Ilmu adalah pengetahuan mengenai hakikat sesuatu. Maka barangsiapa misalnya meyakini bahwasanya sholat dhuhur itu empat rakaat maka sungguh dia telah mengetahui hukum syar’i tersebut. Barangsiapa yang tidak mengetahui jumlah rakaat sholat dhuhur maka dia jahil (tidak tahu) terhadap hukum tersebut. Akan tetapi tingkat kejahilannya adalah basith (sederhana) yakni tidak berlipat – lipat. Barangsiapa yang meyakini bahwasanya sholat dhuhur itu tiga rakaat maka dia jahil terhadap hukum tersebut jahil yang murakkab (kebodohan yang rangkap) yakni kebodohan yang berlipat – lipat, karena ia bodoh namun tidak menyadari bahwa ia bodoh.
Barangsiapa yang meyakini bahwasanya Allah ta’ala pencipta segala sesuatu maka dia ‘Alim (berpengetahuan) terhadap masalah tersebut. Barangsiapa yang mengatakan: saya tidak tahu siapa yang menciptakan segala sesuatu, maka dia jahil terhadap masalah tersebut dengan kejahilan yang tidak berlipat – lipat. Barangsiapa yang meyakini bahwasanya segala sesuatu terwujud dari tiada wujud maka dia dalam hal ini jahil murakkab atau bodoh yang berlipat – lipat.
Ushuluddin Islami: adalah keyakinan – keyakinan yang berdiri di atasnya agama Islam ini. Maksud dari keyakinan – keyakinan di sini adalah hal – hal yang dibenarkan oleh seorang muslim dengan pembenaran yang pasti (tashdiqan jaziman). Sama saja apakah dalilnya adalah qath’I (pasti) atau dhanni (dugaan atau di bawah derajat pasti). Adapun perkataan sebagian ulama: “Sesungguhnya dalam masalah aqidah tidak diterima kecuali dalil yang mutawatir (qath’i)”, sesungguhnya yang dimaksud dengan aqidah dalam kaidah ini adalah apa – apa yang menjadikan seseorang kafir ketika mengingkarinya. Akan kami sampaikan penjelasan mengenai kaidah ini insya Allah ta’ala pada penjelasan makna al-iman.
Pengetahuan terhadap pokok – pokok agama ini (ushulluddin) adalah wajib secara syar’I sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah. (QS. Muhammad 47 : 19)
Maka sungguh Allah ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya dan juga kaum mukminin untuk mengetahui dengan pengetahuan yang pasti bahwasanya Dia (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) tidak ada tuhan selain Allah, perintah ini berfaedah wajib, maka hal ini menjadikan pengetahuan terhadap hakikat ini wajib hukumnya. Demikian juga dengan pengetahuan terhadap hakikat – hakikat yang berkaitan dengannya.
Cukup bagi seorang muslim yang biasa – bukan yang mengambil kekhususan dalam ilmu tauhid – untuk mengetahui kaidah – kaidah ilmu ini yang berkaitan dengan Allah azza wa jalla dan sifat – sifat-Nya, para Nabi dan para Rasul ‘alaihimus sholatu wassallam, dan juga perkara – perkara yang ghaib yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ia meyakini bahwasanya Allah ta’ala adalah satu tiada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada bagi-Nya anak, dan tidak pula diperanakkan, tidak ada bagi-Nya istri, dan bahwasanya Dia disifati dengan sifat – sifat yang mutlak sempurna yang layak bagi-Nya, dan Dia suci dari sifat – sifat yang cacat yang tidak layak baginya.
Seorang muslim juga meyakini bahwasanya Allah tabaraka wa ta’ala mengutus seorang Rasul kepada manusia untuk menunjuki mereka kepada tauhid dan kepada apa – apa yang membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat. Allah telah menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi dan tidak ada Nabi setelahnya. Dan bahwasanya para Nabi ‘alaihimussalam disifati dengan sifat – sifat yang baik yang layak bagi mereka suci dari sifat – sifat yang cacat yang tidak layak bagi mereka.
Seorang muslim juga meyakini akan adanya hari akhir, adanya hari kebangkitan setelah kematian, hisab (hari perhitungan), ash-shiraat (jembatan), dan al-mizan (timbangan amal), dan bahwasanya surga adalah bagi orang – orang yang beriman dan neraka adalah bagi orang – orang yang kafir.
Adapun orang – orang yang mengambil kekhususan dalam ilmu tauhid, maka wajib baginya untuk mengetahui perincian permasalahan – permasalahan ini dengan ukuran yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih serta apa – apa yang digali dari keduanya dari sisi mampu – insya Allah – untuk menjawab ketidakjelasan/kesamaran orang yang ingkar dan wajib untuk menjawab permasalahan orang – orang yang sedang meminta nasehat/petunjuk. Inilah pokok pembicaraan kitab ini (yaitu kitab Jauhar at-Tauhid).
Maraji’:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.