Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah – Hukum Taqlid Dalam Masalah Aqidah

Taqlid dalam masalah aqidah adalah: mengikuti orang lain pada apa – apa yang diyakini tanpa mengetahui dalil yang digunakan untuk meyakininya. Adapun ketika seseorang mengetahui dalilnya dan merasa puas dengan dalil tersebut, maka ia bukanlah seorang muqallid (orang yang taqlid) dalam masalah aqidah. Orang yang setuju dengan orang yang lain dalam aqidahnya yang dibangun atas dalil khusus yang digalinya juga bukanlah seorang muqallid dalam masalah aqidah.

Kemudian, seorang muqallid itu ada yang jazm (tetap) yaitu dari sisi apabila orang yang ia ikuti kembali kepada aqidah sebelumnya, muqallid tersebut tidak mengikutinya. Muqallid ada juga yang ghairu jazm (tidak tetap) yaitu dari sisi apabila orang yang ia ikuti kembali kepada aqidah sebelumnya, muqallid tersebut juga kembali kepada aqidah sebelumnya, mengikuti orang yang ia taqlid kepadanya.

(Pembahasan tentang aqidah adalah pembahasan tentang tauhid) Adapun tauhid adalah: kata yang dibentuk dari kata (واحد), tauhid digunakan untuk menyebut ilmu aqidah Islamiyah karena hal yang terpenting dalam ilmu aqidah Islamiyah adalah mentauhidkan Allah azza wa jalla. Ilmu ini terdiri atas permasalahan – permasalahan yang menjauhkan iman yang selamat dari api neraka di akhirat. Oleh karena itu wajib memiliki keimanan yang pasti (jazm) terhadapnya karena yang menyelisihinya terhitung sebagai orang kafir. Demikian itu seperti iman terhadap ke-Esaan Allah dan kenabian Muhammad serta risalahnya.

Tidak diragukan lagi bahwa kebenaran keimanan adalah meyakini terhadap masalah – masalah tauhid dan menetapkannya (jazm) dari dalil. Sama saja apakah seseorang itu menggali sendiri dalil – dalil tersebut ataukah dalil – dalil tersebut didapat dari orang lain kemudian ia menetapkan keimanannya dengannya.

Tidak diragukan juga bahwa tiada kebenaran keimanan pada seseorang yang taqlid (mengikuti) kepada orang lain dengan taqlid yang tidak tetap (taqlid ghairu jazm). Hal ini dari sisi apabila seorang muqallid kembali dari aqidah tauhid dan kemudian menyelisihinya dalam rangka mengikuti orang yang ia ikuti. Karena iman adalah tashdiqul jazm (pembenaran yang tetap), dan dalam permasalahan ini pembenarannya tidak tetap, sehingga ia bukanlah mukmin.

Adapun muqallid yang tetap (jazm) yang mengikuti orang lain terhadap permasalahan – permasalahan aqidah tanpa pengetahuan terhadap dalil yang menyokongnya maka para ulama’ berbeda pendapat mengenainya:

  1. Di antara mereka ada yang berpendapat: sesungguhnya keimanannya benar (shahih), karena ia menyetujui terhadap kebenaran yang ia yakini.
  2. Di antara mereka ada juga yang berpendapat: ketika ia mengikuti (taqlid kepada) al-Qur’an dan As-Sunnah yang qath’i (yang pasti), maka keimanannya benar (shahih), karena ia mengikuti perkataan yang ma’shum (yaitu suci dari kesalahan). Apabila ia taqlid kepada selainnya maka keimanannya tidak benar (ghairu shahih), karena ia mengikuti perkataan yang tidak ma’shum.
  3. Di antara mereka ada juga yang berpendapat: sesungguhnya keimanannya benar (shahih) kecuali bahwasanya ia berdosa karena ia meninggalkan berdalil yang ia mampu terhadapnya. Hal ini berlaku bagi orang yang mampu untuk berdalil, adapun bagi orang yang tidak mampu maka cukup baginya taqlid yang tetap (jazm).
  4. Di antara mereka ada juga yang berpendapat: imannya tidak benar (ghairu shahih). Hal ini berlaku bagi mereka yang mendengar Islam kemudian beriman dengan apa yang ia dengar tanpa membahasnya. Adapun orang yang tumbuh berkembang di negeri – negeri Islam dan ia sering mengetahui keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mukjizat yang diturunkan kepadanya, maka ia beriman dan kokoh keimanan di dalam hatinya maka orang yang demikian itu adalah mukmin tanpa keraguan.

Hal ini menjelaskan kepada kita perbedaan antara Islam dan sebagian agama – agama yang lain yang mengharamkan pembahasan di dalam aqidah/keyakinan secara mutlak apapun jenis pembahasannya. Para agamawan menghendaki dalam agama – agama tersebut agar manusia membenarkan perkataan – perkataan mereka tanpa perdebatan. Adapun para ulama’ kaum muslimin mendorong mereka untuk membahas dan menyangkal kebenaran iman seorang muqallid sebagaimana dibahas di atas. Sebab yang demikian itu adalah karena para ulama’ kaum muslimin mengetahui bahwasanya mereka berada di atas kebenaran dan bahwasanya logika yang selamat akan menguatkan mereka. Orang yang berada di atas kebenaran tidak akan takut dengan pembahasan, sedangkan selain dari mereka takut apabila pembahasan tersebut akan menyingkapkan batalnya perkataan mereka. Maka alhamdulillah segala puji bagi Allah atas agama yang haq ini yang memuaskan aqal yang selamat. Sungguh Allah telah memerintahkan kepada kita untuk memikirkan dan juga memerintahkannya kepada selain kita. Kita memikirkannya dan kita mengetahuinya kebenaran apa – apa yang datang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan orang selain kita memutarbalikkan risalah dan mengharamkan untuk memikirkannya.

Sesungguhnya aqidah – aqidah Islamiyah dibangun atas hujjah – hujjah aqliyah yang benar dan hukum – hukum syariah dibangun di atas aqidah ini.

Inilah perbedaan yang dibahas pada pembahasan sahnya atau benarnya keimanan seorang muqallid yaitu dari sisi keselamatan di akhirat. Adapun secara hukum – hukum duniawi maka cukup baginya secara dzhahir nya saja, maka siapa saja yang lahir dari orang tua yang muslim atau salah satu dari orang tuanya adalah muslim maka ia dihukumi sebagai anak muslim. Demikian juga dengan orang kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak darinya hal – hal yang membatalkan keislaman seperti sujud kepada berhala yang disembah selain Allah ta’ala, maka ia juga dihukumi sebagai muslim. Dalil atas hal ini adalah firman Allah ta’ala:

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا

dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya) (QS. An-Nisa’ 4:94).

Dari Anas bin Malik beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ

“Barangsiapa shalat seperti shalat kita, menghadap ke arah kiblat kita dan memakan sembilan kita, maka dia adalah seorang Muslim, ia memiliki perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kalian mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya.” HR. Bukhari.

Makna hukum Islam baginya adalah diperlakukan dalam hukum – hukum duniawi dengan muamalat kaum muslimin. Maka shalatnya dan puasanya akan sah secara hukum. Ia akan mewarisi dari karib kerabatnya yang muslim dan akan mewariskan kepada karib kerabatnya yang muslim juga. Sembelihannya boleh dimakan. Sah baginya untuk menikahi muslimah, dan apabila ia adalah wanita maka sah baginya untuk bersuami dengan seorang laki – laki darinya. Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.

Maraji’:

Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *