Makna iman secara Bahasa adalah at-tashdiq (pembenaran), at-tashdiq itu sendiri adalah ketundukan terhadap hukumnya, menerimanya, dan mengakuinya. Kata iman diambil dari kata al-amnu (aman) yang merupakan lawan kata dari al-khauf (takut). Hal ini karena siapa yang mempercayai terhadap suatu hukum maka ia selamat dari pendustaan atau ingkar kepadanya. Maka ketika kita katakan: (Muhammad Rasulullah) artinya kita berhukum dengan risalahnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, barangsiapa yang membenarkan dan tunduk terhadap hukum ini maka ia telah beriman/mukmin dengannya.
Adapun makna iman secara istilah ahli syariat adalah apa – apa yang menyelamatkan orang yang mempercayainya dari kekekalan di dalam api neraka dan memperoleh kemenangan dengan berada di surga selama – lamanya walaupun pernah diadzab di neraka dalam beberapa masa. Untuk mengetahui makna yang dalam mengenai keimanan ini kami perlihatkan gambaran keadaan manusia secara nyata, dengan menyebutkannya secara kontradiktif sehingga tampak perbedaan segala sesuatunya sebagai berikut:
- Seorang yang kafir apabila ia mengucapkan: (أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَ أَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله), kemudian hatinya membenarkan terhadap segala sesuatu yang sampai kepadanya dengan sesuatu yang qath’i (pasti) bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membawanya (yaitu apa – apa yang masyhur di antara umat Islam bahwasanya hal itu adalah bagian dari agama), dia ridho terhadap yang demikian itu, tunduk terhadapnya, dan berazam/berketetapan hati untuk beramal dengan apa – apa yang didasarkan atasnya: maka ia adalah mukmin (orang yang beriman) di dunia dan di akhirat. Di dunia ia diperlakukan dengan muamalahnya kaum muslimin, dimakan sembelihannya, diikuti di dalam sholat (dapat dijadikan imam), diterima kesaksiannya atas seorang muslim,…dst. Dia adalah mukmin dalam hukum akhirat sehingga ia tidaklah abadi di dalam api neraka bila ia masuk ke dalamnya, dan ia akan abadi berada di dalam surga setelah ia memasukinya dengan keutamaan dari Allah azza wa jalla. Hal ini karena ia membenarkan yang tercakup dalam dua kalimat syahadat dan mengucapkannya.
Yang semisal dengan hal itu adalah orang yang dihukumi sebagai orang Islam karena mengikuti kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dan adalah dia membenarkan Islam dan ridho terhadap apa – apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat namun tidak membenarkannya di dalam hatinya seluruhnya atau sebagiannya terhadap segala sesuatu yang sampai kepadanya dengan sesuatu yang qath’I (pasti) (yaitu apa – apa yang masyhur di antara umat Islam bahwasanya hal itu adalah bagian dari agama), maka ia adalah munafik. Yakni kepadanya diperlakukan hukum – hukum sebagai kaum muslimin di dunia dan hukum – hukum kaum kafir di akhirat. Ia akan kekal di dalam neraka dan sungguh Allah telah mengharamkan baginya surga. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. (QS. An-Nisa’ 4 : 145).
Yang semisal dengan hal itu adalah orang yang dihukumi sebagai orang Islam karena mengikuti kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya namun hatinya mendustakan seluruhnya atau sebagiannya terhadap apa – apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari apa – apa yang masyhur di antara kaum muslimin.
- Orang yang di dalam hatinya membenarkan terhadap apa – apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ia ridho dan tunduk kepadanya namun tidak mengucapkannya dengan dua kalimat syahadat karena ia bisu, maka ia adalah mukmin di dunia dan akhirat. Sama saja apakah sebelum itu ia seorang kafir atau muslim mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya. Yang semisal dengan hal itu adalah orang kafir yang membenarkan dengan hatinya, tunduk, dan ridho terhadap Islam namun ia meninggal tiba – tiba sebelum dapat mengucapkan dua kalimat syahadat.
- Orang kafir yang membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ia ridho, tenteram hatinya, dan tunduk namun ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat padahal ia telah diseru untuk mengucapkannya bahkan ia menolaknya dan enggan, sementara ia tidak ada udzur untuk mengucapkannya semisal karena takut dsb, maka ia kafir dalam hukum dunia dan akhirat.
- Sekarang tersisa orang kafir yang membenarkan apa – apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sampai kepadanya dengan sesuatu yang qath’i (pasti) (yaitu apa – apa yang masyhur di antara umat Islam bahwasanya hal itu adalah bagian dari agama), akan tetapi ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat padahal ia mampu untuk mengucapkannya, ia juga tidak bisu ataupun dalam kondisi takut, dan ia tidak pula diseru oleh kaum muslimin untuk mengucapkannya, maka kepada orang ini hukum yang berlaku adalah hukum orang kafir di dunia dan tidak berlaku atasnya hukum – hukum kaum muslimin. Hal ini karena syarat berlakunya hukum – hukum kaum muslimin atas orang kafir adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, apakah ia mukmin dalam hukum akhirat sehingga ia selamat dari kekal di dalam neraka dan memperoleh kemenangan dengan surga?
Masalah ini sebagaimana kita lihat secara teori bahwa tidak terdapat bekasnya di dunia secara amal, maka apakah kita dapat mengetahui kondisi ini dan contohnya? Akan tetapi sudah seharusnya bagi kami untuk menyebutkan perkataan ulama’ mengenai hal ini, maka sungguh para ulama’ berbeda pendapat dalam hukumnya atas beberapa pendapat:
a. Sebagian di antara mereka berkata: dia adalah orang yang mukmin dan selamat di sisi Allah ta’ala. Hal ini karena iman itu adalah at-tashdiq (pembenaran), dan ini adalah membenarkan apa – apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat untuk memberlakukan hukum – hukum Islamiyah duniawiyah kepadanya. Hujah mereka adalah:
- Firman Allah ta’ala:
أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ
Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka. (QS. Al-Mujadalah 58 : 22). Maksud yang ditunjukkan ayat tersebut adalah bahwasanya Allah ta’ala menjadikan hati sebagai tempatnya keimanan, dan ketika hatinya membenarkan maka ia adalah mukmin.
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“wahai Dzat yang membolak balikkan hati teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu”. HR. At-Tirmidzi.
Maksud yang ditunjukkan dari hadits tersebut adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Allah ta’ala tetapnya iman di dalam hati, maka ini adalah dalil bahwasanya hati atau qalbu itu adalah tempatnya iman dan inilah yang dijadikan pegangan. Adapun amal – amal sholih di antaranya adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka mengucapkan dua kalimat syahadat itu adalah syarat sempurnanya keimanan.
- Firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2 : 183).
Maksud yang ditunjukkan ayat ini adalah bahwasanya Allah ta’ala berfirman dengan menggunakan nama iman sebelum mewajibkan atas mereka amal – amal sholih. Hal yang semisal dengan ini di dalam Kitabullah sangat banyak, maka ayat ini adalah dalil bahwasanya keimanan adalah satu hal dan amal sholih adalah satu hal yang lain yang menyempurnakannya dan membuatnya menjadi tetap.
- Firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal (QS. Al-Kahfi 18 : 107).
Pada ayat ini kata amal sholih disambung kepada kata iman (dengan redaksi “dan”), dan kata sambung (“dan”) itu adalah dalil atas suatu perubahan yakni bahwasanya amal sholih bukanlah keimanan. Misalnya saja dalam sebuah kalimat: Zaid dan Umar telah datang. Zaid dan Umar adalah dua entitas yang berbeda.
- Ijma’ kaum muslimin bahwasanya keimanan adalah syarat bagi sah nya amal sholih, dan syarat bukanlah yang disyarati. Maka hal ini adalah juga dalil bahwasanya Iman adalah satu hal dan amal sholih adalah hal yang lain.
b. Sebagian ulama’ berkata: keimanan adalah pembenaran (at-tashdiq), akan tetapi mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat sahnya. Maka barang siapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat padahal dia mampu serta dapat menghilangkan halangan – halangan maka keimanannya tidaklah shahih di dunia dan akhirat, hal ini karena ketiadaan kesempurnaan syarat yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.
c. Sebagian ulama’ berkata: iman adalah pembenaran (at-tashdiq). Akan tetapi mengucapkan dua kalimat syahadat adalah bagian dari at-tashdiq itu, yakni : rukun dari rukun – rukun iman. Hujah mereka adalah bahwasanya iman adalah membenarkan dengan hati, ridho, mengiyakan, dan tunduk. Maka apakah maknanya seseorang itu membenarkan dengan qalbunya kemudian tidak mengucapkan dua kalimat syahadat padahal ia mampu atas yang demikian itu serta dapat menghilangkan halangan – halangannya? Sesungguhnya ini adalah dalil atas penentangannya, dan sungguh Allah telah menyaksikan atas orang – orang yang menentangnya dengan sebutan kafir. Mereka itu adalah orang – orang yang menetapkan di dalam hati mereka kenabian Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi mereka tidak mengakuinya dengan lisan – lisan mereka (mereka tahu bahwa Muhammad itu memang adalah Nabi namun lisan mereka kafir). Allah ta’ala berfirman:
فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. (QS. Al-An’am 6 : 33).
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (QS. Al-Baqarah 2 : 89).
Sebagai ringkasan dari berbagai pendapat: sesungguhnya di antara ulama’ ada yang mengatakan: keimanan itu adalah at-tashdiq (pembenaran), dan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat bagi berlakunya hukum – hukum duniawiyah.
Dan di antara para ulama’ ada yang berkata: keimanan itu adalah at-tashdiq (pembenaran), dan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat sahnya iman.
Dan di antara para ulama’ juga ada yang berkata: keimanan itu adalah at-tashdiq (pembenaran), dan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah rukun dalam keimanan, yakni bagian daripadanya.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pendapat yang kedua dan ketiga. Hal ini karena ketiadaan kesempurnaan syarat akan mengantarkan kepada batalnya hal tersebut, demikian juga dengan ketiadaan kesempurnaan rukun.
Seluruh pendapat – pendapat ini saling bersepakat bahwa amal – amal sholih-yaitu dalam hal ini mengucapkan dua kalimat syahadat- adalah syarat sempurnanya keimanan. Maka barangsiapa yang membenarkan dengan hatinya dan mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya maka ia adalah mukmin meskipun ia tidak mengerjakan amal – amal sholih. Akan tetapi jelas bahwasanya dia berada dalam bahaya yang besar. Adapun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“wahai Dzat yang membolak balikkan hati teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu”. HR. At-Tirmidzi.
Mengapa dikatakan di dalamnya juga termasuk orang yang tidak beramal sholih?!(tidak disebutkan dalam bentuk: “ya Allah teguhkanlah hatiku yang beramal sholih di atas agamamu”) Hal ini membutuhkan pembahasan yang mendalam (tidak dibahas di sini).
Telah tetap bahwasanya kita mengetahui bahwa ketiga pendapat tersebut adalah madzhab jumhur muhaqqiq (peneliti) dari kalangan Asya’irah dan Maturidiyah. Terdapat juga madzhab yang lain yang kami sebutkan sebagaimana para ulama’ menyebutkannya untuk mengetahuinya:
- Madzhab al-Karamiyah yang mengatakan: iman adalah ikrar lisan dengan dua kalimat syahadat. Maka siapa saja yang telah mengikrarkannya maka dia adalah mukmin tanpa melihat apa yang ada di dalam hati.
- Madzhab al-Khawarij dan sebagian al-Mu’tazilah: bahwasanya iman adalah ketaatan secara mutlak sama saja apakah itu hal yang wajib ataukah hal yang Sunnah.
- Madzhab nya Al-Jubba’I dan banyak kalangan Mu’tazilah Bashrah: bahwasanya iman adalah ketaatan dalam hal – hal yang wajib tanpa hal – hal yang Sunnah.
- Madzhabnya sebagian jama’ah dari Ahlus Sunnah, Mu’tazilah, dan banyak kalangan dari ahlul hadits: bahwasanya iman adalah pembenaran dengan hati, berikrar dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan. Maka barang siapa yang membenarkan dengan hatinya, berikrar dengan lisannya, dan beramal dengan hukum – hukum Islam maka ia adalah mukmin.
Dan (perlu untuk) mengulang kembali pendapat – pendapat ini dan dalil – dalil lengkapnya agar iman seorang mukmin shahih di sisi seluruh kaum muslimin. Pendapat yang terakhir adalah pendapat yang sangat berhati – hati dalam hal ini dan beramal dengannya dapat menetapkan keimanan seseorang.
Maraji’:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.