Apa Yang Diucapkan Nabi Kepada Ahli Kitab Yang Mengingkarinya Dan Menganggap Islam Sebagai Agama Yang Buruk?

Tags:

Tafsir QS. Al-Ma’idah: 59-60

Pernah suatu ketika serombongan kaum Yahudi, di antaranya Abu Yasir bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: “Kepada rasul yang mana kami harusnya beriman?” Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda – bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami berserah diri.” Ketika Nabi menyebut nama ‘Isa, mereka mengingkari kenabiannya dan berkata: “Kami tidak percaya kepada ‘Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada ‘Isa.” Maka Allah menurunkan:

قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ هَلۡ تَنقِمُونَ مِنَّاۤ إِلَّاۤ أَنۡ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَاۤ أُنزِلَ إِلَیۡنَا وَمَاۤ أُنزِلَ مِن قَبۡلُ وَأَنَّ أَكۡثَرَكُمۡ فَـٰسِقُونَ

Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Apakah kamu memandang kami salah, hanya karena kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya? Sungguh, kebanyakan dari kamu adalah orang-orang yang fasik.” QS. Al-Ma’idah: 59.

Dalam riwayat lain: “Maka ketika disebutkan nama ‘Isa mereka berkata: kami tidak mengetahui ada agama yang lebih buruk dari agama kalian”.

Jawaban Allah ta’ala melalui Nabi nya terhadap celaan itu adalah:

قُلۡ هَلۡ أُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰ⁠لِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ وَجَعَلَ مِنۡهُمُ ٱلۡقِرَدَةَ وَٱلۡخَنَازِیرَ وَعَبَدَ ٱلطَّـٰغُوتَۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ شَرࣱّ مَّكَانࣰا وَأَضَلُّ عَن سَوَاۤءِ ٱلسَّبِیلِ

Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. QS. Al-Ma’idah: 60.

Dalam Surat Al-Ma’idah ayat 59 tadi Allah ta’ala berfirman yang maksudnya: Katakanlah ya Muhammad kepada orang – orang ahli kitab itu yang menjadikan agama kalian sebagai olok – olokan dan permainan: Apakah engkau mengingkari atau mencela kami hanya karena keimanan kami yang kokoh terhadap Allah dan Rasul-Nya, keimanan kami terhadap apa yang diturunkan kepada kami, dan keimanan kami terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasul – Rasul sebelumnya? Tidaklah ini sebuah aib dan tidak pula hal yang tercela. Istitsna atau pengecualian (penggunaan kata illa إلا) dalam ayat 59 tersebut adalah istitsna’ jenis munqothi’ (yaitu pengecualian yang mana antara yang dikecualikan dan pengecualiannya itu tidak sejenis, lihat lebih lanjut mengenai istitsna’ ini dalam pelajaran ilmu nahwu). Pengecualian ini sebagaimana juga firman Allah ta’ala:

وَمَا نَقَمُوا۟ مِنۡهُمۡ إِلَّاۤ أَن یُؤۡمِنُوا۟ بِٱللَّهِ ٱلۡعَزِیزِ ٱلۡحَمِیدِ

“Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.” QS. Al-Buruj: 8.

وَمَا نَقَمُوۤا۟ إِلَّاۤ أَنۡ أَغۡنَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ مِن فَضۡلِهِ

“Dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), sekiranya Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.” QS. At-Taubah: 74.

Kemudian Allah melanjutkan:

وَأَنَّ أَكۡثَرَكُمۡ فَـٰسِقُونَ

“Sungguh, kebanyakan dari kamu adalah orang-orang yang fasik.” QS. Al-Ma’idah: 59.

Yakni kalian telah keluar dari hakikat agama, tidak ada lagi hakikat agama pada diri kalian kecuali hanya fanatisme golongan, penampilan, dan tradisi kosong.

Firman-Nya ini: “Sungguh, kebanyakan dari kamu adalah orang-orang yang fasik”, dihubungkan (dalam istilah nahwu di ‘athaf kan) kepada kalimat sebelumnya “kami beriman kepada Allah” sehingga maknanya adalah: “Tidaklah kalian memandang kami salah kecuali di dalamnya berkumpul antara keimanan kami dan antara hukum atas kalian dengan penentangan dan keluarnya kalian dari keimanan. Seolah – olah dikatakan: “Tidaklah kalian mengingkari kami kecuali kalian menyelisihi kami dimana kami masuk ke dalam agama Islam sedangkan kalian keluar darinya.”

Digunakannya kata “kebanyakan” dalam firman-Nya tersebut adalah karena ada sebagian ahli kitab yang masih berpegang dengan perkara pokok agama seperti mengesakan tuhan dan beribadah kepadanya, komit terhadap kebenaran dan keadilan serta mencintai kebaikan.

Kemudian, Allah ta’ala juga menjawab ejekan mereka dengan firman-Nya: “Katakanlah kepada mereka wahai Muhammad: Apakah akan aku kabarkan wahai orang – orang yang mengejek agama kami dengan mengatakan: “Kami tidak mengetahui agama yang lebih buruk daripada agama kalian”, dan akan aku beritahu dengan yang lebih buruk dari orang – orang yang demikian itu, atau dari agama yang Allah laknat?

Yang lebih buruk dari yang demikian itu adalah:

مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ وَجَعَلَ مِنۡهُمُ ٱلۡقِرَدَةَ وَٱلۡخَنَازِیرَ وَعَبَدَ ٱلطَّـٰغُوتَ

“Orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut.” QS. Al-Ma’idah: 60.

Yakni apakah harus aku kabarkan kepada kalian dengan yang lebih buruk dari apa yang kalian katakan dan kalian persangkakan kepada kami, yaitu balasan bagi orang – orang yang Allah laknat? Sebagaimana firman Allah ta’ala:

قُلۡ أَفَأُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰ⁠لِكُمُ

“Apakah akan aku kabarkan kepada-mu (mengenai sesuatu) yang lebih buruk dari itu, (yaitu) neraka?” QS. Al-Hajj: 72.

Pada yang demikian ini terdapat pergeseran dari mengecam mereka dengan menegakkan hujah atas ejekan dan main – mainnya mereka, kepada perkara yang lebih dahsyat kecamannya atas mereka, yaitu mengingatkan mereka terhadap buruknya keadaan pendahulu – pendahulu mereka bersama nabi – nabi mereka serta balasan Allah kepada mereka atas kefasikan mereka.

Yang dimaksud dengan orang yang dilaknat oleh Allah dalam QS. Al-Ma’idah ayat 60 di atas adalah orang yang dijauhkan dan diasingkan oleh Allah dari rahmat-Nya. Laknat itu mengharuskan adanya murka ilahi. Harus ada laknat jika itu merupakan hukuman tertinggi bagi orang yang Allah murkai.

Sedangkan makna “dimurkai Allah” dalam QS. Al-Ma’idah ayat 60 adalah kemurkaan yang tidak akan ridha mengenainya selama – lamanya.

Allah pernah menjadikan di antara mereka itu kera dan babi sebagai bentuk kemurkaan-Nya kepada mereka dan ketidakrelaan-Nya. Allah menyegerakan kehinaan dan siksa bagi mereka di dunia. Yang demikian itu semisal dengan firman-Nya:

وَلَقَدۡ عَلِمۡتُمُ ٱلَّذِینَ ٱعۡتَدَوۡا۟ مِنكُمۡ فِی ٱلسَّبۡتِ فَقُلۡنَا لَهُمۡ كُونُوا۟ قِرَدَةً خَـٰسِـِٔینَ

“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!” QS. Al-Baqarah: 65.

فَلَمَّا عَتَوۡا۟ عَن مَّا نُهُوا۟ عَنۡهُ قُلۡنَا لَهُمۡ كُونُوا۟ قِرَدَةً خَـٰسِـِٔینَ

“Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang. Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina.” QS. Al-A’raf: 166.

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa mereka berubah bentuk secara hakiki, sehingga mereka musnah berubah menjadi kera dan babi. Yang menjadi kera adalah orang – orang yang melanggar hari sabtu. Yang menjadi babi adalah orang – orang yang kufur terhadap hidangan Nabi Isa. Diriwayatkan juga bahwa yang berubah wujud itu adalah orang – orang yang melanggar hari Sabtu karena pemuda – pemuda mereka berubah menjadi kera sedangkan orang – orang tua mereka menjadi babi.

Dalil atas musnahnya mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya dari Ibnu Mas’ud beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai kera dan babi, apakah ia berasal dari manusia yang diubah oleh Allah? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ لِمَسْخٍ نَسْلًا وَلَا عَقِبًا وَقَدْ كَانَتْ الْقِرَدَةُ وَالْخَنَازِيرُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi kaum yang diubah itu beranak cucu dan tidak pula berketurunan. Sesungguhnya babi dan kera itu sudah ada sebelum yang demikian itu.” HR. Muslim.

At-Thabari menukil dari Mujahid dan yang lainnya berkenaan dengan firman-Nya:

كُونُوا۟ قِرَدَةً خَـٰسِـِٔینَ

“Jadilah kamu kera yang hina.” QS. Al-A’raf: 166.

Yakni orang – orang yang rendah terhina.

Di samping ada yang dijadikan kera dan babi, sebagaimana disebutkan dalam Surat al-Ma’idah ayat 60 tadi, ada juga yang dijadikan sebagai orang yang menyembah Tagut. Yakni Allah menjadikan di antara mereka orang yang menjadikan Tagut sebagai yang disembah selain Allah. Tagut itu adalah apa saja yang disembah selain Allah, seperti berhala -berhala, syaithan, dan anak sapi. Ibadah mereka kepada anak sapi itu adalah karena apa yang dijadikan indah bagi mereka oleh syaithan, maka jadilah ibadah mereka kepada anak sapi itu ibadah kepada syaithan.

Mereka itu yang disifati dengan hal – hal yang telah disebutkan berupa kehinaan – kehinaan dan aib – aib, memiliki tempat yang lebih buruk daripada yang disangkakan kepada kita karena tidak ada tempat bagi mereka di akhirat nanti kecuali neraka. Mereka lebih sesat dari maksud jalan pertengahan yang adil yaitu jalan kebenaran yang tidak ada yang lebih tinggi daripadanya.

Digunakannya kata “lebih buruk” dan “lebih tersesat” dalam Surat al-Ma’idah ayat 60 tidaklah untuk membandingkan (mana yang lebih sesat) karena agama ini adalah agama yang lebih baik lagi lurus. Sesungguhnya ini termasuk ke dalam bab penggunaan af’al at-tafdhil (mengunggulkan satu dari yang lainnya) tanpa menyebutkan pembanding pada sisi yang lainnya, sebagai bentuk menyamakan dengan lafadz mereka dan menyesuaikan pembicaraan dengan apa yang mereka yakini. Perihalnya sama dengan firman-Nya:

أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ یَوۡمَىِٕذٍ خَیۡرࣱ مُّسۡتَقَرࣰّا وَأَحۡسَنُ مَقِیلࣰا

“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” QS. Al-Furqan: 24.

Demikianlah, Allah mengajarkan kepada Nabi-Nya apa yang harus diucapkan kepada ahli kitab ketika mereka mengingkari Islam dan menganggap Islam sebagai agama yang buruk. Di satu ayat Allah mengajarkan agar menegakkan hujjah kepada mereka bahwa kita benar, di ayat yang lain Allah mengajarkan agar mengingatkan mereka betapa buruknya kelakuan mereka sebenarnya. Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *