As-Sa’adah (Kebahagiaan) dan As-Syaqawah (Kecelakaan)

Telah dibahas sebelumnya bahwasanya ilmunya Allah ta’ala itu qadim (dahulu) dan meliputi sesuatu sebelum terjadinya. Sudah seharusnya sesuatu itu terjadi sebagaimana Allah ketahui. Dari yang demikian itu: bahwasanya Allah ta’ala mengetahui sejak azali (dahulu) orang – orang yang bahagia dan orang – orang yang celaka. Yang dimaksud dengan orang – orang yang bahagia adalah orang – orang yang mati di atas keimanan, dan yang dimaksud dengan orang – orang yang celaka adalah orang – orang yang mati dalam keadaan kafir. Akan tetapi Allah ta’ala tidak mengazab keduanya berdasar atas ilmu-Nya sebelum terjadi yang diketahui-Nya. Bahkan Allah memberi keduanya kesempatan hingga nampak terwujud, nampak keimanan dari orang – orang yang bahagia hingga ia mati atasnya dan nampak kekufuran dari orang – orang yang celaka hingga ia mati atasnya. Allah ta’ala berfirman:

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

“Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzhalimi hamba-hamba(-Nya).” QS. Al-Fushilat: 46.

Maka Maha Suci Allah dengan apa saja yang Allah tetapkan dengan adil.

Apabila kita ikuti keadaan – keadaan manusia maka akan kita dapati bahwasanya orang – orang mu’min itu beriman karena sebab – sebab dan keyakinan – keyakinan yang ada padanya dan dia tidak mengetahui apa yang ada pada ilmunya Allah. Orang – orang yang kafir meyakini keyakinan yang menjadikannya kafir karena sebab – sebab dan keyakinan – keyakinan yang ada padanya dan dia juga tidak tahu apa yang ada pada ilmunya Allah, demikian juga dengan orang – orang yang taat dan maksiat. Maka tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah dengan takdir untuk memungkiri tanggung jawab atas perbuataannya. Keadaan manusia itu sepenuhnya sesuai dengan ilmu Allah yang qadim tanpa mereka ketahui. Maka barang siapa yang mati di atas keimanan maka dia adalah orang yang bahagia dan sungguh Allah ta’ala telah mengetahui hal itu sejak azali. Barang siapa yang mati dalam keadaan kafir maka dia adalah orang yang celaka dan sungguh Allah ta’ala telah mengetahui hal itu sejak azali. Maka orang yang gembira setelah itu akan tetap gembira dan orang yang celaka akan tetap celaka tidak berubah.

Sebagian ulama’ memandang bahwasanya kebahagiaan itu adalah keimanan pada saat ini dan kecelakaan itu adalah kekufuran pada saat ini. Bila seorang kafir akan beriman dan bila orang yang mu’min akan murtad na’udzubillah, maka mereka katakan: sungguh akan berbalik yang bahagia menjadi celaka dan yang celaka menjadi bahagia. Dari sini dapat kita lihat bahwasanya sebenarnya tidak ada perbedaan yang hakiki dari kedua pendapat di atas. Akan tetapi hanya perbedaan secara lafadz saja yang kembali kepada perbedaan mereka dalam memahami makna bahagia dan celaka.

Berdasarkan itu semua, hendaknya kita senantiasa memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar tetap istiqamah di jalan Iman dan Islam hingga akhir hayat kita dan kita semua tergolong sebagai orang -orang yang bahagia di akhirat kelat. Hadits berikut ini patut untuk menjadi renungan kita bersama agar kita senantiasa istiqamah di jalan Iman dan Islam karena tidak ada yang tahu bagaimana ketetapan akhir kita di akhirat kelak.

فَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ

“Dan sungguh seseorang akan ada yang beramal dengan amal-amal penghuni neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga kemudian masuk surga, dan ada juga seseorang yang beramal dengan amal-amal penghuni surga hingga tak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sejengkal saja, lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka lalu dia masuk neraka”. HR. Bukhari dan Muslim.

Dengan merenungkan hadits tersebut semestinya yang ahli ibadah menjadi semakin istiqamah karena khawatir akan akhir yang terbalik. Begitu juga ahli maksiat semestinya segera bertobat sebab bisa jadi hanya sekarang lah satu – satunya kesempatan tobat. Jangan malah menjadi orang yang pesimis yang justru dengan itu akan menggelincirkan kita ke dalam kecelakaan yaitu ahli ibadah yang semula ia berada dalam keimanan namun setelah merenungkan hadits tersebut justru ia malah hilang semangat hingga akhirnya jatuh dalam kekafiran dan mati di atasnya. Atau ahli maksiat yang justru setelah membaca hadits tersebut ia semakin menjadi -jadi dalam bermaksiat karena ia menganggap kalaulah ia ditakdirkan menjadi orang yang bahagia tentunya ia nanti akan berubah dengan sendirinya, hingga akhirnya ia pun tak kunjung berubah dan mati dalam keadaan kafir na’udzubillah.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Maliki as-Showi, Syarh as-Showi ‘Ala Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *