Adil Dalam Peradilan dan Persaksian

Tags:

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba – hambanya yang mu’min untuk menegakkan keadilan. Janganlah mundur dari menegakkan keadilan karena celaan orang – orang yang mencela dan hendaklah saling tolong menolong dalam menegakkannya. Keadilan itu bersifat umum mencakup keadilan di antara manusia dalam hukum – hukum yang ada, terhadap perbuatan di manapun itu, dan terhadap kerabat siapapun itu. Maka baik itu seorang hakim, penguasa, pegawai, dan yang lainnya sama kedudukannya dalam hukum – hukum dan peradilan sebagaimana samanya antara seorang pemilik pekerjaan dengan pekerjanya. Sebagaimana halnya juga samanya antara kedudukan seorang suami dengan istri dan anak – anaknya dalam hal muamalah dan hibah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا)

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” QS. An-Nisa’ : 135.

Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari As-Suddiy bahwa beliau berkata:

لما نزلت هذه الآية في النبي صلى الله عليه وسلم اختصم إليه رجلان: غني وفقير، وكان صلى الله عليه وسلم مع الفقير، يرى أن الفقير لا يظلم الغني، فأبى الله إلا أن يقوم بالقسط في الغني والفقير.

“Ketika diturunkan ayat ini (QS. An-Nisa’ 135) pada Nabi shallallahu ‘alaihi terdapat dua orang laki-laki yang bersengketa, yang satu kaya dan yang satu lagi faqîr (miskin). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpihak kepada yang faqîr (miskin); karena menurut pandangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: Bahwa orang Faqîr (miskin) tidak akan berbuat zhâlim (aniaya) kepada yang kaya. Maka Allah tidak membenarkan tindakan Nabi tersebut, dan (Allah) memerintahkan (Nabi) untuk menegakkan keadilan di antara orang kaya dan faqîr (miskin).

Terdapat banyak sekali kisah keteguhan para salaf mengenai tekad mereka dalam syariat keadilan ini pada urusan – urusan hukum di antaranya adalah:

Dari Sulaiman bin Yasar beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ قَالَ فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ فَقَالُوا لَهُ هَذَا لَكَ وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنْ الرَّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا فَقَالُوا بِهَذَا قَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abdullah bin Rawahah ke Khaibar, dia menentukan pembagian antara beliau dengan kaum Yahudi Khaibar. Sulaiman bin Yasar berkata; “Mereka mengumpulkan perhiasan istri-istri mereka, kemudian mengatakan kepada Abdullah bin Rawahah; “Semua perhiasan ini untuk kamu, tapi berilah keringanan kepada kami dan berilah tambahan pada bagian kami.” Abdullah bin Rawahah pun menjawab; “Wahai kaum Yahudi! Demi Allah, kalian adalah makhluk ciptaan Allah yang paling saya benci, meski demikian itu bukan alasan bagiku untuk berbuat lalim kepada kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku sebagai suap, itu semua adalah haram, kami tidak akan pernah memakannya.” Mereka pun berkata; “Dengan kebenaran ini, tegaklah langit dan bumi.” HR. Malik.

Allah ta’ala memerintahkan kepada seorang mu’min untuk bersaksi dengan benar meskipun atas diri sendiri, kedua orang tua, ataupun sanak kerabat. Hal ini karena kebenaran itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya serta bahwasanya hal itu lebih layak untuk diikuti. Hal ini juga karena berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wasilah untuk kasih sayang dan kekerabatan selama dalam kebenaran dan kebaikan sementara itu tidak ada ketaatan bagi seorang makhluk dalam kemaksiaatan kepada Allah. Demikian juga dalam hal persaksian, hendaknya seorang mu’min bersaksi dengan benar meskipun terhadap orang tuanya sendiri.

Maka persaksian itu selayaknya dilakukan ikhlas karena Allah semata yakni mengharap ridho-Nya dan balasan-Nya sehingga seseorang tetap berada di atas kebenaran meskipun terhadap dirinya sendiri. Inilah yang diajarkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada seorang mu’minin. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas:

أمروا أن يقولوا الحق ولو على أنفسهم.

“Mereka diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun atas diri mereka sendiri.”

Memgikuti hawa nafsu dalam hal peradilan adalah sebuah pembangkangan yakni sebuah kesalahan yang fatal. Allah ta’ala berfirman:

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad : 26).

Mengikuti hawa nafsu akan membawa kepada persaksian yang tidak benar dan kepada ketidakadilan dalam hukum. As-Sya’bi berkata:

أخذ الله عز وجل على الحكام ثلاثة أشياء: ألا يتبعوا الهوى، وألا يخشوا الناس ويخشوه، وألا يشتروا بآياته ثمنا قليلا.

“Allah ‘azza wa jalla mewajibkan tiga hal kepada para hakim: janganlah mengikuti hawa nafsu, janganlah takut kepada manusia namun takutlah kepada Allah, dan janganlah menukar ayat – ayat-Nya dengan harga yang murah.”

Apabila terdapat pengubahan dalam persaksian, kecondongan kepada salah seorang dari dua orang yang berselisih, ketiadaan perkataan yang benar di dalamnya, penolakan untuk menunaikan yang benar di dalamnya, dan dzalim dalam peradilannya, maka setiap yang demikian itu layak untuk mendapatkan balasan dan hukuman yang pedih. Hal ini sebagaimana ancaman Allah ta’ala:

وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“…Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ : 135).

Yakni Allah akan membalas kalian terhadap yang demikian itu. Lafadz ayat tersebut umum untuk setiap peradilan dan persaksian dan setiap manusia dalam hal ini diperintahkan untuk adil.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *