Membolak – balikkan Tuduhan Di Hadapan Rasulullah

Tags:

Di Masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang yang mengadu kepada beliau bahwa ada seseorang yang mencuri barang – barang milik pamannya. Saat itu bukannya ia tertolong namun malah sang pencuri menuduhnya bahwa ia menuduh sebuah keluarga yang baik keIslamannya dengan tanpa bukti. Kondisi pun berbalik, sang pelapor malah jadi pesakitan. Akhirnya setelah berserah diri kepada Allah, justru turun ayat QS. An-Nisa’ ayat 105-116 yang kembali membalikkan keadaan, yang benar menjadi benar dan yang salah menjadi salah. Bahkan Allah mengecam mereka:

Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. QS. An-Nisa’ 112.

Ini adalah sebuah peringatan keras bagi siapa saja untuk tidak menuduhkan suatu kesalahan atau dosa kepada orang yang tidak bersalah karena hal itu adalah dosa yang besar.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan kisah tersebut secara detail sebagai berikut:

Dari ‘Ashim ibnu Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Qatadah ibnu Nu’man radhiyallahu ‘anhu) yang menceritakan hadis berikut:
Dalam salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani Ubairiq terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar syair tersebut, mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang jahat itu,” atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang mengatakannya adalah Ibnul Ubairiq. Bani Ubairiq adalah suatu keluarga yang miskin lagi sengsara, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah makanan pokok mereka adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai kemampuan, bila datang kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia membeli makanan pokoknya dari kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun anak-anak mereka, makanan pokoknya adalah kurma dan gandum. Ketika datang kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa’ah ibnu Zaid) membeli sepikul makanan pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak, lalu ia memasukkannya ke dalam pedaringan (gentong beras); di dalam pedaringan itu terdapat pula senjata, baju besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah pembelian itu, rumah pamanku kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si pencuri membobok pedaringan dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi harinya, pamanku Rifa’ah datang kepadaku melaporkan, “Hai anak saudaraku, sesungguhnya tadi malam kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok dan pencuri membawa makanan serta senjata kita.” Lalu kami menyelidiki di sekitar perkampungan itu. Kami bertanya ke sana dan kemari. Akhirnya ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi malam, dan mereka berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan curian dari kami. Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani Ubairiq ada di dalam perkampungan itu, mereka mengatakan, “Demi Allah, kami merasa yakin orang yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl, seorang lelaki dari kalangan kita yang dikenal baik dan Islam.” Ketika Labid mendengar tuduhan itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata, “Aku dikatakan mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian harus membuktikan pencurian ini.” Mereka berkata, “Tenanglah, menjauhlah engkau dari kami, engkau bukan pencurinya.” Maka kami terus melakukan penyelidikan di perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, “Hai keponakanku, sebaiknya engkau datang saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbicara kepadanya mengenai hal tersebut.” Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ada suatu keluarga dari kalangan kami yang miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa’ah ibnu Zaid, lalu mereka mencuri apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya; mereka mengambil senjata dan makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk mengatakan kepada mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata kami. Adapun mengenai makanan, maka kami relakan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku akan melaksanakan hal tersebut.” Tetapi ketika Bani Ubairiq mendengar hal tersebut, mereka datang kepada seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu Urwah, lalu mereka berbicara kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pembelaan di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah ibnu Nu’man dan pamannya datang kepada suatu keluarga dari kalangan kami yang dikenal sebagai ahli Islam dan orang baik-baik; lalu mereka menuduhnya berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi.” Qatadah melanjutkan kisahnya, Maka aku datang lagi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membicarakan hal itu, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepadaku), ‘Kamu telah datang ke suatu keluarga yang dikenal di kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik, lalu kamu tuduh mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi’.” Qatadah mengatakan, “Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar rela mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, ‘Hai keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?’ Lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku. Maka pamanku berkata, ‘Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan’.” Tetapi tidak lama kemudian turunlah wahyu Al-Qur’an yang mengatakan seperti berikut, yaitu:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. dan mohonlah ampun kepada Allah. (QS. An-Nisa: 105 – 106)

Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang berkhianat’ itu adalah Bani Ubairiq. Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan kepada Qatadah.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. (QS. An-Nisa: 106-107) sampai dengan firman-Nya: Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 110) Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun, niscaya mereka diampuni.

Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. (QS. An-Nisa: 111) sampai dengan firman-Nya: dosa yang nyata. (QS. An-Nisa: 112) Firman Allah ta’ala yang ditujukan kepada Labid, yaitu: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. (QS. An-Nisa: 113) sampai dengan firman-Nya: maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 114) Ketika Al-Qur’an telah diturunkan kepada Rasulullah, senjata itu diserahkan kepada Rasulullah, dan Rasulullah mengembalikannya kepada Rifa’ah. Qatadah mengatakan, “Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut, sedangkan pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra sejak zaman Jahiliah; (‘atau’ di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak At-Tirmidzi), dan aku menilai Islam pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan senjata itu kepadanya, ia berkata, “Hai keponakanku, senjata itu kusedekahkan buat sabilillah.” Maka aku merasa yakin bahwa Islamnya adalah benar. Setelah Al-Qur’an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa’d ibnu Sumayyah. Allah ta’ala menurunkan firman-Nya:

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.(QS. An-Nisa: 115-116)

Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa’d, maka Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata, “Kamu menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan datang kepadaku dengan kebaikan.” HR. At-Tirmidzi. Beliau berkata hadits ini adalah hadits gharib.

Imam Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya secara makna dan menshahihkannya.

Wallahu ‘alam.

Berikut ini adalah matan lengkap hadits tersebut:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَ
كَانَ أَهْلُ بَيْتٍ مِنَّا يُقَالُ لَهُمْ بَنُو أُبَيْرِقٍ بِشْرٌ وَبُشَيْرٌ وَمُبَشِّرٌ وَكَانَ بُشَيْرٌ رَجُلًا مُنَافِقًا يَقُولُ الشِّعْرَ يَهْجُو بِهِ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَنْحَلُهُ بَعْضَ الْعَرَبِ ثُمَّ يَقُولُ قَالَ فُلَانٌ كَذَا وَكَذَا قَالَ فُلَانٌ كَذَا وَكَذَا فَإِذَا سَمِعَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الشِّعْرَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا يَقُولُ هَذَا الشِّعْرَ إِلَّا هَذَا الْخَبِيثُ أَوْ كَمَا قَالَ الرَّجُلُ وَقَالُوا ابْنُ الْأُبَيْرِقِ قَالَهَا قَالَ وَكَانُوا أَهْلَ بَيْتِ حَاجَةٍ وَفَاقَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَالْإِسْلَامِ وَكَانَ النَّاسُ إِنَّمَا طَعَامُهُمْ بِالْمَدِينَةِ التَّمْرُ وَالشَّعِيرُ وَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا كَانَ لَهُ يَسَارٌ فَقَدِمَتْ ضَافِطَةٌ مِنْ الشَّامِ مِنْ الدَّرْمَكِ ابْتَاعَ الرَّجُلُ مِنْهَا فَخَصَّ بِهَا نَفْسَهُ وَأَمَّا الْعِيَالُ فَإِنَّمَا طَعَامُهُمْ التَّمْرُ وَالشَّعِيرُ فَقَدِمَتْ ضَافِطَةٌ مِنْ الشَّامِ فَابْتَاعَ عَمِّي رِفَاعَةُ بْنُ زَيْدٍ حِمْلًا مِنْ الدَّرْمَكِ فَجَعَلَهُ فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ وَفِي الْمَشْرَبَةِ سِلَاحٌ وَدِرْعٌ وَسَيْفٌ فَعُدِيَ عَلَيْهِ مِنْ تَحْتِ الْبَيْتِ فَنُقِبَتْ الْمَشْرَبَةُ وَأُخِذَ الطَّعَامُ وَالسِّلَاحُ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَانِي عَمِّي رِفَاعَةُ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي إِنَّهُ قَدْ عُدِيَ عَلَيْنَا فِي لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَنُقِبَتْ مَشْرَبَتُنَا وَذُهِبَ بِطَعَامِنَا وَسِلَاحِنَا قَالَ فَتَحَسَّسْنَا فِي الدَّارِ وَسَأَلْنَا فَقِيلَ لَنَا قَدْ رَأَيْنَا بَنِي أُبَيْرِقٍ اسْتَوْقَدُوا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَلَا نَرَى فِيمَا نَرَى إِلَّا عَلَى بَعْضِ طَعَامِكُمْ قَالَ وَكَانَ بَنُو أُبَيْرِقٍ قَالُوا وَنَحْنُ نَسْأَلُ فِي الدَّارِ وَاللَّهِ مَا نُرَى صَاحِبَكُمْ إِلَّا لَبِيدَ بْنَ سَهْلٍ رَجُلٌ مِنَّا لَهُ صَلَاحٌ وَإِسْلَامٌ فَلَمَّا سَمِعَ لَبِيدٌ اخْتَرَطَ سَيْفَهُ وَقَالَ أَنَا أَسْرِقُ فَوَاللَّهِ لَيُخَالِطَنَّكُمْ هَذَا السَّيْفُ أَوْ لَتُبَيِّنُنَّ هَذِهِ السَّرِقَةَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنْهَا أَيُّهَا الرَّجُلُ فَمَا أَنْتَ بِصَاحِبِهَا فَسَأَلْنَا فِي الدَّارِ حَتَّى لَمْ نَشُكَّ أَنَّهُمْ أَصْحَابُهَا فَقَالَ لِي عَمِّي يَا ابْنَ أَخِي لَوْ أَتَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتَ ذَلِكَ لَهُ قَالَ قَتَادَةُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنَّ أَهْلَ بَيْتٍ مِنَّا أَهْلَ جَفَاءٍ عَمَدُوا إِلَى عَمِّي رِفَاعَةَ بْنِ زَيْدٍ فَنَقَبُوا مَشْرَبَةً لَهُ وَأَخَذُوا سِلَاحَهُ وَطَعَامَهُ فَلْيَرُدُّوا عَلَيْنَا سِلَاحَنَا فَأَمَّا الطَّعَامُ فَلَا حَاجَةَ لَنَا فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَآمُرُ فِي ذَلِكَ فَلَمَّا سَمِعَ بَنُو أُبَيْرِقٍ أَتَوْا رَجُلًا مِنْهُمْ يُقَالُ لَهُ أُسَيْرُ بْنُ عُرْوَةَ فَكَلَّمُوهُ فِي ذَلِكَ فَاجْتَمَعَ فِي ذَلِكَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الدَّارِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ وَعَمَّهُ عَمَدَا إِلَى أَهْلِ بَيْتٍ مِنَّا أَهْلِ إِسْلَامٍ وَصَلَاحٍ يَرْمُونَهُمْ بِالسَّرِقَةِ مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ وَلَا ثَبَتٍ قَالَ قَتَادَةُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمْتُهُ فَقَالَ عَمَدْتَ إِلَى أَهْلِ بَيْتٍ ذُكِرَ مِنْهُمْ إِسْلَامٌ وَصَلَاحٌ تَرْمِهِمْ بِالسَّرِقَةِ عَلَى غَيْرِ ثَبَتٍ وَلَا بَيِّنَةٍ قَالَ فَرَجَعْتُ وَلَوَدِدْتُ أَنِّي خَرَجْتُ مِنْ بَعْضِ مَالِي وَلَمْ أُكَلِّمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ فَأَتَانِي عَمِّي رِفَاعَةُ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي مَا صَنَعْتَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ نَزَلَ الْقُرْآنُ
{ إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا }
بَنِي أُبَيْرِقٍ
{ وَاسْتَغْفِرْ اللَّهَ }
أَيْ مِمَّا قُلْتَ لِقَتَادَةَ
{ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا وَلَا تُجَادِلْ عَنْ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا يَسْتَخْفُونَ مِنْ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنْ اللَّهِ إِلَى قَوْلِهِ غَفُورًا رَحِيمًا }
أَيْ لَوْ اسْتَغْفَرُوا اللَّهَ لَغَفَرَ لَهُمْ
{ وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ إِلَى قَوْلِهِ إِثْمًا مُبِينًا }
قَوْلَهُ لِلَبِيدٍ
{ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ إِلَى قَوْلِهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا }
فَلَمَّا نَزَلَ الْقُرْآنُ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالسِّلَاحِ فَرَدَّهُ إِلَى رِفَاعَةَ فَقَالَ قَتَادَةُ لَمَّا أَتَيْتُ عَمِّي بِالسِّلَاحِ وَكَانَ شَيْخًا قَدْ عَشَا أَوْ عَسَى فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكُنْتُ أُرَى إِسْلَامُهُ مَدْخُولًا فَلَمَّا أَتَيْتُهُ بِالسِّلَاحِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي هُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّ إِسْلَامَهُ كَانَ صَحِيحًا فَلَمَّا نَزَلَ الْقُرْآنُ لَحِقَ بُشَيْرٌ بِالْمُشْرِكِينَ فَنَزَلَ عَلَى سُلَافَةَ بِنْتِ سَعْدِ ابْنِ سُمَيَّةَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
{ وَمَنْ يُشَاقِقْ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا }
فَلَمَّا نَزَلَ عَلَى سُلَافَةَ رَمَاهَا حَسَّانُ بْنُ ثَابِتٍ بِأَبْيَاتٍ مِنْ شِعْرِهِ فَأَخَذَتْ رَحْلَهُ فَوَضَعَتْهُ عَلَى رَأْسِهَا ثُمَّ خَرَجَتْ بِهِ فَرَمَتْ بِهِ فِي الْأَبْطَحِ ثُمَّ قَالَتْ أَهْدَيْتَ لِي شِعْرَ حَسَّانَ مَا كُنْتَ تَأْتِينِي بِخَيْرٍ

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *