Telah dijelaskan sebelumnya bahwa iman itu adalah pembenaran yang pasti terhadap apa – apa yang masyhur di antara kaum muslimin bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah datang membawanya. Lalu kemudian, apakah keimanan yang demikian itu dapat bertambah dan berkurang?
Bagi para ulama’, terdapat beberapa pandangan terhadap yang demikian itu:
1. Jumhur Asya’irah berpendapat bahwa keimanan itu dapat bertambah dengan sebab bertambahnya ketaatan dan berkurang disebabkan karena berkurangnya ketaatan. Ketaatan itu sendiri adalah mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang.
2. Abu Hanifah serta para ulama’ yang sepakat dengannya rahimahumullah berpendapat bahwa keimanan itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
3. Sebagian ulama’ berpendapat: bahwa keimanan itu dapat bertambah namun tidak dapat berkurang.
4. Berkata para ulama’ selain mereka: sesungguhnya perbedaan hanya secara lafdzi saja.
Dalil – Dalil:
1. Kelompok yang pertama berdalil bahwasanya keimanan itu naik dan turun berdasarkan:
a. Firman Allah ta’ala:
(إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal : 2).
Maka sungguh ayat tersebut telah menunjukkan bahwa bertambahnya keimanan itu dapat terjadi dengan sebab mendengarkan al-Qur’an al-Karim dan hal itu termasuk ketaatan yang paling agung. Yang semisal dengan ayat ini adalah firman Allah ta’ala:
(هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا)
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath : 4).
وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا
“…dan supaya orang yang beriman bertambah imannya…” (QS. Al-Mudatsir : 31).
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“…Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah : 124).
وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“…Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab : 22).
Ayat – ayat ini seluruhnya menunjukkan kepada bertambahnya keimanan, dan apa – apa yang dapat bertambah ia juga dapat berkurang.
b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya seorang mukmin yang bagaimanakah yang lebih sempurna imannya, beliau menjawab:
رَجُلٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ وَرَجُلٌ يَعْبُدُ اللَّهَ فِي شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ قَدْ كُفِيَ النَّاسُ شَرَّهُ
“Seseorang yang berperang di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya, serta seseorang yang beribadah kepada Allah di sebuah lembah dan orang-orang telah terhindar dari keburukannya.” HR. Abu Dawud.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain:
لو وزن إيمان أبي بكر بإيمان هذه الامة لرجح به
“Seandainya keimanan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ditimbang dengan keimanan umat ini maka sungguh keimanan beliau radhiyallahu ‘anhu lebih berat dibandingkan keimanan mereka”. HR. Ishaq bin Rahawaih dan al-Baihaqi.
Dalam sabdanya yang lain:
يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مِنْ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا
“Ahli surga telah masuk ke surga dan Ahli neraka telah masuk neraka. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Keluarkan dari neraka siapa yang didalam hatinya ada iman sebesar biji sawi”. Maka mereka dikeluarkan dari neraka…”. HR. Bukhari dan Muslim.
Hadits – hadits ini adalah dalil mengenai berbeda – bedanya keimanan seorang mukmin.
c. Imam Bukhari berkata:
لَقَيْتُ أَكْثَرُمِنْ أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ العُلَمَاءِ بِالأَمْصَارِ فَمَا رَأَيتُ يَخْتَلِفُ فِي أَنَّ الإِيمَانَ قَولٌ وَعَمَلٌ يَزِيدُ وَ يَنقُصُ
”Telah aku temui lebih dari seribu ’ulama di banyak negeri, tidak satupun dari mereka yang berselisih bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.”
Pendapat salaf adalah hujah dalam hal ini.
d. Apabila tidak berbeda – beda hakikat keimanan seseorang, maka terdapat keimanan umum bagi mukminin yang mana keimanan orang – orang fasiq sama dengan keimanan para nabi dan para malaikat ‘alaihimussholatu wa sallam. Ini adalah batil, tidak ada seorangpun yang mengatakannya. Maka hal ini adalah dalil mengenai berbeda – bedanya keimanan seseorang.
2. Adapun para penganut madzhab yang kedua yang mengatakan bahwa iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang berhujah dengan dalil aqal. Mereka berkata: iman itu adalah at-tashdiqul jazm atau pembenaran yang pasti sampai dengan batas tunduk dan menerima. Manusia dalam hal ini mungkin saja membenarkan ataupun tidak membenarkan, oleh karena itu tidak dapat diterima bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Adapun firman Allah ta’ala:
(إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal : 2).
Maksud dari ayat tersebut adalah: bertambahnya apa – apa yang mereka imani, yaitu ayat yang baru diturunkan. Maka bertambahnya keimanan di sini adalah dengan sebab bertambahnya apa – apa yang mereka imani dari ayat – ayat Allah ta’ala.
3. Adapun orang – orang yang berkata bahwa iman itu bertambah namun tidak berkurang, hujah mereka adalah bahwasanya iman itu adalah perkataan, amal sholih, dan i’tiqad (keyakinan). Iman itu adalah perkataan yaitu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, ini tidak bisa bertambah dan berkurang. Adapun amal sholih maka hal itu dapat bertambah dan dapat berkurang. Adapun i’tiqad, maka hal itu dapat bertambah namun tidak dapat berkurang, apabila berkurang maka hilanglah ia. Maksudnya adalah apabila terdapat keraguan terhadap apa – apa yang ia yakini maka hilanglah keyakinan dan hilanglah keimanan. Hal ini karena keimanan itu adalah pembenaran yang pasti yang tidak bercampur dengan keraguan. Namun hal ini bertentangan dengan apa yang dinukil dari salafus sholih dan bertentangan dengan dalil – dalil yang sebelumnya, maka meyakini bahwa iman itu bertambah dan berkurang adalah lebih utama.
4. Adapun orang yang mengatakan bahwa khilaf ini sebenarnya hanya secara lafadz saja berhujah dengan bahwasanya iman itu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan sempurnanya iman adalah dengan amal sholih. Maka orang yang berkata bahwa iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang memandang kepada asalnya keimanan yaitu at-tashdiq atau pembenaran dan manusia itu mungkin membenarkan atau tidak membenarkan, sedangkan at-tashdiq ini tidak bertambah dan tidak berkurang, ini adalah dalil mereka. Adapun orang yang berkata bahwa iman itu bertambah dan berkurang memandang kepada kesempurnaan iman yaitu amal sholih. Tidak diragukan lagi bahwa amal sholih ini dapat bertambah dan berkurang. Ini adalah salah satu cara untuk menggabungkan antara dua pendapat yang masyhur.
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa keimanan itu dapat bertambah dan berkurang berdasarkan dalil – dalil yang telah disebutkan dari ayat al-Qur’an, hadits, perkataan salaf, dan juga dalil aqal.
Apabila manusia merenungkan hal itu pada dirinya sendiri, niscaya ia akan menemukan bahwasanya pembenarannya terhadap sesuatu lebih kuat dibandingkan pembenarannya terhadap suatu yang lain. Pembenaran seseorang terhadap sesuatu berbeda – beda seiring dengan berbeda – bedanya keadaan. Setiap muslim membenarkan adanya Makkah al-Mukarromah, Madinah al-Munawwaroh, Ka’bah, dll meski demikian keimanan seseorang yang telah melihatnya tidaklah sama dengan orang yang belum melihatnya.
Para ulama’ mengibaratkan keimanan dengan tanaman yang masih kecil. Ketika tanaman kecil itu disiram air dan dirawat, maka tanaman itu akan tumbuh besar. Bila tanaman kecil itu ditinggalkan tanpa diberi air dan dirawat, maka ia pun akan mati. Demikian jugalah halnya dengan keimanan yang muncul sebagai fithrah manusia, keimanan itu menjadi kuat dengan amal sholih dan menjadi lemah dengan maksiat. Oleh karena itu di dalam al-Qur’an al-Karim terdapat ayat yang membersamai antara keimanan dan amal sholih. Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 82).
Tidaklah keimanan seorang muslim yang sholih itu sama dengan keimanan seorang muslim yang fasiq. Hingga para ulama’ berkata: المَعَاصِي بَرِيْدُ الْكُفْرِ (maksiat-maksiat mengantarkan kepada kekafiran), yang demikian itu ketika pelakunya menghalalkan kemaksiatan tersebut. Kami memohon kepada Allah ta’ala keselamatan dari yang demikian itu. Wallahu ‘alam.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.