Syarah Shahih Bukhari
Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata:
سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Saya pernah mendengar Umar bin Al-Khaththab diatas mimbar berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan”
Penjelasan Lafadz – Lafadz Hadits
عَلَى الْمِنْبَرِ
Artinya “di atas mimbar”. Yakni Umar menyebutkan hadits yang mulia tersebut ketika khutbah di atas mimbar Masjid Nabawi. Sekumpulan para sahabat senior mendengarkannya. Maka hadits tersebut sampai lah pada derajat masyhur. Bahkan sebagian ulama’ menganggapnya mutawatir. Yakni mutawatir makna bukan mutawatir lafadz, yang bisa terjadi dengan banyaknya jalur dan perawinya.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya “Semua perbuatan tergantung niatnya”. Asal kata إِنَّمَا itu adalah إِنَّ (“sesungguhnya”) yang berfungsi sebagai penegasan, kemudian masuk kata مَا yang berfaedah untuk pembatasan (maknanya ‘sesungguhnya amal itu hanya dengan niat’). Yakni tidaklah suatu amal itu sah, tidak lah amal itu diterima di sisi Allah, dan tidak lah amal itu diberi balasan kecuali ketika digabungkan dengan niat yang benar. Contohnya: Ketika seorang manusia tidak mendapati makanan dan minuman sedikitpun sepanjang hari, tidaklah ia dikatakan sebagai orang yang berpuasa hingga ia berniat bahwa tidak makan dan minumnya itu mengharapkan ridha Allah. Niat itu maknanya adalah maksud / menyengaja. Tempatnya adalah di dalam hati. Seluruh ibadah berupa sholat, puasa, haji, jihad, zakat, butuh kepada niat lebih dahulu.
Dalam riwayat lain dalam Shahih Bukhari juga terdapat tambahan:
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Artinya “maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Yakni barang siapa yang hijrahnya karena mencari ridha Allah, Allah menuliskan pahala hijrah yang sempurna baginya berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَن یَخۡرُجۡ مِنۢ بَیۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ یُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. QS. An-Nisa’ : 100.
Allah ta’ala mensyaratkan hijrah tersebut di jalan Allah, hingga seorang mu’min mendapatkan pahalanya di sisi Allah.
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
Artinya “Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya”. Yakni karena penghasilan duniawi, seperti orang yang berhijrah dari tanah airnya untuk berdagang, atau untuk mendapatkan rezeki, maka tidaklah ia dikatakan sebagai seorang muhajir (orang yang berhijrah) hingga maksudnya untuk meninggalkan tanah air dan hijrahnya dari tanah airnya itu adalah untuk menjaga aqidahnya dan memuliakan agamanya, karena melaksanakan perintah – perintah Allah azza wa jalla yang memerintahkan seorang mu’min yang lemah untuk hijrah dari tanah airnya. Allah ta’ala berfirman:
وَمَن یُهَاجِرۡ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah…QS. An-Nisa’: 100.
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
Artinya “atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya”. Yakni barang siapa yang hijrahnya itu karena hendak menikahi wanita yang ia cintai, tidak karena agama dan ingin mendapatkan pahala dari Allah.
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya “maka hijrahnya adalah kepada apa diniatkan”. Yakni ia tidak mendapatkan pahalanya orang yang berhijrah di jalan Allah karena ia tidak memaksudkan hijrahnya itu kecuali untuk mendapatkan kemaslahatan berupa kekayaan dan keuntungan atau nikah dan menunaikan syahwatnya.
Asbabul Wurud Hadits
Kisah Muhajir Ummu Qais: Para muhaddits menyebutkan di samping hadits yang mulia ini, bahwasanya ketika kaum muslimin diperintahkan untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, seorang laki – laki turut berhijrah bersama mereka. Saat itu ia telah meminang seorang wanita. Dikatakan namanya: Ummu Qais. Ia mensyaratkan kepada laki – laki tersebut untuk berhijrah ke Madinah sehingga ia mau diperistri. Maka berhijrahlah ia karena ingin menikahinya. Ia tidak punya tujuan lain untuk berhijrah kecuali bertujuan untuk menikahi wanita itu.
Ibnu Mas’ud berkata: Kami memberinya nama Muhajir Ummu Qais dan masyhurlah hal itu di antara kaum muslimin. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam at-Thabrani.
Faedah Hadits
Hadits yang mulia ini memberi faidah bahwa barang siapa yang tujuan amalnya adalah untuk tujuan yang lain, bukan untuk tujuan agama, dia tidak akan mendapatkan pahala dan balasan yang didapatkan oleh seorang mu’min yang ikhlas dalam niatnya yang ia maksudkan hanya karena Allah. Tidak ada sedikitpun syahwat kehidupan dan manfaat – manfaat yang fana pada niatnya.
Hadits yang mulia ini termasuk salah satu perkara pokok dalam agama. Karena di atasnya lah tegak diterimanya amal atau ditolaknya amal. Perkara ini adalah rukun yang sangat penting dari unsur penyusun keikhlasan yang paling penting, dimana Allah al-Haq Jalla wa ‘Ala berfirman:
وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰلِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). QS. Al-Bayyinah: 5.
Maka sebuah amal itu tidak diterima di sisi Allah ta’ala kecuali dengan dua syarat: Ikhlas dalam niatnya dan sesuai dengan petunjuk pemimpin para Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan: Syarah al-Muyassar Li Shahih al-Bukhari oleh Syaikh Muhammad ‘Ali As-Shabuni.