Hukum Berdasarkan Syariat Al-Qur’an

Tags:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ * وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan, dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” QS. Al-Ma’idah: 48-50.

Sebab Turunnya Ayat

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata:

Ka’ab bin Usaid, Abdullah bin Shuriya, dan Syas bin Qais berkata: pergilah kalian bersama kami kepada Muhammad, boleh jadi ia menguraikan masalah ini dari agamanya, maka datanglah mereka kepada nya. Mereka berkata: Ya Muhammad, sesungguhnya engkau mengetahui aku adalah pendeta Yahudi dan orang yang paling mulia di antara mereka serta penguasa mereka. Bila aku mengikutimu maka kaum Yahudi akan mengikuti kita dan mereka tidak akan menyelisihi kita. Antara kami dan kaum kami terdapat perselisihan, maka kami meminta keputusan kepada mu, agar engkau mengabulkan (memenangkan) kami atas mereka dan kami beriman kepadamu. Kemudian beliau menolak yang demikian itu dan Allah menurunkan:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” QS. Al-Ma’idah: 49-50.

Berkaitan dengan ayat:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki?

Sebagaimana dikatakan oleh az-Zamakhsyari terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa Bani Quraizhah dan Bani Nadhir menuntut kepadanya agar menetapkan keputusan dengan apa yang pernah digunakan untuk memutuskan oleh kaum jahiliyah yaitu pembedaan antara pembunuhan, diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada mereka: pembunuhan itu sama saja. Bani Nadhir berkata: kami tidak ridho dengan yang demikian itu. Maka diturunkanlah ayat tersebut.

Kedua, bahwa ayat tersebut adalah celaan bagi kaum Yahudi karena mereka adalah ahli kitab dan mengetahui, namun mereka menghendaki hukum jahiliyah yang merupakan hawa nafsu dan kebodohan yang tidak bersumber dari kitab dan tidak kembali kepada wahyu dari Allah ta’ala.

Dari al-Hasan: ayat tersebut umum bagi setiap orang yang menghendaki selain hukum Allah. Hukum itu ada dua: hukum yang berlandaskan ilmu, itulah hukum Allah, dan hukum yang berlandaskan kejahilan, maka itulah hukum syaithon.

Thawus ditanya mengenai laki – laki yang membeda – bedakan sebagian anaknya atas sebagian lainnya, maka beliau membacakan ayat ini.

Tafsir dan Penjelasan

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu” wahai Nabi, al-Qur’an al-Karim yang dengannya kami sempurnakan agama ini, mengandung kebenaran yang tiada keraguan di dalamnya bahwasanya ia berasal dari sisi Allah.

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“(yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji.” QS. Al-Fushilat: 42.

Al-Qur’an membenarkan dan menyokong kitab – kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil, yang memuat penyebutan namanya dan sanjungan bahwasanya Ia akan menurunkan dari sisiNya atas hambaNya dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga bahwasanya kitab – kitab tersebut dari sisi Allah dan bahwasanya Musa dan Isa adalah dua orang Rasul dari sisi Allah yang tidak mengada – adakan kedustaan atas Allah ta’ala. Juga bahwasanya kalian dan bapak – bapak kalian mengubah dan melupakan banyak sekali dari apa saja yang telah diberikan kepada kalian.

Al-Qur’an juga datang sebagai penjaga, yakni sebagai hakim atas apa saja yang datang dalam kitab – kitab sebelumnya dan sebagai saksi atasnya dengan apa saja yang turun di dalamnya. Al-Qur’an sebagai saksi bagi keshahihan dan ketetapan aslinya, penjelas hakikat urusannya, dan sebagai saksi atas kelupaan, pengubahan, dan penggantian yang berlangsung atas kitab – kitab sebelumnya.

Ibnu Abbas, Ibnu Juraij dan yang lainnya berkata: “dan menjaganya” (QS. Al-Ma’idah: 48) : maknanya Al-Qur’an dapat dipercaya atas apa yang turun mendahuluinya dari kitab – kitab, bila ahli kitab mengabarkan kepada kami suatu urusan dalam kitab mereka: jika hal itu ada dalam al-Qur’an maka mereka jujur, jika tidak ada maka mereka berdusta.

Bila demikian urusan dan kedudukan al-Qur’an itu, maka putuskanlah wahai Muhammad demikian juga wahai setiap hakim, antara ahli kitab dan antara manusia seluruhnya, putuskanlah dengan hukum – hukum yang telah diturunkan Allah kepada engkau, tidak dengan yang diturunkanNya kepada mereka karena syariatmu menghapuskan syariat mereka.

Putuskanlah dengan apa saja yang ada di dalam kitab yang agung ini dan dengan apa saja yang telah ditetapkannya bagimu dari hukum orang – orang sebelum engkau dari kalangan para nabi yang tidak dihapus dalam syariatmu. Janganlah mengikuti hawa nafsu mereka yakni pendapat mereka yang dapat mereka terima atasnya, mereka meninggalkannya dengan sebab apa yang diturunkan Allah atas Rasul-Nya. Janganlah berbalik, bosan, dan mengubah kebenaran yang Allah perintahkan kepadamu kepada hawa nafsu mereka orang – orang jahil yang celaka. Juga jangan berbalik kepada pengubahan dan penggantian yang mereka ada – adakan terhadap hukum rajam dan qishash dalam pembunuhan serta kabar gembira terhadap kehadiran Muhammad shallallahu ‘alaihu wasallam dan yang lainnya.

Kemudian Allah ta’ala memulai kembali pembicaraan dengan berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” QS. Al-Ma’idah: 48.

Yakni bagi setiap umat kami jadikan syariat yang kami wajibkan atas mereka untuk menegakkan hukum – hukumnya, serta manhaj dan jalan yang terang yang kami wajibkan atas mereka untuk menempuhnya, bagaimanapun juga keadaan masyarakat, tabiat manusia, kecenderungan – kecenderungan mereka, dan perkembangan zaman. Meski demikian syariat – syariat tersebut memiliki kesamaan dalam ushuluddin (perkara pokok agama) yakni mentauhidkan Allah dan hanya beribadah kepadaNya saja, serta dalam pokok – pokok perkara akhlak dan keutamaan.

Bagi setiap umat yang ada sekarang dan yang telah lalu terdapat syariat dan manhaj yang khusus bagi umat – umat tersebut. Hampir – hampir tidak ada umat yang melampaui syariatnya. Umat yang ada sejak diutusnya Nabi Musa hingga diutusnya Nabi Isa ‘alaihumassalam, syariat mereka adalah apa yang ada di dalam Taurat. Umat yang ada sejak diutusnya Nabi Isa hingga diutusnya Nabi Muhammad ‘alaihumassalam, syariat mereka adalah apa yang ada di dalam Injil. Seluruh umat penghuni bumi sejak diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari kiamat nanti syariat mereka hanya satu yang diterima di sisi Allah yaitu:

Apa yang ada di dalam Al-Qur’an, tidaklah diterima kecuali mereka beriman dengannya dan mereka mengamalkan apa yang ada di dalamnya karena Muhammad adalah penutup para nabi dan beliau adalah rasul bagi seluruh manusia. Syariatnya adalah syariat yang paling lengkap, Qur’an nya adalah kitab yang tersisa bagi manusia yang tidak ada pengubahan dan penggantian isinya, sumbernya tetap, pasti, dan yakin tiada keraguan padanya. Makna Syir’ah atau Syari’ah secara ‘urf (kebiasaan) adalah hukum – hukum amaliyah yang berganti dengan bergantinya rasul dan yang selanjutnya menghapuskan yang sebelumnya. Ad-diin (agama) adalah pokok – pokok yang bersifat tetap yang tidak berganti dengan bergantinya para nabi.

Kemudian Allah ta’ala menyeru seluruh umat manusia dan mengabarkan kuasanya yang hebat bahwasanya kalau Allah menghendaki niscaya dijadikannya manusia seluruhnya ada pada agama yang satu dan syariat yang satu, tidak akan menghapusnya sedikitpun. Akan tetapi Allah ta’ala mensyariatkan bagi setiap Rasul syariatnya tersendiri karena tidak sesuainya satu syariat bagi setiap zaman dan bangsa dengan sebab berbeda – bedanya mereka dalam kemajuan dan kematangan intelektual. Maka tatkala kemajuan dan kematangan intelektual umat manusia saling mendekat, Allah mensyariatkan bagi mereka satu syariat. Dan bahwasanya tujuan dari pensyariatan syariat yang berbeda – beda itu adalah sebagai ujian bagi hambanya terhadap apa yang menjadi syariat bagi mereka agar nampak orang – orang yang taat sehingga diberi pahala dan orang – orang yang enggan melaksanakannya atau komit terhadapnya sehingga ia akan diberi balasan atasnya.

Kemudian Allah ta’ala menugasi manusia untuk bersegera kepada kebaikan – kebaikan, Allah ta’ala berfirman:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” QS. Al-Ma’idah: 48.

Yakni bersegeralah dan berlomba – lombalah dalam ketaatan kepada Allah ta’ala dan mengikuti syariat – syariatNya yang dijadikannya sebagai penghapus syariat sebelumnya. Benarkanlah dengan pembenaran yang yakin terhadap kitabNya yaitu al-Qur’an yang merupakan kitab terakhir yang diturunkannya. Yang demikian itu semuanya untuk kebaikan dan kemaslahatan kalian, juga untuk mendapatkan keutamaan dan ridho ilahi. Kepada Allah lah tempat kembali kalian wahai sekalian manusia dan kepadanya kalian kembali pada hari kiamat. Allah akan mengabarkan kepada kalian apa yang kalian berselisih padanya dari kebenaran. Allah akan memberi pahala orang – orang yang membenarkan karena pembenaran mereka dan mengadzab orang – orang kafir yang ingkar dan mendustakan yang haq serta menyimpang darinya kepada selainnya tanpa dalil dan bukti – bukti.

Kemudian Allah ta’ala menegaskan kembali perintah sebelumnya untuk memberi keputusan dengan apa yang Allah turunkan, Allah berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”. QS. Al-Ma’idah: 49.

Yakni kami mewajibkanmu memberi keputusan hukum dengan yang telah diturunkan kepadamu. Janganlah mengikuti hawa nafsu orang – orang yang menyelisihinya dan waspadalah dengan musuh – musuhmu dari kalangan Yahudi yang hendak menyesatkanmu dari kebenaran dan mengaburkannya atasmu pada urusan yang mereka kabarkan kepadamu. Maka janganlah engkau tertipu dengan mereka, sesungguhnya mereka itu pendusta kafir lagi pengkhianat.

Makna dari:

عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” QS. Al-Ma’idah: 49.

Yakni dari setiap apa yang diturunkan Allah kepadamu, kata “sebagian” di sini digunakan untuk makna keseluruhan. Ibnu Arabi berkata: yang shahih bahwasanya kata “sebagian” itu atas kasusnya dalam ayat ini, bahwasanya yang dimaksud dengannya adalah hukuman rajam.

Bila mereka berpaling dari kebenaran yang engkau putuskan antara mereka dan mereka menyelisihi syariat Allah, maka janganlah pedulikan mereka. Ketahuilah bahwa yang demikian itu ada karena kuasa Allah dan hikmahnya sehingga mereka berpaling dari petunjuk dengan sebab dosa – dosa mereka yang telah lampau yang menetapkan kesesatan mereka dan siksa mereka. Allah menghendaki untuk mengadzab mereka di dunia sebelum di akhirat dengan sebagian dosa – dosa mereka yaitu berpalingnya mereka dari hukum Allah dan syariatnya juga dari berhukum dengannya. Sungguh adzab tersebut terealisasi dengan sebab pengkhianatan kaum Yahudi sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusir Bani Nadhir dari Madinah dan memerangi Bani Quraizhah.

Adapun dosa – dosa mereka lainnya yang banyak maka akan diberi balasan dengan adzab yang pedih di negeri akhirat. Sesungguhnya kebanyakan manusia itu fasiq yakni memberontak dalam kekufuran, mereka menyelisihi kebenaran dan menyimpang darinya serta keluar dari batas -batas syariat, agama, dan akal. Dalam hal ini terdapat penenangan dan penghiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas mereka yang tidak menerimanya kebenaran yang datang bersamanya.

Kemudian Allah ta’ala mencela kaum Yahudi yang menghendaki pembedaan antara pembunuhan sesuai dengan qabilahnya. Mereka menghendaki untuk berhukum dengan hawa nafsu jahiliyah bersama dengan status mereka yang merupakan ahli kitab. Maka dihadapkanlah pertanyaan pengingkaran ini kepada mereka dan juga bagi yang semisal dengan mereka:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki?” QS. Al-Ma’idah: 50.

Yakni apakah mereka berpaling menerima keputusan hukummu dengan apa yang Allah turunkan, sedangkan Ia adalah yang haq, adil, dan benar. Mereka meminta hukum jahiliyah yang tegak di atas ketidakadilan, kezhaliman, dan hawa nafsu. Ini adalah sebuah celaan dan keheranan terhadap keadaan mereka, serta pengingkaran atas setiap orang yang keluar dari hukum Allah, yang mengandung segala kebaikan, kepada selain hukum Allah yaitu pendapat – pendapat mereka dan hawa nafsu mereka. Sebagaimana halnya kaum jahiliyah memutuskan hukum dengan kesesatan dan kejahilan yang mereka letakkan atas pendapat – pendapat mereka yang bengkok dan hawa nafsu mereka yang sesat.

Seruan, pertanyaan, keheranan, dan pengingkaran dalam ayat tersebut sesungguhnya ditujukan kepada kaum yang yakin dengan hakikat agama, patuh dengan syariat Allah, dan mereka mengetahui bahwasanya ia tidak lebih adil daripada Allah dan tidak lebih baik keputusan hukumnya daripadaNya.

Al-Qurthubi menafsirkannya: tidak ada hukum seorang pun yang lebih baik daripada Allah di sisi kaum yang yakin.

Fiqih Kehidupan Atau Hukum – Hukumnya

QS. Al-Ma’idah: 48-50 menunjukkan kepada hal – hal sebagai berikut:

1. Terdapat pertemuan atau persamaan yang tegas lagi terang antara Al-Qur’an dengan kitab – kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil karena kitab – kitab ini disifati dengan petunjuk dan cahaya. Sisi – sisi kesamaan itu adalah dalam ushul aqidah seperti tauhid uluhiyah dan rububiyah, penetapan kenabian, dan hari akhirat; terdapat pada ushul ahkam syariat seperti ibadah kepada Allah ta’ala, puasa, sholat, dan zakat; serta dalam ushul akhlak dan keutamaan seperti amanah, jujur, mengharamkan zina, pencurian, dan kejahatan – kejahatan di bumi. Yang demikian itu semuanya ada di dalam Taurat dan Injil yang asli yang diturunkan kepada Musa dan Isa.

Meskipun al-Qur’an datang dengan membenarkan dan menyokong kitab – kitab itu dalam perkara ushul syariat dan agama yang telah disebutkan, akan tetapi al-Qur’an bertindak sebagai hakim atasnya dan sebagai penjaga atas apa yang datang darinya. Maka tidak boleh beramal dengan hukum yang ada di dalam kedua kitab tersebut yang bertentangan dengan al-Qur’an.

2. Bila ahli dzimmah saling mengangkat permasalahannya kepada kita maka wajib bagi kita untuk memutuskan hukumnya dengan syariat Islam, tidak dengan syariat sebelum Islam berdasarkan ayat:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah” QS. Al-Ma’idah: 48.

Dikatakan bahwa: ayat ini telah menghapus adanya lilihan pada ayat sebelumnya yaitu firman Allah ta’ala:

فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ

“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka.” QS. Al-Ma’idah: 42.

Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Para pengikut madzhab Syafi’i berkata: tidak ada pertentangan antara dua ayat tersebut, dan tidak ada kepentingan untuk menghapus (nasakh) ayat tersebut karena ayat yang pertama adalah berkaitan dengan kaum yang memiliki perjanjian sedangkan yang kedua berkaitan dengan ahli dzimmah.

3. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setiap muslim dilarang dan diharamkan untuk meninggalkan hukum yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an di antaranya adalah penjelasan tentang yang haq dan hukum – hukum.

4. Allah kuasa untuk menjadikan seluruh umat dan jamaah menjadi satu saja dan menjadikan mereka di atas satu agama saja serta satu syariat saja dan mereka semua berada di atas kebenaran. Akan tetapu hikmah ilahiyah menetapkan syariat – syariat yang berbeda – beda sebagai ujian.

5. Bersegera kepada ketaatan dan berlomba – lomba dalam mengerjakan kebaikan merupakan tanda ketakwaan orang – orang shalih. Firman Allah ta’ala:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” QS. Al-Ma’idah: 48.

Menunjukkan bahwa mendahulukan pelaksanaan kewajiban – kewajiban itu lebih utama daripada mengakhirkannya. Tidak ada perbedaan pada seluruh ibadah. Kecuali dalam hal sholat di awal waktu, sesungguhnya Abu Hanifah berpendapat bahwa lebih utama mengakhirkannya. Keumuman ayat tersebut adalah dalil atasnya.

Di dalam ayat tersebut juga terdapat dalil bahwa puasa saat safar itu lebih utama daripada berbuka.

6. Dalam firmanNya:

وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ

“Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau.” QS. Al-Ma’idah: 49.

Terdapat dalil bolehnya keaadan lupa atau tidak sengaja pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena Allah berfirman: “jangan sampai mereka memperdayakan engkau”. Sesungguhnya itu terjadi karena keadaan lupa atau tidak sengaja bukan secara sengaja.

8. Orang – orang Arab pada masa jahiliyah menjadikan hukuman bagi orang yang mulia di antara mereka berbeda dengan orang yang rendahan. Orang – orang Yahudi juga melakukan yang semisal dengan mereka. Maka mereka menegakkan hukuman atas orang – orang dhuafa’ dan fakir, namun tidak menegakkannya atas orang -orang yang kuat lagi kaya. Oleh karena itu Allah mengingkarinya dan berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki?” QS. Al-Ma’idah: 50.

Termasuk perbuatan – perbuatan jahiliyah adalah mengutamakan sebagian anak atas sebagian lainnya dalam hal pemberian. Jika ia melakukannya maka pemberian itu tidak berlaku dan batal. Ini adalah perkataan penganut madzhab Hambali dan Zhahiriyah berdasarkan hadits dari Nu’man bin Basyir:

أَنَّ أُمَّهُ بِنْتَ رَوَاحَةَ سَأَلَتْ أَبَاهُ بَعْضَ الْمَوْهِبَةِ مِنْ مَالِهِ لِابْنِهَا فَالْتَوَى بِهَا سَنَةً ثُمَّ بَدَا لَهُ فَقَالَتْ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَا وَهَبْتَ لِابْنِي فَأَخَذَ أَبِي بِيَدِي وَأَنَا يَوْمَئِذٍ غُلَامٌ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمَّ هَذَا بِنْتَ رَوَاحَةَ أَعْجَبَهَا أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى الَّذِي وَهَبْتُ لِابْنِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بَشِيرُ أَلَكَ وَلَدٌ سِوَى هَذَا قَالَ نَعَمْ فَقَالَ أَكُلَّهُمْ وَهَبْتَ لَهُ مِثْلَ هَذَا قَالَ لَا قَالَ فَلَا تُشْهِدْنِي إِذًا فَإِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ

“Bahwa ibunya, binti Rawahah, pernah meminta kepada ayahnya sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada anaknya, saat itu ayah menangguhkannya sampai setahun, sesudah itu barulah diberikan. Kata ibu, “Saya tidak suka sebelum pemberian itu disaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ayah menggandeng tanganku dan mengajakku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan waktu itu saya masih kanak-kanak. Ayah berkata kepada beliau, “Ibu anak ini, binti Rawahah, memandang perlu untuk minta persaksian kepada anda atas pemberian yang saya berikan kepada anaknya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Wahai Basyir, apakah kamu memiliki anak selain anak ini?” Ayahku menjawab, “Ya.” Beliau bersabda: “Apakah mereka semua kamu beri pemberian seperti itu?” Ayahku menjawab, “Tidak.” Sabda beliau: “Kalau begitu, saya tidak mau menjadi saksi atas pemberian yang kurang adil (zhalim) ini.” HR. Muslim.

Mereka berkata: Apa saja yang merupakan perbuatan tidak adil dan tidak benar maka itu adalah perbuatan batil yang tidak diperbolehkan.

Dalam hadits yang lain disebutkan:

فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي

“Maka saksikanlah atas ini orang lain”.

Ini bukanlah izin bagi orang lain untuk bersaksi pada ketidakadilan pembagian tersebut, melainkan merupakan sebenar – benarnya larangan untuk melakukannya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menamakannya sebagai perbuatan tidak adil dan mencegah dari bersaksi padanya. Sedangkan perbuatan Abu Bakar yang memberi Aisyah tanpa memberi ke anak – anaknya yang lain tidak bertentangan dengan hadits ini. Adapun perkataan bahwa pada asalnya manusia itu bebas bertindak pada hartanya secara mutlak maka hal ini tidak bertentangan dengan hadits itu. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Nu’man bin Basyir:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian”.

Malik, Ashab ar-Ra’yu, As-Syafi’i, Ats-Tsauri, dan Al-Laits membolehkan berbedanya pemberian kepada anak berdasarkan perbuatan Abu Bakar As-Shiddiq dalam memberi hadiah kepada Aisyah tanpa ke anak – anaknya yang lain. Juga berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Nu’man bin Basyir:

أَنَّ أَبَاهُ بَشِيرَ بْنَ سَعْدٍ جَاءَ بِابْنِهِ النُّعْمَانِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكُلَّ بَنِيكَ نَحَلْتَ قَالَ لَا قَالَ فَارْجِعْهُ

“Bahwa ayahnya, Basyir bin Sa’d, datang membawa anaknya, An Nu’man, dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan seorang budak kepada anakku ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah engkau memberi seluruh anakmu?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Ambillah dia kembali.”

Dalam riwayat yang lain:

فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي

“Maka saksikanlah atas ini orang lain”.

9. Tidak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah dan tidak ada yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah ta’ala.

Wallahu ‘alam bi as-shawwab.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *