Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna baik (الخَيْر) dan buruk (الشَّر), tidak ada keraguan bahwasanya Islam itu adalah baik dan jahil serta kufur itu adalah buruk. Islam adalah aqidah dan perbuatan yang tampak dari seorang hamba, demikian juga dengan kejahilan dan kekufuran. Di sini terdapat dua pertanyaan sebagai berikut:
Pertanyaan pertama: bahwasanya seorang hamba itu tidak menciptakan amalnya sendiri melainkan memilihnya sebagaimana telah dibahas sebelumnya, maka apakah Allah yang menciptakan keimanan dalam diri seorang hamba? Dan apakah Allah yang menciptakan kejahilan dan kekufuran dalam diri seorang hamba?
Jawabannya: ya, sesungguhnya manusialah yang memilih keimanan dan Allah yang menciptakan keimanan itu padanya dan ridho dengannya. Manusialah yang memilih kejahilan dan kekufuran dan Allah yang menciptakan kejahilan dan kekufuran itu padanya dan tidak ridho kepadanya. Allah ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” QS. As-Shaf: 5.
وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-hamba-Nya.” QS. Az-Zumar: 7.
Termasuk hal yang jaiz (boleh) bagi Allah ta’ala untuk menciptakan kebaikan dan keburukan, dan Dia menciptakan segala sesuatu yang ada.
Pertanyaan kedua: bahwasanya iradah atau kehendak Allah ta’ala menjadikan segala sesuatu memiliki kekhususan pada sebagian apa saja yang boleh baginya, dan bagi manusia boleh beriman atau kufur, serta berilmu atau jahil, maka apakah iradah atau kehendak Allah ta’ala yang menetapkan seorang mu’min dengan keimanan dan seorang kafir dengan kekufuran? Juga orang yang berilmu dengan ilmu dan orang yang bodoh dengan kebodohannya?
Jawabannya: ya, sesungguhnya seorang mu’min itu beriman karena keutamaan dan iradah Allah ta’ala. Seorang yang berilmu itu dapat mengetahui karena iradahnya Allah ta’ala serta rahmatnya. Orang yang kafir tidak melawan iradah Allah ta’ala. Orang yang jahil adalah orang yang tidak mengetahui hakikat – hakikat sesuatu, sama saja apakah karena ia tidak tahu sama sekali atau ia mengetahui sesuatu namun salah, yang ini juga kalau Allah menghendaki Ia dapat mengajarinya.
قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ ۖ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Katakanlah (Muhammad), “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” QS. Al-An’am: 149.
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” QS. Al-Alaq: 5.
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk.” QS. Al-Kahfi: 17.
Dari masalah – masalah ini diuraikan masalah penciptaan hasan dan qabih (baik dan buruk). Yang dimaksud dengan hasan (baik) adalah: apa saja yang tidak diikuti dengan celaan dan siksaan. Qabih (buruk) adalah: apa saja yang diikuti dengan celaan di saat ini dan siksaan di kehidupan akhirat. Madzhab ahlus sunnah mengatakan bahwa hasan dan qabih itu ciptaan Allah ta’ala dan terjadi atas iradahnya. Allah azza wa jalla meridhai perbuatan yang hasan dan tidak meridhai perbuatan yang qabih. Manusia itu akan dihisab berdasarkan pada pilihannya. Perkataan ini tampaknya asing namun benar. Karena bila kita tidak mengatakan demikian, akan mengakibatkan penafiyan iradah Allah bahwa ada sebagian perbuatan – perbuatan yang bukan ciptaan Allah dan ada sebagian perbuatan – perbuatan yang terjadi tidak karena iradah atau kehendak Allah, ini adalah batil. Allah adalah pencipta segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun di kerajaan-Nya yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Akan tetapi merupakan sebuah adab terhadap Allah ta’ala menisbatkan kebaikan kepadanya dan menisbatkan keburukan kepada diri kita.
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِنْدِكَ ۚ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ فَمَالِ هَٰؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا * مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan, mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?” Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.” QS. An-Nisa’: 78-79.
Ayat yang pertama menunjukkan bahwa kenikmatan dan keburukan itu adalah dari sisi Allah ta’ala. Kemudian ayat yang kedua menjelaskan bahwa kenikmatan itu adalah keutamaan dari Allah ta’ala sementara keburukan disebabkan karena usaha manusia itu sendiri. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” QS. As-Syura: 30.
Menisbatkan keburukan kepada diri kita adalah karena diri kitalah yang menyebabkannya padahal yang menjadikannya terwujud adalah Allah ta’ala, hal ini untuk mengajarkan kepada kita tentang adab kepada Allah ta’ala. Akan tetapi tidak kita lupakan bahwa manusia itu dihisab atas pilihannya. Maka perkara usaha manusia itu bukanlah perkara penciptaan perbuatan sebagaimana telah dibahas.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.