas padang pasir Makkah. Umayyah meminta sebuah batu yang besar lalu diletakkan di atas dada Bilal, seraya berkata, “Tidak demi Allah, kamu tetap seperti ini hingga kamu mati atau mengingkari Muhammad serta menyembah Lata dan Uzza.”
Bilal hanya mampu berucap, “Ahad, Ahad …”
Suatu hari Abu Bakar lewat selagi orang-orang Quraisy berbuat seperti itu terhadap Bilal. Lalu Abu Bakar membeli Bilal dengan seorang pemuda berkulit hitam. Ada yang berpendapat, Abu Bakar membelinya dengan tujuh uqiyah atau lima keping perak, lalu memerdekakannya.
Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, budak Bani Makhzum, masuk Islam bersama ibu dan bapaknya. Orang-orang musyrik yang dipimpin Abu Jahal menyeret mereka ke tengah padang pasir yang panas membara lalu menyiksa mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lewat selagi mereka disiksa. Beliau bersabda, “Sabarlah wahai keluarga Yasir! Sesungguhnya tempat yang sudah dijanjikan bagi kalian adalah surga.”
Yasir meninggal dunia dalam penyiksaan itu, dan ibu Ammar, Sumayyah, ditikam Abu Jahal dengan menggunakan tombak, hingga meninggal dunia. Dialah wanita pertama yang mati syahid dalam Islam. Sedangkan Ammar yang masih hidup harus menghadapi penyiksaan yang lebih menyakitkan lagi. Sebuah batu yang panas diletakkan di dadanya dan sebagian tubuhnya yang lain dibenamkan di dalam pasir yang panas membara.
“Kami tidak akan membiarkanmu kecuali jika engkau mau mencaci Muhammad, atau engkau mau mengatakan hal-hal yang baik tentang Lata dan Uzza,” kata mereka. Dengan terpaksa Ammar memenuhi permintaan mereka itu hingga dilepaskan. Setelah itu dia menemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil menangis dan meminta ampun. Lalu turun ayat tentang dirinya,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (An-Nahl: 106)
Abu Fakihah, yang nama aslinya Aflah, budak Bani Abdid-Dar diikat kakinya dengan ikatan kencang, lalu diseret di atas tanah.
Khabbab bin Al-Aratt, budak milik Ummu Ammar binti Siba’ Al Khuza’iyah juga mendapat berbagai macam penyiksaan. Mereka mencengkeram rambutnya lalu menariknya dengan tarikan yang keras dan membelitkan tali di lehernya dan menelentangkannya di tanah hingga beberapa kali di atas pasir yang menyengat, kemudian mereka meletakkan sebuah batu di atas tubuhnya, hingga dia tidak mampu berdiri lagi.
Zinnirah, Nahdiyah, dan kedua putrinya, serta Ummu Ubais, yang semuanya hamba sahaya, juga masuk Islam. Lalu orang-orang musyrik menimpakan berbagai macam siksaan seperti dialami orang-orang yang lemah lainnya. Seorang budak wanita milik Bani Mu’ammal, salah satu suku di Bani Adi, juga mendapatkan siksaan yang keras. Umar bin Al-Khaththab yang saat itu masih musyrik, memukulinya berkali-kali. Ketika budak wanita itu badannya sempoyongan, maka Umar berkata, “Aku tidak akan membiarkanmu hingga terus-menerus sempoyongan.”
Abu Bakar membeli sebuah budak yang masuk Islam itu dan memerdekakan mereka, sebagaimana dia telah memerdekakan Bilal dan Amir bin Fuhairah.
Orang-orang musyrik biasa mengikat sebagian sahabat ditempat gembalaan onta dan sapi, lalu melemparkannya di atas padang pasir yang menyengat. Sebagian lain ada yang dikenakan pakaian besi, lalu menelentangkannya di atas pasir yang panas.
Daftar orang-orang yang disiksa karena masuk Islam masih banyak dan panjang serta mengerikan. Siapa pun yang diketahui masuk Islam, pasti akan mendapat penyiksaan.
Darul-Arqam
Langkah bijaksana yang diambil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi berbagai tekanan itu, beliau melarang orang-orang Muslim menampakkan keislamannya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Beliau tidak menemui mereka kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi. Sebab jika sampai diketahui beliau bertemu mereka, tentu orang-orang musyrik berusaha menghalangi usaha beliau untuk mensucikan jiwa orang-orang Muslim dan mengajarkan Al-Kitab. Bahkan tidak menutup kemungkinan yang menjurus kepada bentrokan fisik antara kedua belah pihak. Hal ini benar-benar terjadi, tepatnya pada tahun keempat dari nubuwah. Saat itu para sahabat beliau sedang berkumpul di tengah perkampungan dan mendirikan shalat. Sekalipun mereka melakukan secara sembunyi-sembunyi, toh masih diketahui kelompok orang-orang kafir Quraisy. Orang-orang kafir itu mencaci maki dan menyerang mereka, hingga Sa’d bin Abi Waqqash bisa menikam salah seorang kafir hingga darahnya tertumpah. Inilah korban pertama yang terjadi dalam Islam.
Jika bentrokan fisik ini terjadi berulang-ulang dan berlarut-larut, tentu bisa menghancurkan orang-orang Muslim sendiri. Maka langkah yang paling bijaksana ialah dengan menyembunyikan keislaman mereka. Maka begitulah, para sahabat secara keseluruhan menyembunyikan keislaman, ibadah, dakwah, dan pertemuannya. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menampakkan dakwahnya dan ibadah di tengah orang-orang musyrik, dan sama sekali tidak mengurangi aktivitas tersebut. Sekalipun begitu, orang-orang Muslim tetap mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi, demi kemashlahatan diri mereka dan kepentingan Islam. Tempat tinggal Al-Arqam bin Abil-Alqam Al-Makhzumi yang berada di atas bukit Shafa dan terpencil dari pengintaian mata-mata Quraisy, menjadi markas dakwah beliau, dan sekaligus menjadi tempat pertemuan orang-orang Muslim semenjak tahun kelima dari nubuwah.
Rujukan:
Sirah Nabawiyah/Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri; Penerjemah: Kathur Suhardi; Penyunting: Yasir Maqosid; cet. 1–Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.