Bagaimana Memahami Nash – Nash Yang Mutasyabihat?

Merupakan salah satu dari sifat Allah ta’ala: mukholafat lil hawadits (berbeda dengan yang baru ada), sifat ini telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu. Dalil dari sifat ini adalah firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” QS. As-Syuro: 11.

Al-hawadits adalah segala sesuatu selain Allah ta’ala. Salah satu sifat dari al-hawadits adalah memiliki bentuk dan tubuh, tersusun dari bagian – bagian kecil, terikat waktu dan tempat, dst. Allah tidak menyerupai hal – hal tersebut sedikitpun dan tidak pula menyerupai yang lainnya.

Akan tetapi kita menjumpai nash – nash, yakni ayat al-Qur’an dan hadits – hadits Nabawiyah, yang apabila kita pahami dengan zhahirnya maka akan kita tetapkan adanya keserupaan antara Allah dengan al-hawadits. Hal ini menyelisihi firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” QS. As-Syuro: 11.

Al-Qur’an itu sendiri, ayat – ayatnya saling membenarkan antara yang satu dengan yang lain, tidak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.

Dari yang demikian itu, firman Allah azza wa jalla:

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka”. QS. An-Nahl : 50.

Ketika membaca ayat tersebut, segera terbersit dalam pikiran bahwa Allah berada di atas, sedangkan malaikat ada di bawah. Sebagaimana halnya seorang raja yang ada di tempat yang tinggi sementara pengiring dan pembantu – pembantunya berada di bawahnya. Makna ini mustahil bagi Allah ta’ala karena menyerupakan-Nya dengan al-hawadits.

Seperti halnya juga firman-Nya:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” QS. Al-Fajr : 22.

Ketika membaca ayat tersebut, segera terbersit dalam pikiran bahwa Allah ta’ala keluar pada hari kiamat kemudian mendatanginya sebagaimana seorang raja mendatangi sebuah perayaan. Makna ini juga mustahil karena menyerupakan Allah dengan al-hawadits.

Seperti halnya juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.'” HR. Bukhari dan Muslim.

Ketika membaca hadits tersebut, segera terbersit dalam pikiran bahwa Allah ta’ala berada di tempat yang tertinggi dari langit dunia kemudian turun kepadanya. Makna ini mustahil bagi Allah ta’ala.

Para ulama’ salaf dan khalaf dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah telah bersepakat bahwa setiap nash yang menimbulkan kesan zhahir menyerupakan Allah dengan makhluknya wajib untuk ditakwil. Yakni: meyakini makna yang tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya. Hal ini dikarenakan bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an baik lafadz maupun uslub – uslubnya (metode). Orang Arab menyebut sebuah kalimat dan menghendaki makna zhahirnya, ini adalah hukum asalnya. Mereka juga menyebut sebuah kalimat dan menghendaki makna selain makna zhahirnya karena alasan tertentu, kalimat ini disebut dengan majaz. Apabila tidak memungkinkan untuk membawa makna suatu kalimat kepada makna zhahirnya maka wajib untuk membawanya kepada makna selain makna zhahirnya, inilah yang disebut dengan takwil. Nash – nash yang secara zhahir menunjukkan kepada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) wajib ditakwil hingga tidak bertentangan antara nash tersebut dengan firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” QS. As-Syuro: 11.

Bagi para ulama’ sunnah ada dua cara untuk mentakwil nash – nash tersebut sebagai berikut:

Pertama: madzhab ulama salaf. Mereka adalah ulama’ – ulama’ yang ada sebelum berakhirnya tiga abad hijriyah yang pertama atau sebelum berakhirnya lima abad hijriyah yang pertama. Mereka adalah: para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam madzhab yang empat, dan ulama’ – ulama’ besar madzhab yang empat. Mereka ini mengatakan: makna zhahir ayat ini bukanlah maksud sebenarnya, wallahu ‘alam (Allah lebih tahu) dengan maksud sebenarnya. Mereka men-tafwidkan (menyerahkan) maknanya kepada Allah ta’ala, oleh karena itu madzhab mereka ini disebut dengan madzhab tafwidh. Yakni bahwasanya makna hakiki bagi ayat – ayat ini tidak ada yang mengetahuinya dalam pandangan mereka kecuali Allah ta’ala.

Kedua: madzhab kholaf. Mereka adalah para ulama’ yang hidup setelah masa salaf. Mereka ini juga mengatakan bahwa makna zhahir ayat bukanlah makna maksud sebenarnya, akan tetapi maksudnya adalah begini dan begitu. Mereka menetapkan makna – makna ayat yang tidak menunjukkan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Madzhab mereka disebut dengan madzhab takwil.

Maka firman Allah ta’ala:

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka”. QS. An-Nahl : 50.

Ulama’ salaf berkata mengenainya: maksud dari fawqiyyah (di atas), Allah lebih mengetahui maksudnya, adapun kami tidak mengetahuinya. Ulama’ kholaf mengatakan: yang dimaksud dengan fawqiyyah (di atas) pada ayat tersebut adalah tinggi dalam keagungan. Hal ini berdasarkan pada dalil firman Allah ta’ala yang menceritakan kisah kaumnya Fir’aun dalam tipudaya mereka kepada kaum mu’minin dari kalangan Bani Israil:

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ ۚ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ

“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?”. Fir’aun menjawab: “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. QS. Al-A’raf : 127.

Merupakan hal yang telah diketahui bahwa fir’aun – fir’aun tersebut tidaklah berada di atas kaum Bani Israil secara tempat akan tetapi berada di atas mereka secara makna.

Berkaitan dengan Firman Allah ta’ala:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” QS. Thaha : 5.

Ulama’ salaf berkata: yang dimaksud dengan istiwa’ (bersemayam) kami tidak mengetahui hakikatnya, kami menyerahkan pengetahuan mengenainya kepada Allah ta’ala. Ulama’ kholaf berkata: yang dimaksud dengan istiwa’ (bersemayam) adalah استيلاء istailaa’ (penguasaan) dan الملك al-mulk (kekuasaan), yakni bahwasanya ‘Arsy dan yang lainnya adalah kepunyaan Allah dan tunduk kepada-Nya dengan dalil firman-Nya:

ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap”. QS. Al-Fushilat : 11.

Yakni menghadapkan kehendaknya kepadanya. Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya:

فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

“Lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. QS. Al-Fushilat : 11.

Maka langit, bumi, dan Arsy semuanya adalah milik Allah dan tunduk kepada-Nya.

Para ulama’ salaf dan kholaf mentakwil ayat dengan kedua takwil tersebut di atas untuk menafikan kesan yang tertangkap dalam benak orang awam bahwa makna istawa adalah duduk. Makna ini adalah mustahil bagi Allah ta’ala karena makna tersebut menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya.

Ayat – ayat yang tidak dapat dibawa kepada makna zhahirnya disebut dengan ayat – ayat mutasyabihat. Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ * رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. QS. Ali Imran : 7-8.

Allah ta’ala menjelaskan bahwasanya terdapat ayat yang muhkam dan mutasyabihat. Ayat – ayat yang muhkam adalah ayat – ayat yang tidak ada kesulitan untuk memaknainya secara zhahir. Ayat – ayat tersebut adalah sebagian besar dari isi al-Qur’an dan merupakan kaidah – kaidah pokok agama seperti firman-Nya:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” QS. Al-Ikhlas : 1.

Dan firman-Nya:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” QS. Al-Isra’ : 23.

Dan firman-Nya:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” QS. Al-Baqarah : 188.

Adapun ayat – ayat mutasyabihat adalah ayat – ayat yang tidak mungkin untuk dimaknai secara zhahir ayat karena makna zhahirnya bertentangan dengan ayat – ayat yang muhkam.

Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa ada dua posisi manusia dalam menghadapi ayat – ayat mutasyabihat ini.

Adapun orang – orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat – ayat mutasyabihat tersebut untuk menimbulkan fitnah. Mereka menggali maknanya sesuai dengan hawa nafsu. Adapun kaum mu’minin, mereka memahami ayat – ayat tersebut dengan ayat – ayat muhkam terlebih dahulu dan tidak bergairah meletup – letup dalam pembahasan seputar ayat mutasyabihat. Mereka memohon kepada Allah ta’ala agar menetapkan hati mereka dan tidak condong kepada kesesatan.

Akan tetapi, apakah para ulama’ yang mendalam ilmunya mampu untuk mengetahui makna – makna ayat mutasyabihat yang tidak bertentangan dengan ayat – ayat yang muhkam? Para ulama’ memiliki dua pandangan terkait hal ini: di antara mereka ada yang mengatakan: tidak mungkin mengetahui makna ayat – ayat mutasyabihat ini karena Allah ta’ala berfirman:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.” QS. Ali Imran : 7.

Ayat tersebut membatasi ilmu mengenai ayat – ayat mutasyabihat hanya kepada Allah saja yang mengetahuinya.

Adapun firman-Nya:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” QS. Ali Imran : 7.

Adalah kalimat musta’naf (kalimat baru) yakni: ar-rasihuuna adalah mubtada’ (permulaan) sedangkan khobarnya (beritanya) adalah:

يَقُولُونَ آمَنَّا بِه

“Mereka berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat.” QS. Ali Imran : 7.

Ini adalah madzhab kebanyakan para ulama’ salaf dan sebagian para ulama’ kholaf yang mengikuti mereka.

Di antara para ulama’ juga ada yang berkata: orang – orang yang mendalam ilmunya mengetahui makna ayat – ayat mutasyabihat yang sesuai dengan ayat – ayat muhkam. Mereka berhujah dengan firman-Nya:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”

Mereka memandang bahwasanya kata ( َالرَّاسِخُونَ ) adalah bersambung kepada lafadz Allah, yakni: mereka (orang – orang yang mendalam ilmunya) mengetahui takwilnya dengan apa – apa yang diajarkan oleh Allah ta’ala. Ini adalah madzhab sebagian salaf dan madzhab kebanyakan kholaf. Oleh karena itu mereka menggali makna – makna bagi ayat – ayat mutasyabihat yang sesuai dengan ayat – ayat muhkam.

Sebagai kesimpulan: bahwasanya salaf dan kholaf sepakat untuk mensucikan Allah ta’ala dari menyerupai ciptaan-Nya. Akan tetapi salaf memandang untuk mensucikan-Nya dan menyerahkan kepada Allah makna atau maksud ayat – ayat yang memberi kesan penyerupaan Allah dengan makhluknya. Sedangkan kholaf memandang bahwa mensucikan-Nya itu menetapkan untuk membawa makna – makna ayat yang memberi kesan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya kepada makna – makna yang tidak memberi kesan penyerupaan. Kita mengambil madzhab salaf dan kholaf tersebut kedua – keduanya. Mereka para ulama’ mengatakan: madzhab salaf itu aslam (lebih selamat) sedangkan madzhab kholaf itu ahkam (lebih bijak). Madzhab salaf lebih selamat karena ketika kita menetapkan suatu makna bagi ayat – ayat mutasyabihat (seperti yang dilakukan madzhab kholaf) ada kemungkinan salah karena maknanya tidaklah qath’i (pasti). Dengan demikian kita perlu mempertanggungjawabkannya kepada Allah ta’ala nantinya atas takwil yang salah. Adapun madzhab kholaf dikatakan lebih bijak karena madzhab kholaf lebih kuat dalam menolak orang – orang yang dalam hatinya ada kecondongan kepada kesesatan yang menghendaki untuk menimbulkan fitnah dengan membahas ayat – ayat mutasyabihat untuk menolong madzhab mereka.

Merupakan perkataan yang tepat dengan menyebutkan bahwa nash – nash yang mutasyabihat tidaklah mutasyabihat semuanya bahkan terdapat makna yang muhkam yang tidak ada perbedaan pendapat padanya. Oleh karena itu terdapat nash yang memiliki maksud yang muhkam di awal seperti firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” QS. Al-Fath: 10.

Ayat ini datang saat terjadi baiat Ridwan. Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang – orang yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Hudaibiyah pada hakikatnya mereka adalah membaiat Allah ta’ala. Ketika mereka meletakkan tangan mereka kepada tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat, pada hakikatnya mereka sedang berbaiat bersama Allah ta’ala. Sehingga mereka berkeinginan untuk setia. Tidak ada perbedaan mengenai makna ini, dan ini adalah makna yang pertama dari ayat tersebut. Kemudian apakah makna dari kata tangan Allah pada firman-Nya:

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Tangan Allah di atas tangan mereka.” QS. Al-Fath: 10.

Para ulama’ salaf berkata: kami berkeinginan hanya pada makna yang pertama dan tidak membahas maksud dari kata tangan Allah, kami serahkan maknanya kepada Allah ta’ala. Para ulama’ kholaf mengatakan: yang dimaksud dengan tangan Allah dalam ayat tersebut adalah qudroh (kuasa) dan penguasaan. Sebagaimana dikatakan: Fulan telah meletakkan tangannya atas tanah Fulan. Para ulama’ salaf dan kholaf sepakat bahwasanya tidaklah bagi Allah ta’ala tangan seperti tangan kita.

Adapun orang – orang yang mengatakan: bagi Allah memiliki tangan seperti tangan kita karena mereka mengambil makna lughowi dari kata tangan maka mereka itu adalah kaum musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Mereka ini kafir karena telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menyelisihi ayat yang jelas dan muhkam:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” QS. As-Syuro: 11.

Adapun orang – orang yang mengatakan: bagi Allah tangan yang layak bagi-Nya, mereka ini adalah Hanabilah yaitu orang – orang yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka ini menurut kesepakatan jumhur bukanlah musyabbihah.

Orang – orang yang mendalam tinjauannya akan mendapati perkataan – perkataan yang saling mendekati yang tidak menyerupakan Allah dengan makhluknya. Karena tangan secara bahasa maknanya adalah tangan manusia sebagaimana yang telah diketahui, maka apabila kata tangan tersebut disematkan kepada selain manusia maka itu adalah majaz. Sama saja ketika kita katakan setelah menyebut kata tangan tersebut: Allah lebih mengetahui maksudnya, atau kita katakan: maksudnya adalah penguasaan, atau kita katakan: tangan yang sesuai dengan keagungan-Nya.

Kesemuanya itu sama – sama menghendaki untuk mensucikan Allah, maka tidak perlu untuk menimbulkan perselisihan dan permusuhan di antara kaum muslimin sementara mereka sedang menghadapi orang – orang atheis dan orang – orang yang ingkar.

Maka wajib bagi kita untuk memberi perhatian kepada makna yang merupakan konteks dari nash tersebut dan beramal dengannya daripada sibuk berdebat dengan makna yang mutasyabihat.

Maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.'” HR. Bukhari dan Muslim.

Yang dikehendaki dari hadits tersebut adalah adanya dorongan untuk bangun pada sepertiga malam yang akhir kemudian berdoa dan beristighfar. Sebagaimana firman-Nya:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” QS. Adz-Dzariyat : 18.

Maka berkutat dengan pembahasan makna Allah turun ke langit dunia dan lalai terhadap beramal pada waktu yang diberkahi tersebut merupakan suatu penyimpangan dari bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menimbulkan fitnah. Maka hendaknya seorang mu’min memahami bahwa Nabi diutus untuk beramal sholih tidak untuk membuka bab mengenai debat.

Demikianlah kitab tafsir al-Qur’an dan syarah hadits – hadits memberikan bimbingan mengenai nash – nash yang mutasyabihat, oleh karena itu kembalilah kepadanya apabila menemui permasalahan. Yang terpenting adalah seorang muslim tidak terjatuh kepada tasybih yakni menyerupakan Allah ta’ala dengan sesuatu dari ciptaan-Nya dan tidak terjatuh kepada ta’thil yakni menafikan sifat – sifat Allah ta’ala.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *