Perjalanan situasi dan kondisi telah banyak yang berubah. Tetapi Abu Thalib masih dibayangi kekhawatiran terhadap gangguan orang-orang musyrik terhadap anak saudaranya. Dia menyimak kembali satu dua peristiwa yang sudah terjadi. Orang-orang musyrik pernah mengancamnya agar dia menghentikan anak saudaranya, kemudian berusaha menukarnya dengan Ammarah bin Al-Walid untuk dibunuh, Abu Jahal pernah mendatangi anak saudaranya sambil membawa batu untuk ditimpukkan kepadanya, Uqbah bin Abu Mu’ith pernah menjerat leher anak saudaranya dengan pakaiannya dengan maksud untuk membunuhnya, dan lain-lainnya. Abu Thalib mengingat-ingat kembali semua kejadian ini. Dia bisa mencium bau busuk yang menyengat di dalam sanubarinya dan merasa yakin bahwa orang-orang musyrik hendak merusak perlindungannya, dengan maksud menghabisi anak saudaranya. Hamzah atau Umar atau siapa pun tentu tak akan sanggup menghalangi orang-orang musyrik itu.
Abu Thalib merasa yakin dengan hal itu, bahwa mereka telah sepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara terang-terangan. Kesepakatan itu juga telah diisyaratkan di dalam firman Allah,
أَمْ أَبْرَمُوا أَمْرًا فَإِنَّا مُبْرِمُونَ
“Bahkan mereka telah menetapkan satu tipu daya (jahat), maka sesungguhnya Kami menetapkan (pula).” (Az-Zukhruf:79)
Lalu apa yang dikatakan Abu Thalib? Dia berdiri di tengah anggota keluarganya dari Bani Hasyim, Bani Al-Muththalib dan Abdi Manaf, meminta kesediaan mereka untuk melindungi anak saudaranya. Ternyata mereka menyanggupinya, yang kafir maupun yang Muslim, sebagai langkah untuk menjaga kekerabatan. Yang tidak bergabung dalam kesediaan ini adalah saudaranya, Abu Lahab. Dia memisahkan diri dari mereka dan bergabung bersama orang-orang Quraisy lainnya.
Rujukan:
Sirah Nabawiyah/Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri; Penerjemah: Kathur Suhardi; Penyunting: Yasir Maqosid; cet. 1–Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.