Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah – Aqidah/Keyakinan yang Wajib Diyakini Oleh Mukallaf

Tags:

Mukallaf (seseorang yang dibebani tanggung jawab) dalam pandangan ulama’ Syariah Islamiyah adalah: manusia yang dituntut untuk mengerjakan perintah – perintah syariat dan meninggalkan apa yang dilarang oleh syariat yang mulia. Baginya balasan dan pahala atas ketaatan, dan ditimpakan kepada dirinya uqubat/hukuman jika menentangnya. Mukallaf adalah orang yang telah sempurna pada dirinya tiga sifat: baligh, berakal, dan telah sampai dakwah Islamiyah kepadanya.

  1. Baligh: adalah kematangan secara badan. Tanda – tandanya yang dikenal di sisi para dokter dan ahli fiqh yang paling penting yaitu mimpi basah, yakni keluarnya mani, ini pada laki – laki maupun perempuan, dan haid pada perempuan saja. Maka kapan saja tanda – tanda ini tampak pada manusia maka ia telah baligh berapapun umurnya. Ketika tidak tampak tanda – tandanya hingga berusia lima belas tahun dengan hitungan tahun qamariyah, maka ia dianggap telah baligh. Yang demikian itu karena aqal dan kesadaran tidak sempurna sebelum ia baligh. Akan tetapi bagi wali anak kecil hendaknya mengajarkannya kaidah – kaidah aqidah Islamiyah dengan kadar yang layak dengan kondisi anak tersebut, juga memerintahkannya shalat dan ibadah serta menjelaskan kepadanya halal dan haram yang dihadapi dalam kehidupan sehari – harinya.
  2. Aqal: kemampuan untuk memahami perkataan, maka orang yang gila bukanlah mukallaf. Orang bodoh yang tidak memahami makna apa yang dikatakan kepadanya bukanlah mukallaf, akan tetapi diajari sebagaimana anak kecil diajari sesuai dengan kondisinya.
  3. Sampainya dakwah yaitu: dia mengetahui bahwasanya Allah ta’ala telah mengutus seorang Rasul kepada manusia namanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan adalah beliau disifati dengan sifat – sifat yang mulia, telah ditegakkan hujjah bahwasanya dia adalah Rasulullah dengan jelasnya mukjizat yang ada di tangannya. Beliau menyeru kepada manusia agar beriman kepada Allah semata tiada sekutu baginya dan agar mentaati perintah – perintah-Nya. Maka siapa saja yang tidak sampai kepadanya dakwah ini maka dia tidak dituntut untuk beriman dan tidak diadzab atas kekafirannya, mereka adalah orang – orang yang termasuk ahlul fitrah yakni orang – orang yang meninggal sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak sampai kepada mereka dakwah nabi – nabi sebelumnya. Demikian pula orang – orang yang terlahir buta dan tuli, maka tidak mungkin baginya untuk mengetahui diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu tidak dihitung sebagai seorang mukallaf karena dakwah tidak sampai kepadanya. Dalil atas disyaratkannya sampainya dakwah adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra’ 17:15).

Pemahaman yang dibangun dari sini adalah: siapa saja yang mati sebelum baligh, maka ia tidak diadzab sebagai orang yang kafir dan juga tidak sebagai selainnya. Semisal dengan hal tersebut adalah siapa saja yang terlahir dalam keadaan gila dan meninggal dalam keadaan gila. Adapun orang yang telah baligh berakal kemudian gila dan meninggal dalam keadaan gila, maka sesungguhnya ia dihisab sebagaimana orang yang meninggal setelah baligh.

Bagi orang – orang yang dakwah tidak sampai kepada mereka, tidak diadzab sebagai orang kafir dan juga tidak sebagai selainnya, dan barang siapa yang tidak diadzab, masuk ke dalam surga. Izin bagi orang selain mukallaf selamat dari adzab dan masuk ke dalam surga adalah karena kebaikan Allah ta’ala.

Syariah Sumber Hukum – Hukum

Taklif/Pembebanan untuk aqidah dan hukum – hukum adalah bersumber dari syariat semata. Maka apa – apa yang diwajibkan oleh syariat maka dia adalah wajib dan apa – apa yang diharamkan oleh syariat maka dia adalah haram. Maka sebelum turunnya syariat, suatu perbuatan tidak disifati sebagai haram atau wajib atau yang selainnya dari sifat – sifat syariah terhadap perbuatan.

Benar bahwa aqal manusia menganggap baik sebagian perbuatan yang bermanfaat seperti berbuat baik kepada orang tua, dan menganggap buruk sebagian perbuatan yang merugikan seperti durhaka kepada orang tua. Dan terdapat fitrah salimah yang menunjuki manusia bahwasanya alam ini ada yang menciptakan meskipun dia tidak mengetahui sifat – sifatNya, dan mengingkari bahwa alam ini terwujud dari sebelumnya tidak ada tanpa ada yang menciptakan.

Yang demikian itu tidak ada keraguan di dalamnya, namun kami katakan di sisi kami: “ini wajib secara syar’i” maksudnya: bahwasanya orang yang melakukan kewajiban tersebut akan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Kami katakan juga: “ini haram” maksudnya: bahwasanya orang yang melakukan keharaman tersebut akan mendapatkan hukuman. Demikian juga dengan hukum – hukum syariah yang lain. Dengan makna ini maka hukum – hukum syar’i seluruhnya adalah bersumber dari syariat. Maka suatu kewajiban adalah apa – apa yang diwajibkan oleh syariat, suatu keharaman adalah apa – apa yang diharamkan oleh syariat, dan suatu hal yang makruh adalah apa – apa yang makruhkan oleh syariat. Adapun anggapan baik oleh aqal sebelum turunnya syariat maka hal itu tidak ada hubungannya dengan pahala, demikian pula dengan anggapan buruk oleh aqal sebelum turunnya syariat, hal itu tidak ada hubungannya dengan siksa.

Makna Wajib, Jaiz, dan Mustahil

Dalam pembahasan ilmu tauhid terdapat banyak sekali kata yang diulang – ulang yang wajib bagi seseorang yang mempelajari ilmu ini untuk mengetahui maknanya. Kata tersebut adalah: wajib secara aqliyah, mustahil secara aqliyah, dan jaiz secara aqliyah. Kata – kata tersebut adalah istilah dalam ilmu mantiq (logika). Adapun wajib adalah: apa – apa saja yang aqal tidak dapat menggambarkan ketiadaannya, yakni aqal tidak dapat menggambarkan bahwasanya sesuatu itu tidak berwujud. Misalnya adalah: ( adanya batas bagi setiap benda/jism), maka aqal tidak dapat menggambarkan adanya benda/jism yang tidak memiliki batas – batas tertentu dalam ruang kosong (berarti wajib adanya batas bagi setiap benda). Contoh lain lagi: (bahwasanya benda/jism itu mungkin ia diam dan mungkin ia bergerak), maka aqal tidak dapat menggambarkan suatu benda/jism yang tidak diam dan tidak bergerak (berarti wajib bagi benda bahwasanya dia itu kalau tidak diam ya berarti bergerak). Contoh lain lagi: bahwasanya setiap benda itu pasti lebih banyak daripada bagian – bagian yang menyusunnya (berarti wajib bagi benda yang disusun lebih besar daripada penyusunnya). Perkara – perkara ini, sebagaimana engkau lihat kepastian kebenarannya, adalah perkara – perkara yang aqal tidak dapat menggambarkan hal sebaliknya.

Adapun mustahil adalah: apa – apa yang aqal tidak dapat menggambarkan keberadaannya. Contoh yang demikian itu: kebalikan dari perkara – perkara yang wajib seperti mustahilnya ada benda yang tidak menempati ukuran tertentu dari ruang kosong, mustahilnya ada benda yang tidak diam dan tidak bergerak, serta mustahilnya adanya benda yang menyusun suatu benda namun ia lebih besar daripada benda yang disusun. Perkara – perkara ini adalah perkara – perkara yang tidak dapat digambarkan oleh aqal.

Adapun jaiz yang disebut juga dengan ‘mungkin’ adalah: apa – apa yang aqal dapat menggambarkan keberadaannya maupun ketiadaannya. Maka setiap kemungkinan yang mungkin terjadi aqal dapat menerimanya. Maka aqal dapat menggambarkan benda yang mungkin bergerak dan mungkin diam saja. Aqal juga dapat menggambarkan bahwa seseorang itu kaya adalah suatu kemungkinan dan seseorang itu faqir juga suatu kemungkinan.

Contoh – contoh di atas adalah contoh – contoh yang mudah dipahami oleh manusia, akan tetapi sebagian permasalahan – permasalahan membutuhkan perhatian, perenungan (pemikiran), dan penarikan kesimpulan agar diketahui oleh manusia bahwasanya ia adalah wajib, mustahil, atau jaiz.

Wajibnya Mengetahui Hal – Hal yang Wajib, Mustahil, dan Jaiz Terhadap Allah dan Rasul-Nya

Wajib atas mukallaf untuk mengetahui hal – hal yang wajib terhadap Allah ta’ala. Maka ketahuilah bahwasanya Allah adalah esa (satu) tiada sekutu bagiNya, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, hingga kewajiban – kewajiban yang lain yang akan dibahas nanti pada pembahasannya tersendiri. Wajib juga untuk mengetahui hal – hal yang mustahil terhadap Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwasanya mustahil bagi Allah beranak atau beristri, demikian pula mustahil bagi Allah hal – hal yang merupakan kebalikan dari hal – hal yang wajib bagi Allah ta’ala (misal, Allah ta’ala tuli dan buta).

Wajib juga untuk mengetahui hal – hal yang jaiz terhadap Allah ta’ala. Maka ketahuilah bahwasanya Allah ta’ala kuasa untuk menjadikan seseorang menjadi kaya, Allah ta’ala juga kuasa untuk menjadikan seseorang menjadi faqir, dan kuasa untuk menimpakan balasan bagi orang – orang yang dzalim.

Kemudian, wajib juga atas mukallaf untuk mengetahui hal – hal yang wajib terhadap seluruh Rasul – Rasul ‘alaihim as-shalawatullah wa sallam, maka ketahuilah bahwasanya sifat jujur adalah wajib terhadap mereka dan sifat dusta adalah mustahil terhadap mereka serta jaiz/boleh bagi mereka untuk makan, minum, dan tidur.

Keyakinan – keyakinan inilah yang wajib bagi seorang mukallaf untuk mempelajarinya sesuai dengan timbangan kesanggupan dan kemampuannya. Orang yang ‘alim dituntut darinya apa – apa yang tidak dituntut dari orang yang umum (awam). Orang yang cerdas mengetahui apa – apa yang tidak diketahui oleh orang yang bodoh. Maka seorang yang ‘alim dan cerdas wajib atasnya untuk mengetahui dalil dan menegakkan hujjah atas benarnya keyakinan – keyakinan ini. Sedangkan selain orang yang ‘alim dan cerdas, cukup baginya mengetahui perkara – perkara yang global sebagaimana ia mendengarnya dari para ulama.

Dalil atas wajibnya pengetahuan mengenai hal ini (wajib, mustahil, dan jaiz pada Allah dan Rasul – RasulNya) adalah firman Allah ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah. (QS. Muhammad 47:19).

Serta sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Maka apabila mereka melakukan hal tersebut, maka sungguh mereka telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku), kecuali disebabkan hak Islam. Dan hisab mereka diserahkan kepada Allah. (HR. Bukhari dan Muslim, lafadznya adalah lafadz dari Imam Muslim).

Sungguh kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya pengetahuan terhadap hal ini karena hal ini adalah keyakinan – keyakinan (aqaaid) yang membedakan kaum muslimin dari selain mereka (non-muslim).

Maraji’:

Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *